Bupati Kupang Ayub Titu Eki menyurati Presiden Jokowi

♦ Potensi garam di Kabupaten Kupang

 

BUPATI Kupang Ayub Titu Eki sedang geram dan gelisah. Gelisah karena pemberitaan media cetak dan lokal bahwa salah satu kabupaten yang sangat potensi bangun industeri garam. Potensi industeri garam, kata Ayub Titu Eki dalam obrolan santai dengan EXPO NTT, Sabtu 16 Juni 2018 bisa menjadi industeri garam terbesar di Indonesia bahkan bisa menjadi pasokan untuk kebutuhan garam nasional.
Inilah jeritan hati Bupati Kupang Ayub Titu Eki,” Bahkan jika di usahakan secara intensif, terpadu hasil garam di Kabupaten Kupang bisa di ekspor. Saya gelisah dengan pemberitaan bahwa Kabupaten Kupang berpotensi bangun industry garam terbesar di Indonesia. Tetapi, selama ini lahan berpotensi itu, dikuasai investor abal-abal dan suka bohon. Setelah melalui kajian, ada Sembilan investor yang sejak beberapa puluh tahun lalu menguasai lahan dengan sertifikat HGU atau hak guna usaha. Tetapi, setelah mengantongi sertifikat HGU si investor nakal itu kabur dan tidak ada kabar.
Tindakan investor demikian sudah menjadi momok karena menurut saya telah melakukan tindakan pemiskinan rakyat. Rakyat sudah miskin, ditambah miskin, bukan menguntungkan. Tanah yang berpotensi untuk bangun industeri garam di kuasai sejumlah investor yang sudah memiliki sertifikat HGU. Tindakan investor demikian, sangat merugikan masyarakat kecil dalam hal ini para petani yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Itu sebanya kami membekukan 9 HGU. Tetapi baru empat HGU yang dibekukan masih ada sejumlah HGU yang belum dibekukan akibat kendala kebijkan pemerintah pusat dan instansi tingkat propinsi.
Persoalan HGU diperparah dengan instansi terkait didalamnya yaitu Badan Pertanahan Nasional atau BPN yang tidak mendukung kebijakan saya. Ini jadi persoalan besar dan tentu saja sangat mengganggu iklim investasi. Pertama lahan diterlantarkan menjadi lahan yang tidak produktif. Padahal rakyat membutuhkan lahan untuk usaha pertanian termasuk usaha garam walau kecil-kecilan.
Saya sebagai bupati, walau sudah periode terakhir dan akan segera habis masa jabatan akan terus berjuang demi kebaikan dan perbaikan rakyat Kabupaten Kupang yang menggantungkan hidup dari usaha lahan pertanian. Saya sudah menyurati Bapak Presidean Jokowi soal potensi garam di Kabipaten Kupang juga Menteri Koordinator Kemaritiman Bapak Luhut. Saya akan bertemu lagi di awal Juli mendatang. Permasalahan karena industeri garam di Kabupaten Kupang sudah masuk dalam Rencaana Tata Ruang dan Wilayah atau RTRW.”
Terkait perjuangan soal industry garam yang hanya slogan selama ini, Bupati Ayub Titu Eki tidak berjuang sendirian.” Saya sebagai bupati dalam perjuangan ini, bekerja sama dengan gereja, tokoh masyarakat dan berbagai pihak,” jelas Titu Eki. Walau ada sejumlah investor nakal, tetapi harus menyatakan terbuka bahwa kami sangat membuka kesempatan bagi investor yang berhati baik dan punya niat baik datang untuk membangun kabupaten Kupang. Investor tidak usa kuatir, asal jangan hanya modus, lalu pulang. Dan ini sudah saya alami. Ada beberapa investor bawa uang untuk memuluskan usahanya, saya tolak. Dan saya pada prinsipnya transparan,” tegas Titu Eki dalam perbincangan yang juga dihadiri PLT Sekda Joni Nomseoh, Kadis Perjinan Johanis Munah dan Kabag Tata Pemerintahan.
