♦ Sebuah refleksi pengalaman hidup dan iman
Oleh : Herman Musakabe
Berbicara tentang Kerahiman Allah adalah berbicara tentang cinta belas kasihan Allah yang tak ada akhirnya, tak ada batas-batasnya kepada umat-Nya. Melalui devosi Kerahiman Allah, kita sebagai manusia ciptaan-Nya bersedia membuka diri menjadi bejana-bejana Kerahiman-Nya. Bersedia menjadi bejana Kerahiman-Nya berarti kita bersedia untuk membiarkan belas kasih-Nya mengalir melalui diri kita bagi orang-orang/sesama yang membutuhkannya. Allah itu Mahakuasa dan Maharahim, sedangkan manusia memiliki serba keterbatasan dan kelemahan. Melalui devosi kepada Kerahiman Allah, kita diajak meminta untuk mendapatkan Kerahiman Allah. Kita diajak untuk percaya kepada rahmat Yesus Kristus yang berlimpah. Katakanlah selalu “Yesus aku berharap pada-Mu, Yesus Engkaulah Andalanku.” Pada akhirnya kita mau menunjukkan kerahiman kepada sesama dan bertindak sebagai saluran Kerahiman Allah.
Ketika saya diminta menulis beberapa pengalaman hidup yang berkaitan dengan Kerahiman Allah, maka saya bertanya pada diri sendiri : apakah saya mampu menulis tentang Kerahiman Allah yang begitu besar dan mulia dengan kemampuan saya yang sangat terbatas? Namun, di sisi lain permintaan untuk menulis tentang Kerahiman Allah memberi saya motivasi dan dorongan tersendiri pada usiaku ke-76 tahun untuk berbagi (sharing) pengalaman hidup kepada saudara-saudara seiman. Ada begitu banyak berkat dan anugerah Tuhan yang telah saya terima dalam hidup ini karena Kerahiman Allah yang begitu besar. Mengutip kata-kata yang diucapkan kepada Yesus oleh Santa Maria Faustina Kowalska (1905-1938) dalam buku hariannya : “Kabarkanlah bahwa kerahiman adalah sifat terbesar dari Allah.”
Tulisan sederhana ini adalah cuplikan kisah-kisah pengalaman pribadi yang saya coba untuk menggambarkan bagaimana Kerahiman Allah yang begitu besar bekerja dalam hidupku dan sekaligus sebagai suatu kesaksian iman. Dalam dimensi waktu Kairos, kesempatan tahun 2016 sebagai “Tahun Suci (Yubileum) Luar Biasa Kerahiman Allah”, seperti yang diumumkan Bapa Suci Paus Fransiscus, kiranya merupakan momen yang tepat untuk merenungkan makna Kerahiman Allah dalam kehidupan sehari-hari.
Masa Kecil dan Muda Yang Penuh Kesulitan
Secara khusus Kerahiman Allah mulai saya rasakan waktu menjalani masa kecil dan masa muda dalam keadaan yang serba sulit. Saya lahir tahun 1940 di Padalarang, Jawa Barat, dari keluarga Katolik dan bersekolah SR (SD) sampai kelas 4 di Bandung. Tahun 1950, ayah saya seorang militer, bintara Kavaleri (pasukan berkuda), memasuki masa pensiun dan pulang kampung ke Flores dengan memboyong seluruh keluarga. Sebagai anak kolong, bungsu dari 6 bersaudara, saya melanjutkan sekolah di Bajawa, Flores, yang kondisinya masih sangat sederhana dibandingkan sekarang. Bangku dan meja tulis di SD Tanahlodu, Bajawa, masih terbuat dari pelupuh bambu, alat tulis serba sederhana. Guru-gurunya lulusan sekolah guru di Tomohon yang cenderung otoriter dan menerapkan pendidikan dengan cara keras. Tidak jarang guru menggunakan mistar untuk memukul murid yang dianggap bodoh, malas atau tidak berdisiplin. Mungkin untuk masa sekarang mereka bisa dianggap melanggar HAM. Namun, dibalik sikap kerasnya guru ada hati yang baik dan rasa tanggung jawab yang besar untuk memajukan anak didiknya. Setiap pagi para murid diwajibkan mengikuti misa harian dan bergiliran menjadi misdinar (putra altar) dengan pengantar bahasa Latin. Udara kota Bajawa sangat dingin sehingga pagi hari orang harus memakai baju hangat atau sarung. Sebagian pastor masih orang Belanda atau bule. Saya bisa melewati masa penyesuaian yang tidak mudah itu berkat asuhan Ibu yang penuh kasih sayang. Bagaimanapun sulitnya hidup, Ibu selalu menyediakan sarapan pagi dan makanan bergizi sehingga kami tumbuh dengan sehat.
