Ketua Umum Panitia Sidang Sinode GMIT ke-33, Ibrahim Agustinus Medah mengatakan, kerukunan hidup antarumat beragama di NTT terbina sudah sejak dahulu dan sudah berjalan bertahun-tahun lamanya yang patut dijadikan contoh kerukunan di Indonesia.
“Di Rote Ndao dan bahkan di daerah-daerah lain di NTT, bangunan gereja berhimpitan dengan bangunan masjid. Dalam acara pembukaan ini saja, umat Islam dan umat dari gereja Katolik, juga turut serta dalam tarian-tarian dan paduan suara. Jika semua umat beriman meskipun berbeda namun hidup rukun, maka Tuhan akan memberikan berkat-berkatnya,” kata Medah pada pembukaan Sidang Sinode GMIT ke-33 di Baa, ibukota Kabupaten Rote Ndao, Minggu (20/9) kemarin.
Medah yang juga adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal NTT, mengatakan, jemaat GMIT saat ini sudah mencapai lebih dari 1 juta orang dengan jumlah pendeta lebih dari 1.000 orang.
Di tempat yang sama, Ketua Sinode GMIT Pendeta Robert Litelnoni mengatakan, Sidang Sinode GMIT merupakan momentum empat tahunan yang mengumpulkan semua majelis klasis, majelis jemaat, dan majelis sinode untuk mengevaluasi pelayanan yang sudah dilaksanakan selama empat tahun.
“Momentum ini juga sebagai wadah untuk bermusyawarah dan mengambil keputusan strategis untuk perjalanan GMIT ke depan,” jelas Litelnoni.
Gereja kata Litelnoni saat ini selalu berhadapan dengan dinamika kehidupan yang menuntut gereja untuk memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat.
Dalam konteks NTT, kata dia, berbagai masalah saat ini yang juga menjadi masalah nasional seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, human trafficking, TKI/TKW, kekerasan tarhadap anak dan perempuan, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta korupsi dan ketidak adilan, adalah bagian dari tugas dan penggilan gereja yang tidak bisa diabaikan.
“Kita tidak bisa berjuang sendiri mengahadapi persoalan jemaat, tetapi kita perlu sehati dan bergandengan tangan dengan berbagai pihak termasuk pemerintah untuk mengatasi persoalan itu. Untuk bapak Presiden, kami berdoa kiranya beliau dapat berkujung ke daerah yang paling selatan ini yang menjadi pintu gerbang NKRI,” harap Litelnoni.
Sementara, dalam sambutannya, Bupati Rote Ndao Leonard Haning mengatakan, Rote Ndao sebagai daerah paling depan NKRI di bagian selatan, harus mendapat perhatian dari pemerintah pusat karena itu dirinya berharap Presiden Joko Widodo bisa hadir dalam acara ini. “Kami bersatu dengan masyarakat membangun dari pinggiran dan seirama dengan program nawacitanya Bapak Presiden,” terangnya.
Acara pembukaan Sidang Sinode GMIT ke-33 itu dihadiri sekitar 6.000 orang dan diikuti oleh sejumlah pejabat di NTT.
Gereja Harus Bangun Kerjasama
Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Pendeta Albert Patty menyeruhkan jalinan kerjasama antara gereja. Pasalnya, para jemaat tidak hanya saling mendoakan saja, tetapi di tengah krisis dunia, ekonomi, politik, sosial, dan budaya saatnya gereja membangun kerjasama yang konkrit untuk kebaikan umat dan bangsa serta dunia. “Saya senang karena tema kita Yesus Kristus adalah Tuhan, ini menunjukkan GMIT back to basic. Tapi pertanyaannya, kenapa tema ini diambil, karena biasanya tema ini diangkat ketika gereja-gereja mengalami penindasan, dan persoalan yang berat,” kata Albert disela-sela Sidang GMIT di Rote, Senin (21/9).
Dia menjelaskan, terdapat 1.200 kasus kekerasan di Indonesia dan paling tinggi di Jawa Barat. Gereja-gerja diserang dan diserbu. Jika di Jawa Barat menggunakan tema Yesus Kristus adalah Tuhan, itu wajar. Kalau gereja-gereja di Timur Tengah menggunakan tema ini wajar karena mereka tertindas.
Pendeta Albert menambahkan, tantangan dan masalah apapun, sudah saatnya gereja-gereja di Indonesia membangun partnership yang konkret. Mengatasi radikalisme agama, persoalan lingkungan hidup yang parah, perlu menjalin partnership dengan sesama. “NTT ini tidak bisa dibangun oleh GMIT saja, tetapi semua komponen,” jelasnya. Sekretaris Badan Pekerja Harian Gereja Protestan Indonesia (GPI) Pendeta Lies Tamuntuan-Makisanti, M.Th mengataan, GMIT merupakan anak ketiga dari GPI yang dimandirikan dalam mengorganisir pelayanan di wilayah Timur Indonesia.
“Ada GMIT, GMIM dan GPM dan sembilan adik dari Gorontalo (GPIB). Jadi kita 12 bersaudara. Kita ada dalam satu persaudaraan dalam GPI. Meski PGI sudah ada dan menyatu dalam satu lembaga, tetapi kita satu ibu,” ujar Lies.
Dalam sejarah selama 410 tahun, GMIT menjadi juara umum ketika hymne dilombakan. Dan dalam hymne itu tercantum komitmen persaudaraan. Persaudaraan itu akan tetap dipupuk sampai gereja sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dia menceritakan, dalam sidang Sinode GPI di Palu, salah satu Sinode GPI adalah Pendeta Bobby Litelnoni yang adalah Ketua Sinode GMIT asal NTT.
“Mari kita sama-sama mendayung GPI ini dan salah satu komitmen kita adalah, ketika ada kekurangan pelayanan, dan kalau ada surplus pelayanan, mereka juga meminta para Pendeta GMIT untuk melayani di Toli-Toli dan daerah lain,” katanya.
Dia menyebutkan, salah satu program adalah pertukaran sehingga ketika masing-masing mengalami kesulitan baik di Banggai, Tolitoli, Buol dan lain-lain maka komitmen ini yang dibangun ke depan.
Sementara itu, Ketua Umum Panitai Sidang Sinode Gereja masehi Injil di Timor (SS GMIT) ke 33 Ibrahim Agustinus Medah mengatakan, pembangunan GMIT Center di Baa ibu kota Kabupaten Rote Ndao dijadikan sebagai monumen peringatan Sidang Sinode GMIT ke 33 yang akan terus dikenang sepanjang jaman. “Kita lihat setelah ada sisa anggaran dari pelaksanaan Sidang Sinode ini akan kita manfaatkan untuk pembangunan GMIT Center di Rote, dan panitia akan mancari tambahan anggaran untuk pembangunannya,” ujar Medah.
flobamora.net