Menurut Titu Eki, “Kami mendukung program Bapak Presiden yang kebijakan sangat pro rakyat. Dalam hal kebijakan perijinan yang Bapak Presiden tegaskan harus dipercepat sangat kami dukung. Hal ini diharapkan berlaku di Kabupaten Kupang.” Ayub Titu Eki, terkati dengan potensi garam dilaporkan rinci dalam surat kepada Presiden Jokowi. Ayub Titu Eki percaya, Presiden Jokowi akan menjawab

Menyurati Presiden
Berikut isi laporan lengkap disampaikan Ayub Titu Eki,”Dengan hormat, saya Ayub Titu Eki, Bupati Kupang Provinsi NTT, menyampaikan laporan kepada Bapak terkait dengan perkembangan prospek industri Garam di teluk Kupang sebagai tindak lanjut surat saya kepada Bapak tanggal 30 Oktober 2017. Hal-hal yang ingin saya sampaikan kepada Bapak sebagai berikut:
1. Bahwa untuk keperluan memenuhi kebutuhan garam nasional, mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal, menyediakan kesempatan kerja untuk membendung arus migrasi tenaga kerja ilegal dan perdagangan anak yang menjadi isu krusial di daerah kami, dan untuk mendorong upaya perbaikan kesejahteraan keluarga petani, maka kami melakukan perjanjian kerja sama dengan beberapa pengusaha garam di teluk Kupang.
2. Bahwa kerja sama pengolahan garam dilakukan dengan Perusahaan berikut:
2.1. PT Garam Pesero mulai beroperasi tahun 2016, mengelola lahan masyarakat adat Desa Bipolo seluas 318Ha, produksi tahun 2016 sebanyak 300 ton dan tahun 2017: 3.700 ton. Hasil produksi perusahaan ini belum optimal maka permintaan tambahan lahan 225Ha belum kami penuhi. Perusahaan ini juga belum memenuhi permintaan kami untuk memperbaiki perjanjian kerjasama yang sudah ditandatangani bersama masyarakat adat pada tahun 2016. Kami berharap agar produksi garam di atas lahan yang sudah dikuasai harus dioptimalkan, dan juga perlu memperbaiki hubungan dengan masyarakat sekitar.
2.2. BPPT telah mengajukan surat tertanggal 18 Mei 2018 untuk meminta hibah lahan 2Ha dari lahan masyarakat yang dikelola oleh PT Garam Pesero dan kami telah menyetujui permintaan itu untuk pembangunan Pabrik Garam di Teluk Kupang. Draft perjanjian kerja sama sedang dalam penggodokan staf.
2.3. PT Garam Indo Nasional (GIN) menanda-tangani perjanjian kerjasama pada tanggal 26 Maret 2018 dan melakukan Ground Breaking pada tanggal 2 April di atas lahan seluas 23 Ha dengan target panen perdana pada bulan Juli sebesar 20-25 ton. Kami telah berkoordinasi dengan LAPAN agar waktu Bapak Presiden meletakan batu pertama pembangunan Observatorium Nasional Timau di Kabupaten Kupang, Bapak juga melakukan panen perdana garam hasil PT GIN. PT ini mempunyai tambahan lahan 150 Ha namun masih mengalami hambatan perizinan lokasi karena pertimbangan tehnis dari Badan Pertanahan belum diberikan dengan alasan HGU.
2.4. PT Timor Livestock Lestari sudah menanda-tangani perjanjian kerja sama industri garam pada tanggal 27 April 2018, saat ini sedang membuat jalan masuk ke lokasi tambak; diharapkan segera beroperasi sesuai kesepakatan kerja yang sudah ditentukan. Kami sepakati bahwa semua Pengusaha Garam harus melaksanakan kegiatan lapangan paling lambat 45 hari kalender sejak perjanjian kerjasama ditandatangani. Perusahaan ini mendapat jatah lahan garam dari masyarakat seluas 300Ha dan terdapat di dalam areal ex-lahan HGU.
2.5. PT Sumatraco sudah disediakan lahan seluas 150Ha dalam ex-lahan HGU namun Perusahaan ini belum berani mengerjakan lahan itu sebelum mendapat dukungan dari Bapak Presiden bahwa ex-lahan HGU dapat dimanfaatkan. PT ini memilih mengerjakan lahan masyarakat Desa Pantai Beringin Kecamatan Sulamu seluas 30 Ha mulai minggu terakhir bulan Mei dengan target panen perdana bersama PT GIN pada bulan Juli 2018.