Selepas SD saya melanjutkan ke SMPK Ndao di Ende, tetapi hanya sempat beberapa bulan. Keluarga kami harus pindah ke Kupang karena Ibu sakit-sakitan dan harus dirawat di RSAD Kupang. Di Kupang saya masuk SMPK Frater dan setiap hari harus berjalan kaki sekitar 12 KM dari rumah di Bakunase. Ketika naik kelas 2 SMP Ibu meninggal dunia karena sakit. Setiap hari pulang dari sekolah saya mendatangi makam ibu untuk berdoa. Belum habis kesedihan karena kehilangan Ibu, uang pensiun ayah terpaksa diberhentikan sementara oleh Kantor Kas Perbendaharaan Negara karena ada salah penghitungan pembayaran pensiun. Uang sekolah tidak bisa dibayar selama 3 bulan dan saya sudah bersiap-siap mengajukan berhenti dari sekolah. Tetapi kepala sekolah Frater Albericus meminta pertimbangan ke wali kelas kami Frater Wilfried, dan saya tidak jadi dikeluarkan karena termasuk murid yang pandai. Enam bulan kemudian pensiun ayah normal kembali dan saya dapat menyelesaikan SMPK Frater tahun 1956. Dari Kupang saya melanjutkan ke SMAK St Aloysius, Bandung, mengikuti kakak perempuan yang menjadi perawat di RSAD Dustira, Cimahi. Perjalanan Kupang-Surabaya ditempuh dengan kapal laut dan Surabaya-Bandung dengan Kereta Api. Sebuah mesin jahit tangan merk Singer peninggalan Ibu (alm) terpaksa dijual untuk menutupi ongkos perjalanan. Karena tinggal di Cimahi, setiap hari saya harus naik sepeda ke sekolah di Bandung yang jaraknya sekitar 15 KM. Selain menguras tenaga karena jarak sekolah yang jauh, beban pelajaran juga cukup berat karena sebagian guru waktu itu masih menggunakan pengantar bahasa Belanda. Salah seorang guru favorit kami adalah guru bahasa Indonesia, Bapak Yus Badudu, yang baru-baru ini berpulang. Dengan tekad dan semangat yang kuat akhirnya saya dapat lulus SMAK St Aloysius, yang waktu itu tergolong sekolah Katolik paling top di Bandung. Direktur SMA St Aloysius adalah Bruder Athanasius yang sangat disiplin dan jarang tersenyum.
Lulus dari SMA bagian B saya mencoba masuk ITB dan diterima di Jurusan Farmasi. Tetapi menjadi mahasiswa dengan dibiayai orang tua pensiunan membuat saya harus mencari alternatif lain. Saya mencoba melamar ke Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang dan diterima tahun 1960. Singkat cerita, pendidikan di AMN Magelang sebagai “Kawah Candradimuka”-nya perwira TNI-AD dapat saya lalui selama 3 tahun dan dilantik menjadi Letnan Dua Infanteri pada tahun 1963. Masa kecil dan masa muda yang cukup sulit dapat saya lalui berkat Kerahiman Allah. Tanpa Kerahiman-Nya tidak mungkin saya berhasil melewati perjalanan hidup dan bersekolah dari SD Bajawa,Flores ke SMPk Frater di Kupang dan ke SMA St Aloysius di Bandung sampai ke AMN di Magelang. Kerahiman Allah saya rasakan melalui keluargaku terutama Ibunda yang merawat dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang.
Sebagai perwira muda TNI-AD, tahun 1963 saya mulai bertugas mulai dari komandan peleton menapak jenjang-jenjang jabatan selanjutnya di berbagai daerah Nusantara, mulai dari Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Jakarta, Bali, Bandung dan NTT. Beberapa pengalaman tugas berikut ini saya angkat sebagai bahan sharing bagi pembaca.
Bekerja di Ladang Tuhan di Long Nawang
Kerahiman Allah kembali bekerja dalam diriku ketika saya sebagai Komandan Kompi 3 Yonif 609 Kodam IX Mulawarman (Kalimantan Timur) ditugaskan ke daerah Long Nawang, Apau Kayan, perbatasan Kaltim dengan Malaysia tahun 1964-1966. Long Nawang adalah sebuah kecamatan yang sangat terpencil, dan tidak semua peta/atlas mencantumkan lokasinya. Letaknya dekat perbatasan Provinsi Kalimantan Timur dengan Malaysia. Sekarang Long Nawang masuk Provinsi Kalimantan Utara, Kabupaten Malinau.
Waktu itu Presiden RI Soekarno mencanangkan “Ganyang Malaysia” dan ABRI menggelar Operasi Dwikora. Saya ditugaskan memimpin satu kompi terdiri 150 orang ke Long Nawang, lewat Samarinda melalui Sungai Mahakam, Sungai Boh dan Sungai Kayan. Perjalanan dari home base di Balikpapan ke Samarinda dan ke Long Bagun masih bisa dengan kapal laut. Tetapi dari Long Bagun ke Long Nawang harus menggunakan perahu motor tempel dan perahu dayung menghadapi ganasnya sungai yang sewaktu-waktu banjir bandang dan meluluhlantakan semua yang dilewatinya. Beberapa kali perjalanan terpaksa ditunda menunggu banjir surut. Pasukan diangkut dengan perahu-perahu dengan pendayung dari suku Dayak Kenyah yang sangat terampil menghadapi jeram-jeram sungai di pedalaman.
