Kultur Stelsel ala Ayub Titu Eki

BUPATI Kupang kini secara giat meluncurkan program “Tanam Paksa-Paksa Tanam” agar perekonomiannya bisa tumbuh dengan baik. Selain itu, Bupati juga mengadakan pembuatan embung di setiap daerah pemukiman di seantero Kabupaten Kupang.
Kondisi geografis wilayah Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa dibilang kurang ramah dan menguntungkan bagi penduduk setempat untuk bercocok tanam. Maklum saja, tanahnya berkarang, berpasir, gersang, dan tandus. Namun bagi Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, kondisi geografis yang tak menguntungkan itu tak jadi penghalang untuk memajukan daerahnya. Terinspirasi dari sejarah “Kultur Stelsel” di zaman penjajahan Belanda, Ayub meluncurkan program “Tanam Paksa-Paksa Tanam”.
Tentu saja semangat pantang menyerah dan pantang berputus asa dari Bupati Kupang itu menular kepada sekitar 400 ribu jiwa penduduk Kabupaten Kupang. Mereka dengan giat mengubah lahan kritis yang tandus dan gersang menjadi lahan yang subur dan menghasilkan.
Seperti diketahui, pada 1830 silam itu, Belanda yang tengah dilanda depresi ekonomi karena biaya perang berupaya meningkatkan ekonominya dengan Kultur Stelsel di Nusantara sebagai daerah jajahannya. Mereka memaksa masyarakat pribumi untuk bekerja keras menanam komoditas tertentu, seperti tebu dan kopi. Hasil tanam paksa itu kemudian diekspor ke Belanda. Belanda pun berhasil memulihkan dan membangkitkan perekonomiannya.
“Kalau penjajah menggunakan orang dan tanah kita untuk kebangkitan ekonomi negara dia, kenapa kita yang tidur tidak menggunakan tenaga dan tanah kita untuk kebangkitan kita sendiri? Dari situ akhirnya saya gunakan gerakan Tanam Paksa ini,” tutur Ayub kepada SINDO Weekly pada beberapa waktu lalu.
Ia pun menerangkan, dalam menggerakkan program Tanam Paksa ini, dirinya tidak asal-asalan. Dia tidak mengadopsi begitu saja Kultur Stelsel yang diterapkan pada zaman Belanda, melainkan dengan mendefinisikan tanam paksa yang cocok dengan situasi dan kondisi sosial, geografis, tanah, dan potensi masyarakat. Pendefinisian itu dilakukan agar Ayub dapat lebih mudah mensosialisasikan dan mengarahkan programnya.
Gerakan Tanam Paksa, menurut Ayub, adalah kewajiban setiap orang menanam dan menanam sebanyak-banyaknya. Sementara, Paksa Tanam adalah gerakan yang memaksa orang untuk menanam mulai dari anak usia sekolah dasar (SD) supaya terbiasa dengan menanam. “Dengan kata lain, gerakan Tanam Paksa-Paksa Tanam adalah gerakan menanam sebanyak-banyaknya mulai dari usia dini,” jelasnya.
Melalui gerakan Tanam Paksa dan Paksa Tanam ini, lanjut Ayub, masyarakat akan memetik hasil dari tanaman yang dipilih, yakni tanaman komoditas yang cukup satu kali tanam agar bisa panen berulang kali. Contoh tanaman-tanaman itu adalah tanaman buah, lada, kopi, vanila, dan hortikultura lainnya. Lebih jauh lagi, gerakan ini melibatkan seluruh komponen masyarakat, mulai dari rumah tangga, sekolah, perangkat jajaran pemimpin daerah, pegawai negeri sipil (PNS), polisi, hingga TNI. Dengan gerakan ini, tentunya perekonomian daerah akan tumbuh.
Hebatnya, Ayub mengaku sangat bernafsu untuk mengubah keadaan Kabupaten Kupang menjadi lebih baik. Menurutnya, meskipun daerahnya merupakan daerah pinggiran, Kabupaten Kupang adalah “beranda depan” Indonesia. Alasannya, Kabupaten Kupang berbatasan langsung dengan Timor Leste. “Kami ini mukanya Indonesia. Makanya, harus makmur dan bagus,” tuturnya.