2.6. PT JSN Jaya Garam Indo sudah mengajukan permohonan pada awal bulan April 2018 dan telah disediakan waktu pemaparan rencana kerja untuk penanda-tangan perjanjian kerja sama pengolahan garam dalam ex-lahan HGU seluas 100 Ha, namun Perusahaan ini mengundurkan diri secara diam-diam karena hasutan pihak tertentu terkait masalah HGU di teluk Kupang.
2.7. PT Puncak Keemasan Garam Dunia (PKGD) membujuk saya berulang kali untuk menyetujui permintaan mereka menguasai seluruh ex-lahan HGU PT Panggung Guna Ganda Semesta (PGGS) seluas 3.720 Ha yang diterlantarkan 26 tahun. Permintaan perusahaan ini kami tolak dengan tegas karena masyarakat tidak mengakui adanya HGU; dan petugas PT PKGD selalu tampil arogan dan memaksakan kehendak untuk monopoli lahan garam, memprovokasi rakyat untuk saling menyerang dan memanfaatkan jasa aparat untuk mengintimidasi rakyat.
3. Disampaikan kepada Bapak Presiden bahwa kami sepakat memberikan ijin pengolahan garam kepada Perusahaan yang bersedia bekerja sama dengan rakyat sebagai pemangku hak tanah adat dengan perjanjian bagi hasil 10 persen untuk kepentingan daerah, terdiri dari 5,5% untuk pemangku hak tanah, 1,5% untuk lembaga pemangku adat, 1,5% untuk pengembangan pendidikan binaan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), dan 1,5 untuk tambahan PAD. Dalam rapat bersama hari Senin tanggal 21 Mei 2018 di Kantor Kemenko Maritim, Bapak Jend. Luhut B. Panjaitan memerintahkan PT Garam Pesero agar memberikan kontribusi 15% (bukan 10%) untuk lebih menguntungkan masyarakat. Kami juga sudah bersepakat bahwa setiap Perusahaan disediakan lahan tidak melebihi 400 Ha; dan jika berkinerja baik maka akan diberikan tambahan dari stok cadangan lahan garam yang tersedia.
4. Untuk memanfaatkan potensi lahan garam yang tersedia, masyarakat menyerahkan lahan mereka dengan sukarela kepada Bupati Kupang untuk difasilitasi kerjasama dengan pengusaha garam yang dipercaya. Prosedur kerjasama pemanfaatan lahan garam telah kami sederhanakan untuk percepatan produksi garam di teluk Kupang mulai tahun 2018. Kami lampirkan contoh dokumen kerjasama masyarakat dengan PT GIN (Lamp.1) yang dibuat di depan Notaris untuk memberikan kenyamanan kerja bagi Pengusaha; dan untuk mendorong minat investasi dan kerjasama yang saling menguntungkan dengan prosedur yang sederhana dan nyaman.
5. Terkait dengan ex-lahan HGU PT PGGS, kami berketetapan hati dan sepakat untuk mendukung pernyataan sikap masyarakat adat bahwa HGU itu tidak sah, tanah masyarakat diambil paksa dan dengan tindakan sepihak ditetapkan menjadi HGU (Lamp.2). Masyarakat mengaku` bahwa HGU itu tidak pernah ada, dan masyarakat terus-menerus menguasai lahan itu sejak dulu hingga sekarang, dan mereka menyatakan siap membela hak mereka atas lahan itu hingga titik darah penghabisan jika ada pihak yang mengkalim hak tanah mereka dengan dalih Ex-lahan HGU. Sebaliknya masyarakat bersedia bekerja sama dengan investor lain untuk pengolahan garam sepanjang hak mereka diakui.