Setiba di Long Nawang tugas pokok pasukan adalah menjaga daerah perbatasan, melakukan operasi tempur dan operasi teritorial serta membuat “sabuk pengaman” daerah perbatasan agar penduduk lokal memiliki ketahanan dan tidak terpengaruh untuk menyeberang ke Malaysia yang kondisi ekonominya relatif lebih makmur. Upah menjadi buruh di Malaysia lebih tinggi dari penghasilan sebagai petani atau menjadi buruh di Samarinda. Selain menjaga perbatasan dari infiltrasi musuh, prajurit ditugaskan melakukan kegiatan pembinaan teritorial, seperti mengajar di sekolah-sekolah yang kekurangan guru, mengadakan pengobatan gratis oleh tim kesehatan lapangan, bercocok tanam sayuran, mengenalkan ideologi Pancasila, dan menanamkan bela negara di kalangan warga. Hal yang berat dirasakan adalah logistik pasukan dari garis belakang berupa natura beras dan Uang Lauk Pauk (ULP) yang tidak bisa sampai ke garis depan, sehingga pasukan harus bisa bertahan hidup dengan logistik setempat atau logistik wilayah. Pernah sekali logistik pasukan di drop lewat pesawat udara, tetapi jatuh di daerah hutan belantara sehingga mubazir.
Ternyata penduduk Apau Kayan, yaitu suku Dayak Kenyah, waktu itu belum menganut agama resmi yang ada di Indonesia. Mereka masih menganut kepercayaan lokal yaitu Bungan Malan. Dalam pandangan saya, masyarakat belum merdeka secara rohani karena masih terbelenggu oleh kepercayaan Bungan Malan. Patung-patung berhala telanjang di ujung kampung dan tengkorak-tengkorak kepala manusia (SIAP) yang dipakai sebagai asesoris rumah panjang (lamin) kami perintahkan untuk dimusnahkan. Persembahan kepada roh-roh kepercayaan “Belawing” harus dibuang, sehingga saya diberi julukan sebagai Letnan Belawing.
Pada suatu hari seorang tetua adat bersama beberapa pemuda mendatangi pos komando kompi di Long Nawang. Mereka menemui saya untuk berdialog. Setelah berbasa-basi sejenak kepala adat membuka pembicaraan : “Amai (bapak) komandan, kami sudah mengikuti perintah untuk memusnahkan patung-patung Bungan Malan yang sudah kami pakai turun menurun dari zaman nenek moyang kami. Sekarang kami tidak punya perahu lagi (kiasan dari kepercayaan/agama). Tolong tunjukkan kepada kami perahu yang baru untuk kami pakai.”
Saya berusaha menjelaskan bahwa di Republik Indonesia ada beberapa agama resmi yang diakui pemerintah, yaitu agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha. Silahkan Amai memilih salah satu agama resmi yang diakui pemerintah. Tetapi penjelasan itu tampaknya kurang bisa dicerna oleh pikiran mereka karena masih bersifat “abstrak”. Di Apau Kayan saat itu tidak ada pemimpin agama dan rumah ibadat. Maka kepala adat bertanya lagi : ” Amai sendiri naik perahu yang mana ? ”
Saya jelaskan bahwa saya beragama Katolik, dan anak buah saya sebagian besar beragama Islam dari suku Banjar dan Jawa. Walaupun berbeda agama dan suku, kami saling menghormati sesuai ideologi Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ikka. Kebetulan dalam rombongan pasukan kami ada seorang penerjemah yaitu Guru Lampung dari Kemah Injil Gereja Masehi Indonesia (KINGMI) yang ikut dari Samarinda untuk berkarya di Apau Kayan. Tetapi sang kepala adat berujar lagi: “Kalau begitu kami mau naik perahu Amai, tolong ajarkan anak-anak muda ini bagaimana kami bisa menumpang di perahu itu.”
Saya terkejut mendengar permintaan kepala adat karena pembicaraan ini di luar dugaan saya. Saya bukan seorang rohaniwan dan bukan seorang katekis, saya komandan pasukan. Permintaan mereka berada di luar tugas pokok saya sebagai pengemban tugas pertahanan dan keamanan di perbatasan RI. Lagi pula kompi kami tidak dilengkapi dengan seorang Perwira Rohani (Paroh) Protestan, Katolik atau Islam. Paroh hanya ada di tingkat batalyon di Balikpapan. Tugas Paroh adalah membina kerohanian prajurit tetapi bisa juga melakukan pembinaan rohani di tengah masyarakat yang memerlukan.
Sepeninggal rombongan kepala adat hati saya diliputi kebimbangan untuk mengambil keputusan. Apakah saya akan menerima atau menolak permintaan tersebut ? Kalau saya menolak berarti masalah dengan masyarakat selesai untuk sementara dan saya bisa melanjutkan tugas tanpa terbebani oleh hal-hal di luar tugas pokok. Sebaliknya kalau saya menerima permintaan mereka, maka saya bisa mendapat tudingan melakukan “kristenisasi” terhadap masyarakat yang mengandung resiko bagi penilaian konduite saya sebagai perwira. Dalam situasi bimbang untuk menentukan keputusan, saya berdoa memohon petunjuk Tuhan. Sebuah Alkitab yang sudah kumal saya buka-buka dan menemukan sebuah firman Tuhan yang menuntun saya. “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada yang empunya tuaian supaya ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu,” (Matius 9 : 37-38). Tetapi bagaimana caranya saya meminta kepada atasan untuk mendatangkan rohaniwan dalam situasi operasi militer dan sarana komunikasi yang terbatas. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil jalan tengah, yaitu mengajar anak-anak muda menyanyikan lagu-lagu rohani dan doa-doa harian, sambil berharap datangnya rohaniwan setelah operasi Dwikora berakhir. Modalnya adalah buku Yubilate dan sebuah rosario yang selalu saya bawa.
