Direktur di RSUD Ende Perintahkan Dokter Tolak Layani Pasien

Dr. Yayik E Gati bersama kuasa hukum Philipus Fernandez, saat berada di PTUN Kupang.[istimewa]

Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ende, dr Nelly Pani diketahui telah melarang dokter ahli mata dr. Yayik E Gati untuk tidak melayani pasien mata. Tindakan tersebut diilai merupakan sebuah perbuatan yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Hal ini dikarenakan, hanya ada satu orang dokter spesialis mata di sana, dan kebijakan itu membuat masyarakat Flores dan Lembata akan menjadi sulit mendapat pelayanan kesehatan mata.
Dokter Yayik saat dikonfirmasi SP via telepon Sabtu, 2 Juli 2016  pagi membenarkan, larangan direktur RSUD Ende untuk tidak boleh melayani pasien mata di rumah sakit itu. “Sejak Kamis 16 Juni 2016 saya dilarang melayani pasien mata di Rumah Sakit itu. Untuk alasan saya sendiri tidak tahu. Jadi saya perlu meluruskan kepada masyarakat bahwa bukan menolak melayani pasien. Tetapi saya dilarang melayani pasien di RSUD Ende,” katanya. “Larangan tersebut merupakan kebijakan sepihak. Sebab tidak ada kesalahan berat yang dilakukan oleh saya sebagai dokter ahli mata yang hanya satu orang, untuk melayani kesehatan mata bagi semua masyarakat sedaratan Flores dan Lembata. Saya sendiri merasa kecewa dengan kebijakan itu,” ungkap dr Yayik.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT, dr. Kornelis Kodi Mete, saat dikonfirmasi mengatakan, sangat terkejut dengan perbuatan seorang direktur RSUD Ende itu. “Larangan tertulis atau lisan itu segera dibatalkan sebab dokter spesialis mata yang mempunyai pengalaman yang handal hanya satu orang di rumah sakit itu. Beliau (dokter Yayik) melayani bukan saja orang Ende, tetapi semua masyarakat di 8 kabupaten di daratan Flores dan kabupaten Lembata,” kata Kornelis Kodi Mete. Ia melanjutkan. “Terkait kasus ini, saya koordinasi dulu dengan Dinas Kesehatan kabupaten Ende dan Dirut RSUD Ende. Saya juga segera melaporkan kasus ini ke Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, untuk segera mengambil langkah yang cepat, sehingga pasien mata di daerah itu cepat ditangani dengan baik,” jelasnya.
Direktur RSUD Ende, dr. Nelly Pani, saat dikonfirmasi via telepon berkali-kali tidak mau menjawab. Sedangkan Bupati Ende, Marselinus Y W Petu dan Sekda Ende dr. Agustinus G Ngasu, saat dikonfirmasi via telepon juga tidak menerima panggilan.
Menanggapi hal ini, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus meningatkan kepada Pemerintah dan masyarakat di NTT dan khususnya di Kabupaten Ende harus menyikapi secara tegas. Sikap Direktur RSUD Ende itu, patut dicurigai sebagai bagian dari konspirasi terkait dengan sikap Bupati Ende yang hingga saat ini masih membangkang atau tidak patuh terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang sudah berkekuatan hukum tetap yaitu mengembalikan seorang Dokter Spesialis Mata Yayik E Gati ke jabatannya semula, namun Bupati hingga saat ini tidak mengindahkan putusan Pengadilan TUN tersebut.
Karena persoalan Kesehatan Mata sangat penting maka, Pemerintah Provinsi NTT dan Masyarakat harus menempatkan kebutuhan Dokter di NTT secara proporsional agar tidak terdjadi diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, semata-mata karena pimpinan Rumah Sakit berkonspirasi dengan Bupati Ende yang sedang bersengketa dengan Dokter ahli mata yang bersangkutan. Sikap Bupati Ende dan direktris RSUD Ende tidak bisa dibenarkan, bukan saja melanggar HAM akan tetapi juga bisa dipidanakan, ujar Petrus Salestinus.
“Saya menduga terkait masalah larangan itu merupakan konflik kepentingan sepihak oleh Bupati dan Direktris RSUD Ende yang melawan hukum, antara lain, melawan sumpah jabatan, melawan Putusan Pengadilan TUN yang sudah terang benderang Bupati Ende tidak mau mengindahkannya. Masyarakat dapat menggugat Bupati dan Direktris RSUD Ende,” tambah Petrus. ♦ beritasatu.com