6. Bahwa klaim ex-lahan HGU PT PGGS sangat merugikan Masyarakat, Daerah dan Negara. Tanah masyarakat dirampok dan ditetapkan secara sepihak menjadi HGU lalu diterlantarkan. Badan Pertanahan Nasional berdiam diri atas penelantaran HGU itu selama 26 tahun dan ini termasuk “tindakan pembiaran aset daerah dipermainkan Pengusaha nakal” sehingga merugikan upaya percepatan daerah tertinggal. Bupati Kupang I.A.Medah (periode 1999-2009) mengingatkan penelantaran HGU tersebut, dan saya sudah bersurat enam kali ke BPN (Lamp.3) agar HGU itu dicabut, namun tidak ditanggapi. Karena itu kami bersepakat (Lamp.4) memanfaatkan lahan ex-lahan HGU dan siap menghadapi gugatan dari pihak manapun juga. Total ex-lahan HGU seluas 3.720 Ha mencakup permukiman penduduk lokal dan keluarga Ex-timtim, lahan sawah, tambak ikan/udang, lahan garam tradisional, fasilitas pendidikan dan rumah ibadah, serta lahan potensi garam yang belum diusahakan. Lahan garam milik masyarakat adat desa Bipolo tidak termasuk dalam ex-lahan HGU, tetapi pihak BPN mengklaim itu lahan HGU sehingga mereka tidak memberikan kajian teknis bagi PT GIN dan ini termasuk “perbuatan menghambat percepatan pembangunan daerah perbatasan yang masih tertinggal.”
7. Berdasarkan laporan dalam butir 1-6 di atas, Pemerintah Daerah dan semua elemen masyarakat yang mendukung upaya percepatan industri garam di Kabupaten Kupang memohon persetujuan dan dukungan Bapak Presiden bagi kami dalam hal berikut:
7.1. Menyetujui pemanfaatan seluruh potensi lahan garam yang tersedia, baik di dalam dan di luar ex-lahan HGU, sepanjang masyarakat pemangku hak tanah menjamin kenyamanan investasi Pengusaha Garam yang bersedia mengelola lahan masyarakat sesuai kesepakatan bersama dan menguntungkan banyak pihak, termasuk memenuhi kebutuhan industri garam nasional.
7.2. Tidak menuntut pencabutan HGU PT PGGS karena HGU itu ditetapkan secara sepihak dan dengan tipudaya, lalu diterlantarkan 26 tahun, tetapi BPN lalai menindak pengguna HGU sesuai aturan yang berlaku. PT PGGS dipersilahkan menggugat masyarakat dan Pemerintah jika merasa dirugikan karena masyarakat sudah bekerja sama dengan Perusahaan lain di atas ex-lahan HGU dimaksud.
7.3. Jika ada pertimbangan lain bahwa HGU tersebut harus dicabut, maka ex-lahan HGU itu harus diserahkan penuh kepada masyarakat agar tidak membuka konflik baru sebab masyarakat menyatakan lahan itu milik mereka. Pernah disarankan oleh pejabat BPN Pusat bahwa HGU akan dicabut lalu diterbitkan HPL sebagai dasar penerbitan HGU baru tetapi hal ini pasti mendapat tantangan berat dari masyarakat pemangku hak sehingga menghambat rencana percepatan industri garam nasional.
7.4. Jika BPN konsisten mempertahankan status HGU untuk dicabut lalu ditetapkan sebagai tanah Negara sesuai aturan yang berlaku padahal sesungguhnya penetapan status HGU tidak prosedural dan diterlantarkan 26 tahun maka pihak Gereja, Lembaga Adat dan elemen masyarakat lain akan menyatu dan membela hak masyarakat pemilik lahan HGU dimaksud. Hal ini akan memicu konflik baru yang berkepanjangan dan menghalangi percepatan industrialisasi di NTT. Aliansi masyarakat dan elemen pendukung sudah berencana untuk melaporkan hal ini ke Komnas HAM dan KPK.
7.5. Kesepakatan pemberian hasil produksi 10% ke daerah di luar kewajiban CSR sudah disetujui oleh Pengusaha Garam, dan hal ini sesungguhnya merupakan suatu kebijakan kami untuk mendorong upaya perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat, dan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat memenuhi kebutuhannya sendiri.
7.6. Kami mengharapkan Bapak Presiden memerintahkan BPN untuk memberikan kajian teknis sebagai syarat pemberian ijin lokasi tanpa mempermasalahkan HGU PT PGGS karena seluruh lahan potensi garam di teluk Kupang sudah tercatat dalam rencana tata ruang/wilayah menjadi daerah industri garam. Jika BPN tetap berkeberatan memberikan kajian teknis dimaksud, maka kami meminta persetujuan Bapak Presiden agar ijin lokasi diterbitkan dengan menggunakan kajian teknis dari “Dinas Pertanahan Kabupaten Kupang” sehingga kegiatan industrialisasi garam tidak terlambat berproduksi mulai tahun 2018.” ♦ advetorial/wjr