Keesokan harinya, sore hari, saya mengundang anak-anak muda untuk mulai belajar menyanyikan lagu-lagu dari Yubilate. Ternyata mereka sangat antusias dan cepat menguasai lirik lagu serta menghafal kata-katanya. Mereka membawa semacam gitar lokal yaitu sampek yang biasa dipakai untuk mengiringi tari-tarian. Waktu itu mereka belum fasih berbahasa Indonesia, sehingga saya perlu menjelaskan kata-kata dalam lagu melalui seorang guru sebagai penerjemah. Langkah selanjutnya adalah mengajar berdoa, mulai dari Tanda Salib, Bapa Kami, Salam Maria dan Aku Percaya (syahadat para Rasul). Kegiatan ini berlangsung setiap sore hari bila saya tidak sedang melakukan kunjungan ke pos-pos depan pasukan di sepanjang sungai Kayan. Ketika saya harus melakukan tugas menginspeksi pos-pos di kecamatan lain maka acara latihan bernyanyi diistirahatkan sementara. Suatu hari di sebuah kampung terpencil saya beristirahat di rumah kepala kampung, setelah menempuh perjalanan jauh. Malam harinya sayup-sayup saya mendengar suara orang menyanyikan lagu rohani yang pernah saya ajarkan. Saya perintahkan pesuruh, Kopral Sukadi, untuk mengecek siapa yang menyanyikan lagu tersebut. Sukadi kembali dan melapor bahwa ia bertemu dengan anak-anak muda dari Long Nawang sedang mengajar pemuda setempat bernyanyi di sebuah lamin (rumah panjang). Keesokan harinya saya memanggil anak-anak muda tersebut dan menanyakan siapa yang menyuruh mereka mengajar di kampung lain padahal mereka belum sepenuhnya menguasai lagu-lagu tersebut. Salah seorang pemuda menjawab : ” Amai sudah mengajarkan kami sebuah lagu ‘ Yesus mengutus murid-Nya pergi berdua-dua, keluar masuk kota menjelajah semua desa’ (Yubilate/Puji Sukur No 692) jadi kami melakukan apa yang diajarkan dalam lagu tersebut dengan pergi mengajar ke kampung-kampung lain.” Mendengar jawaban itu, saya merasa kagum dengan semangat kerasulan mereka. Luar biasa keberanian mereka, meskipun mereka sebenarnya baru belajar dan belum begitu lancar berbahasa Indonesia. Selain itu pengaruh kepercayaan Bungan Malan masih cukup kuat di beberapa kampung.
Perkembangan selanjutnya sangat positif dan menggembirakan, makin banyak warga yang ingin bergabung dan belajar berdoa serta menyanyikan lagu-lagu rohani. Di suatu kampung Sei Barang ada sekitar dua ribuan orang yang ingin masuk Katolik. Sampai suatu ketika mereka meminta petunjuk untuk membuat sebuah tempat beribadat guna menampung keinginan warga berkumpul pada setiap hari Minggu untuk berdoa. Kami membuat semacam tempat berdoa di teras sebuah lamin dengan sebuah salib besar serta mimbar bagi pemimpin doa. Di atas ruangan tersebut saya minta mereka memahat kata-kata dalam bentuk setengah lingkaran dari Injil Matius 11 : 28 ” Marilah kepada-Ku semua yang letih dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Mulai saat itu mereka bisa berkumpul setiap hari Minggu untuk berdoa dan melakukan Ibadat Sabda. Pemimpin doa dilakukan secara bergantian. Semua kegiatan berlangsung apa adanya, tanpa kehadiran dan petunjuk seorang rohaniwan.
Sebagai komandan pasukan saya mendapat manfaat dari kegiatan mengajar lagu-lagu rohani tersebut yaitu mendapat banyak pengikut (followers) yang siap membantu dalam kegiatan teritorial. Hal ini dibuktikan ketika ada sebuah jembatan gantung yang menghubungkan dua kampung terputus diterjang air bah. Padahal waktu itu menjelang hari Natal dan warga sangat memerlukan jembatan sebagai satu-satunya penghubung antar kampung. Aparat desa berunding dan mencari solusi untuk membuat jembatan baru tetapi mengalami kesulitan mencari tenaga kerja sedangkan waktu sangat mendesak. Kelompok anak-anak muda followership itu melapor pada saya dan mengatakan : kalau komandan perintahkan, mereka sanggup membuat jembatan baru dalam waktu satu hari. Saya menyetujui keinginan mereka, walaupun dalam hati saya agak meragukan kesanggupan mereka menyelesaikan pekerjaan dalam waktu secepat itu. Ternyata para pemuda itu bekerja cepat, mereka membagi tugas : ada kelompok yang menebang pohon untuk badan jembatan, ada yang mencari rotan pengikat, ada yang memasak makanan dan sebagainya. Setelah bahan-bahan terkumpul mereka mulai membangun jembatan gantung dipimpin seorang senior yang ahli dalam pekerjaan konstruksi jembatan gantung. Sore harinya menjelang magrib saya diundang datang untuk menyaksikan jembatan gantung yang sudah selesai sekaligus mencoba berjalan di atasnya. Semua warga kampung menyaksikan “peresmian” jembatan gantung itu dan memberi applause tepuk tangan meriah. Dengan peristiwa itu pamor kelompok doa naik dan saya mendapat tenaga-tenaga handal terpercaya untuk kegiatan teritorial, bergotong royong dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Pada hari raya keagamaan, mereka pergi berburu rusa di suatu hutan lindung dan hasilnya diserahkan ke Kompi untuk dibagikan kepada para prajurit Kompi yang Muslim. Sikap toleransi yang luar biasa, walaupun mereka baru belajar mengenal Pancasila.