Bendungan dan Embung
Untuk menghijaukan Kabupaten Kupang dengan gerakan “Tanam Paksa-Paksa Tanam,” upaya Ayub tak sekadar jargon belaka. Jajaran pemerintahan kabupaten yang dia pimpin dan dibantu pemerintah pusat menyiapkan sarana dan prasarana yang ampuh, yakni Bendungan Raknamo. Bendungan ini terletak di Sungai Noel Puamas, Desa Raknamo, Kecamatan Amabi Oefete. Bendungan yang menelan dana APBN lebih dari Rp710 miliar ini masih dalam proses pembangunan dan ditargetkan selesai pada 2019 mendatang.
Bendungan Raknamo memiliki luas genangan 147,3 hektare. Bendungan itu diyakini bakal mampu menyediakan air irigasi untuk wilayah seluas 1.250 hektare dengan kapasitas penyediaan air baku 0,10 meter kubik per detik dan mampu mengurangi debit banjir sebesar 310 meter kubik per detik. Bendungan tersebut juga akan mampu menampung air hujan dan mengairi persawahan dan pertanian di tiga kecamatan sekitarnya, ketersediaan air minum, perikanan air tawar, dan manfaat pariwisata.
Di luar itu, Pemerintah Kabupaten Kupang juga mengupayakan pembangunan embung atau tampungan air skala kecil dalam jumlah yang banyak. Embung ini akan lebih bermanfaat lagi karena dapat menjangkau seluruh wilayah kabupaten. Embung mempunyai fungsi tambahan yang penting sebagai cadangan air apabila terjadi kebakaran semak dan hutan seperti yang sering terjadi pada saat musim kemarau panjang.
Ayub mengatakan, bendungan besar seperti Raknamo manfaatnya hanya dinikmati tiga kecamatan saja. Akan tetapi, jika direkayasa dengan pembuatan embung tadi, seluruh wilayah kabupaten akan mendapatkan manfaatnya. “Kami berharap semua tempat orang bermukim itu punya embung. Embung ini bisa juga dimanfaatkan untuk budi daya ikan,” jelasnya.
Meski demikian, Ayub mengungkapkan, niatan dan upaya yang akan dilakukan pemerintah tersebut bukan tanpa kendala. Menurutnya, sistem penganggaran dan peraturan yang mengharuskan tender dan dikerjakan pihak ketiga menyebabkan anggaran atau dana yang dialirkan hanya akan dinikmati para kontraktor bermodal besar, tidak dinikmati langsung oleh masyarakat desa. Untuk itu, dia berharap sebaiknya pengerjaan proyek tersebut dilakukan dan diswakelola oleh pemerintah daerah.
Dana yang dianggarkan, Ayub menganggap, dana tersebut lebih baik digunakan untuk membeli alat-alat berat. Penggunaannya pun bisa diajarkan kepada masyarakat. “Lebih efektif dikerjakan sendiri oleh masyarakat dan bisa untuk merawat proyek jika sudah selesai. Bahkan, bisa pula untuk mengerjakan proyek lain, seperti pembangunan jalan desa, pemeliharaan saluran irigasi, atau pembuatan pagar pemisah antara ternak dan tanaman produksi,” terangnya.
Lebih dari itu, karena alat-alat berat tersebut akan tetap berada di tempatnya, sewaktu-waktu bisa langsung dimanfaatkan apabila terjadi bencana alam seperti longsor dan gempa bumi. “Bisa langsung dipakai tanpa harus menunggu pengiriman yang lama dari tempat yang jauh,” imbuh Ayub seraya menyebut pendapatan Kabupaten Kupang masih lebih rendah dari kabupaten termiskin di Bali. “Sebagian penduduk menempati lahan yang kritis. Komunikasi dan transportasi yang buruk serta tidak adanya listrik membuat semuanya serbasusah,” tandasnya.
Rasa-rasanya, program yang sangat berdaya guna bagi warga Kabupaten Kupang itu mendapat dukungan baik secara moril maupun materiil berupa penambahan anggaran pembangunan dari pemerintah pusat. Tentu tujuannya agar pertumbuhan ekonomi dapat bergerak naik seperti daerah-daerah yang memiliki kondisi geografis yang menguntungkan. ♦ advetorial/kerjasama expontt dan humas pemkab kupang