Akhir tahun 1966 pasukan ditarik dari Long Nawang karena konfrontasi dengan Malaysia berakhir. Dengan berat hati kami harus berpisah dengan masyarakat karena tugas operasi Dwikora selesai. Dua prajurit kompi menikah dengan gadis Long Nawang dan diboyong ke Balikpapan. Mereka mengantar kami sampai ke Long Bagun termasuk mengangkut 3 pucuk senjata penangkis serangan udara buatan Rusia yang bobotnya cukup berat. Mereka juga membawa beberapa anak muda yang akan dimasukan ke Seminari, sekolah calon pastor. Salah seorang perwira komandan peleton yaitu Capa Alo Dokoh, putera asli Kalimantan, meninggal dunia dalam perjalanan kembali karena sakit malaria akut dan dimakamkan di Melak. Penugasan ke Long Nawang menjadi catatan penting bagi saya karena saya diijinkan bekerja di ladang Tuhan dengan memperkenalkan agama Katolik kepada masyarakat yang melepaskan kepercayaan Bungan Malan. Walaupun hanya sebatas merintis semak belukar dari ladang Tuhan yang kemudian dilanjutkan oleh para rohaniwan yang datang ke Long Nawang. Kerahiman Allah mengalir melalui diriku bagi saudara-saudara suku Dayak Kenyah di perbatasan dan memerdekakan mereka dari kepercayaan Bungan Malan menjadi anak-anak Kristus.
Beberapa perkembangan yang saya alami sejak pensiun tahun 1998. Pada bulan Juli 2007 saya diundang oleh Dirjen Bimas Katolik Depag RI untuk menghadiri peringatan “Seabad Misi Gereja Katolik Keuskupan Agung Samarinda” di Sendawar, Kalimantan Timur. Dalam acara tersebut saya mendapat penghargaan atas jasa dan pretasi bagi Gereja Lokal dari Uskup Agung Samarinda, Mgr Florentinus Sului Hajang Hau, MSF disaksikan Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr Leopoldo Girelli. Saya menerima penghargaan tersebut bersama 24 tokoh masyarakat Dayak. Penghargaan ini lebih dari Satya Lencana Dwikora yang saya terima dari Negara. Puji Tuhan, berkat Kerahiman Allah saya diijinkan bekerja di ladang Tuhan.
Pada bulan Juni 2013 saya diundang untuk menjadi pembicara pada Musyawarah Besar Kerukunan Keluarga Besar Dayak Kenyah (KKBDK) Lepo’ Bakung di Desa Metun Sajau, Tanjung Selor. Masyarakat di Apau kayan telah menyebar dan menghuni daerah-daerah kabupaten yang sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Utara. Dari penjelasan saudara Kila Ulee Herman, SE. Msi, Anggota DPRD Kabupaten Malinau dan Ketua Umum KKBDK Lepo’ Bakung, saya mendapat informasi bahwa ada sekitar 17 ribuan warga Apau Kayan yang sekarang menjadi pemeluk agama Katolik dan KINGMI setelah mereka melepas kepercayaan Bungan Malan tahun 1960-an. Mereka mengadakan reuni besar di Desa Metun Sajau dengan pesta dan tari-tarian. Yang membuat saya terharu adalah kata-kata dalam nyanyian rohani yang dibawakan bahwa mereka sudah dimerdekakan menjadi anak-anak Tuhan Yesus. Kerahiman Allah memang tak terhingga.
Bertugas di NTT
Setelah 30 tahun bertugas di TNI-AD, tahun 1998 saya ditugaskaryakan oleh ABRI menjadi Gubernur NTT. Pemilihan di DPRD NTT berjalan lancar karena waktu itu saya calon dari Fraksi ABRI Organisasi Golkar. Waktu itu saya menjabat Komandan Seskoad baru sekitar 11 bulan dan harus meninggalkan almamater ABRI/TNI menjadi birokrat pemerintah daerah. Saya sama sekali tidak mengeluarkan biaya untuk kampanye, penggalangan atau pemilihan. Sangat berbeda dengan kondisi sekarang di mana seseorang harus mengeluarkan biaya milyaran rupiah untuk bisa terpilih menjadi kepala daerah. Bahkan, waktu pemungutan suara di DPRD NTT saya tidak hadir secara pribadi karena aturan tidak mengharuskan. Kami sekeluarga pergi ke tempat ziarah favorit yaitu Biara Pratista di utara Cimahi dan berdoa di goa Bunda Maria. Dalam doa Rosario saya menyampaikan ujud doa : Tuhan mohon tunjukkan jalan terbaik yang harus saya tempuh, bila terpilih saya siap mengabdi ke NTT dan bila tidak terplih saya teruskan pengabdian di TNI-AD. Usai berdoa, ajudan menghampiri saya dan melaporkan ada tilpon masuk dari Kupang bahwa saya sudah terpilih. Kami berdoa kembali untuk mengucap syukur atas jalan yang sudah Tuhan tunjukkan.
Singkat cerita, setelah dilantik menjadi Gubernur NTT saya mulai fokus membuat program kerja untuk meningkatkan kualitas SDM aparat pemerintah dan menanggulangi kemiskinan yang kesemuanya saya namakan : Tujuh Program Strategis Provinsi NTT. NTT memang dikenal sebagai provinsi yang miskin, lebih dari 20 persen penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan. Waktu itu pemerintah pusat menggelar program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan setiap desa tertinggal diberi bantuan dana bergulir untuk modal usaha kecil, beternak atau bertani. Lima provinsi yang seluruh desanya mendapat dana IDT adalah Papua, NTT, NTB, Maluku dan Timor Timur (waktu itu masih bergabung dengan RI) .
Tetapi di luar program pemerintah pusat saya membuat program penanggulangan kemiskinan yang spesifik sesuai sikon daerah NTT, karena inilah peluang terbaik untuk melakukan sesuatu bagi daerahku. Program-program spesifik itu antara lain :
Pernikahan Massal. Program ini dipicu oleh penemuan istri saya Agnes sebagai Ketua PKK Provinsi yang mendapatkan seorang istri PNS tidak bisa mengurus pensiun setelah suaminya meninggal. Ternyata sang istri belum menikah di Catatan Sipil dan Gereja, hanya nikah secara adat. Selain itu faktor mas kawin atau belis yang menyebabkan pasutri belum menyelesaikan administrasi di Cacatan Sipil dan gereja. Setelah diadakan penelusuran ternyata masih banyak pasutri yang hanya nikah secara adat. Maka diadakanlah pendataan oleh ibu-ibu PKK bekerja sama dengan rohaniwan setempat. Setelah didata maka direncanakan suatu perkawinan massal di Kupang Tengah, yaitu pasutri beragama Protestan dan Katolik. Pada awalnya Uskup dan Ketua Sinode GMIT berkeberatan dengan nikah massal tersebut karena para pasutri dianggap telah melanggar hukum gereja. Namun dengan berdialog dan sedikit perdebatan akhirnya dicapai kesepakatan nikah massal bisa dilakukan bagi mereka yang sudah cukup lama hidup sebagai pasutri secara monogami dan harus melalui kursus perkawinan singkat. Nikah massal pertama diadakan pada tanggal 18 Desember 1995 sebanyak 328 pasutri dari Gereja Protestan Klasis Kupang Tengah dan sebagian dari Paroki Kota Kupang. Resepsi pernikahan diadakan di Aula Rumah Jabatan Gubernur. Para pasutri yang umumnya dari keluarga prasejahtera datang ke resepsi menggunakan pakaian adat daerah masing-masing dengan naik angkot carteran. Banyak pasutri yang sudah lanjut usia dan ada yang menggunakan kursi roda karena cacat akibat kecelakaan. Seorang pastor paroki secara bergurau berkomentar sebagai berikut :” Pak Gub dan Ibu ini bikin pusing kepala kami, ada pasutri yang tidak tahu nama lengkap pasangannya, hanya tahu nama panggilannya. Terpaksa saya suruh kembali lagi dan harus hafal nama istri atau suami lengkap.”
Nikah massal perdana ini cukup menarik minat umat, baik umat Protestan maupun Katolik. Seperti bola salju yang menggelinding dan makin besar, beberapa kabupaten mengikuti langkah kami di Provinsi sehingga kami agak kewalahan melayani dan mengatur jadwal waktu karena mereka mengharapkan kehadiran kami untuk memberi wejangan. Bukan hanya keluarga prasejahtera, ada juga seorang Kepala Desa dan anak keluarga mampu yang mengikuti nikah massal. Sampai akhir masa jabatan saya tahun 1998 tercatat ribuan pasutri nikah massal dilakukan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Kab Kupang, Kab Alor dan Kota Kupang. Seorang ibu pengurus PKK yaitu Ibu Jukatana asal Sumba, yang rajin mendata nikah massal, melaporkan bahwa ada sekitar 13 ribuan pasutri nikah massal dan yang terbanyak di Kab TTS sekitar 5 ribuan pasutri. Sebanyak 70 persen pasutri beragama Protestan dan 30 persen Katolik. Biaya administrasi nikah massal di Kantor Catatan Sipil Rp 20.000,- untuk setiap pasutri dan kami tidak menggunakan dana APBD. Pesta nikah massal diadakan secara bersama sesuai kemampuan dan Pak Bupati setempat membantu pembiayaannya. Di Kab TTS ada hal unik, pada suatu nikah massal ada 3 generasi (satu garis keturunan) pasutri lanjut usia yang menikah yaitu kakek (sekitar 100-an th), anak (80-an th) dan cucu (50-an th). Mereka ini pasutri monogami hanya belum nikah secara Catatan Sipil dan Gereja. Kepala BKKBN Prof Dr Haryono Suyono adalah pejabat pusat yang menaruh perhatian besar pada program nikah massal di NTT dan beliau sempat hadir dalam salah satu acara nikah massal di So’e, Kab TTS. Sungguh luar biasa Kerahiman Allah menyelamatkan ribuan pasutri itu, kami hanyalah alat penyalur Kerahiman-Nya.
Menggalakkan Pakaian Tenun Ikat. Daerah NTT dikenal sebagai daerah yang memiliki kain tenun ikat khas daerah yang sangat beragam coraknya dan kaya warna. Biasanya kain tenun ikat ini dikerjakan di rumah secara manual sebagai pekerjaan sambilan oleh ibu-ibu atau para wanita di desa. Setiap pulau yaitu Flores, Lembata, Sumba, Timor, Rote, Sabu memiliki corak kain tenun ikat yang berbeda motif dan warna dasarnya. Waktu itu kain tenun ikat hanya digunakan untuk pakaian adat atau asesoris/pajangan di rumah. Sebagai orang yang lama tinggal di pulau Jawa, saya menggagas untuk menjadikan kain tenun ikat NTT ini seperti halnya kain batik Jawa yang dijadikan busana formal. Lalu saya memanggil beberapa staf untuk menyampaikan ide : bagaimana kalau kita jadikan tenun ikat sebagai pakaian yang wajib dipakai PNS satu kali dalam seminggu. Staf menyetujui gagasan itu dan saya mengeluarkan instruksi agar semua PNS di Provinsi, Kabupaten dan Kota memakai baju tenun ikat khas daerah sebagai seragam kerja setiap hari Kamis. Model bajunya safari lengan pendek bagi pria dan rok terusan lengan pendek bagi wanita. Hasilnya sangat membantu perekonomian rakyat. Kakanwil Deperindag, Wim Therik, melaporkan setelah instruksi wajib pakai tenun ikat diberlakukan, omzet penjualan tenun ikat naik drastis 60 persen. Ada 5 usaha kecil yang ikut terdongkrak yaitu penjual benang tenun, penenun, penjahit pakaian, papalele (penjual keliling) dan toko-toko suvenir. Kebijakan wajib pakai tenun ikat bagi PNS masih berlaku sampai sekarang, bahkan ditingkatkan menjadi hari Rabu dan Kamis. Kalau Anda kebetulan datang ke NTT pada hari Rabu atau Kamis dapat dipastikan PNS memakai baju tenun ikat dengan aneka corak dan warna, mulai dari supir, pegawai kantor sampai Bupati, Walikota dan Gubernur. Kain tenun ikat juga berkembang untuk peragaan busana, pakaian pengantin dan asesoris jubah para pastor.
Bonus Atlit Berprestasi. NTT adalah gudangnya atlit-atlit berprestasi. Kita mengenal Eduard (Edo) Nabunome (pelari jarak jauh nasional), Hermensen Ballo (petinju) atau Brigjen Pol Johny Asadoma (mantan petinju pemegang Medali Emas Piala Presiden VII) dan masih banyak lagi. Waktu itu saya baru menjabat 6 bulan dan daerah bersiap-siap menghadapi PON. Saya berpikir, apa yang bisa membuat orang NTT bangga di tengah julukan provinsi miskin? Jawabannya adalah olahraga dan PON menjadi tolok ukurnya. Saya kumpulkan pengurus KONI NTT dan menjanjikan untuk setiap medali emas yang diraih, atlit akan diberi rumah dan bonus uang. Untuk medali perak dan perunggu bonus uang termasuk pelatihnya. Seorang staf menghadap saya dan bertanya : “Bapak dananya dari mana ?” Karena bonus atlit tersebut belum tercantum di APBD. Saya tidak kehilangan akal, saya mengundang para pengusaha Kota Kupang untuk rela berbagi berkat dan menyumbang bagi anak-anak NTT yang berprestasi dan mengangkat nama daerah. Hasilnya mereka bersedia menyumbang lewat acara lelang lagu. Pada ajang PON tersebut NTT mendapat 4 medali emas untuk cabang lari jarak jauh maraton, tinju dan beladiri kempo. Peraih medali emas mendapat masing-masing satu rumah di daerah Kolhua dan bonus uang serta peraih medali perak dan perunggu mendapat bonus uang. Saya bersyukur para pengusaha mau membagikan berkat yang diterimanya bagi atlit-atlit berprestasi.
Sebagai Purnawirawan
Memasuki masa pensiun sejak 1998 tidak membuat saya berpangku tangan dan tetap berkarya untuk memelihara daya ingat dan mengatasi post power syndrome. Saya menulis artikel di media massa nasional dan lokal, majalah serta menulis buku kepemimpinan dan rohani. Sebagian buku diterbitkan oleh Dirjen Bimas Katolik, Bapak Stef Agus, dan sebagian dibantu teman-teman di daerah. Ada 14 judul buku yang sudah diterbitkan, sebagian besar berupa sharing pengalaman hidup dan pengalaman iman kepada generasi muda dan pembaca.
Tahun 2004 sampai 2007 saya mengikuti Romo Yoseph Tarong, Pr, Moderator Marian Center Indonesia (MCI) dalam sebuah tim berkeliling ke daerah Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan dan Flores untuk kegiatan Devosi Bunda Maria dan penyebarluasan doa Rosario Hidup. Sayang, Romo Yoseph dipanggil Tuhan pada 24 Mei 2007 karena sakit. Tahun 2008 saya mendampingi Romo Martinus Hadisiswoyo, Pr, pastor paroki Keluarga Kudus, Pasar Minggu, Jakarta, bersafari di daratan Flores mengarak Patung La Pieta. Seluruh rute safari doa dari Maumere ke Jakarta bejarak 2.708 km dimulai 19 Juli sampai 12 Agustus 2007. Kami membawa rombongan manula dari Jakarta dan mahasiswa Atma Jaya jalan darat dari Maumere sampai Labuan Bajo. Kami juga sempat berkunjung ke Pondok Kerahiman Allah di Lengkosambi, Riung, yang dikelola Pater Ceslaus. Sambutan umat luar biasa sepanjang jalan di daratan Flores. Banyak pengalaman spiritual yang didapat selama perjalanan safari itu dan bermanfaat bagi penyegaran iman. Kami seolah bukan mengarak patung La Pieta, tetapi mengarak Bunda Maria dan Tuhan Yesus, dan tidak merasa lelah walaupun perjalanan dari pagi hingga malam hari. Tahun 2009 saya mengikuti Pater Ceslaus Osiecki, SVD, ke Bitung, Sulut, dalam rangka Devosi Kerahiman Allah. Pater Ceslaus adalah sahabat yang saya kenal sejak bertugas di NTT dan dianggap “gurunya” devosi Kerahiman Allah. Beliau sudah 84 tahun (lahir 1932) rajin membagikan brosur/ buku tentang Kerahiman Allah dan secara periodik mengirim surat per pos dengan surat yang masih diketik dengan mesin tik lama. Pater Ceslaus juga melakukan pengobatan secara herbal kepada umat dalam setiap kunjungannya.
Penutup
Demikianlah Kerahiman Allah telah bekerja dalam diriku selama perjalanan hidup dan karier selama mengabdi di TNI-AD dan Pemda NTT. Tulisan ini semata-mata mau menunjukkan bahwa Kerahiman Allah sungguh-sungguh bekerja dalam diriku tanpa bermaksud menonjolkan apa yang sudah dilakukan. Hidup hanya sementara dan waktu Kronos yang Tuhan berikan kepada kita, apakah panjang atau singkat, harus digunakan dengan sebaik-baiknya melayani sesama. Gunakan waktu Kairos sebagai peluang untuk bekerja di ladang Tuhan, yaitu dengan menjadi bejana penyalur Kerahiman Allah bagi orang-orang / sesama yang memerlukan pertolongan. Agar kelak pada waktu Aion dalam kehidupan abadi kita mendapat tempat di Kerajaan Allah.
BIODATA SINGKAT PENULIS
Herman Musakabe adalah purnawirawan TNI-AD dengan pangkat terakhir Mayjen TNI, lahir di Padalarang, Jawa Barat, 18 Juli 1940. Menempuh pendidikan di SR Tanahlodu, Bajawa, Flores, SMPK Frater Kupang, SMAK St Aloysius, Bandung (1959) dan kuliah di ITB Jurusan Farmasi (1960). Masuk AMN Magelang dan dilantik sebagai Letda Infanteri 1963.
Bertugas sebagai Dan Ton di Kodam VI/Diponegoro, Dan Ki 3 Yonif 609 Kodam IX/ Mulawarman, Kabagdiklat Rindam, Dan Yonif 611 dan Dandim 0901 Samarinda. Selanjutnya Kepala Biro Staf Teritorial Mabes-AD, Aster Kopur Linud Kostrad, Dirdiklat Pusbangter, Aster Kodam IX/Udayana, Danrem Bali dan Kasdam Udayana. Kemudian menjadi Wadan Seskoad, Dan Pusbindik TNI-AD, Komandan Seskoad (1992-1993), and Gubernur NTT (1993-1998).
Pendidikan Militer : AMN (1963), Kupaltu Inf (1966), Susjabif (1973), Seskoad (1976), Seskogab (1981) dan Lemhannas KRA XXII (1989).
Riwayat penugasan : Operasi Kilat, Majene, Sulsel, dan Operasi Dwikora, Long Nawang, Kaltim. Penugasan Luar Negeri ke Thailand, Amerika Serikat (2 kali), Australia dan Taiwan.
Menikah dengan Agnes Yeanette Samuel (1968), dikaruniai 4 anak dan 5 cucu.
Menulis berbagai artikel di surat kabar, majalah, dan menulis buku. Buku yang sudah diterbitkan : Tantangan Pembangunan, Dinamika Pemikiran Seskoad 1992-1993, Nuansa Kehidupan I dan II (1996,1997), Pemimpin dan Krisis Multidimensi (2001), Berkarya Dalam Kasih dan Iman (2003), Roh Kepemimpinan Sejati (2004), Mencari Kepemimpinan Sejati (2004), Bunda Maria Pengantara Rahmat Allah (2005), Mengembangkan Talenta Untuk Sesama (2007), Menuju Hidup Yang lebih Ekaristis (2008), Bunda Maria Pengantara, Penolong dan Pembela Kita (2009), Menjadi Manusia kaya Arti (2010), Hidup Adalah Anugerah (2013) dan Membangun Karakter Unggul (2016).
Moto hidup : Ora et Labora. Moto sebagai mantan prajurit : ” Old Soldiers never die; they just fade away.”