EXPONTT.COM – Kondisi PT. Flobamora, perusahaan milik Pemda NTT sangat memprihatinya. Demikian keluhan Ketua Komisi III DPRD NTT Jonas Salean pada 16 April 2024. Seharusnya hari itu Komisi III selain mengundang pengrus PT.Flobamora juga pengrus Bank NTT. Menurut Jonas Salean yang datang mengikuti rapat dengar pendapat hanya pengrus Bank NTT.
“Kami juga mengundang pengurus PT. Flobamora tetapi tidak ada yang dating, Semua pengurus baik komisaris maupun direksi masa tugas mereka sudah selesai. Karyawan perusahaan itu sudah tiga bulan tidak dibayar. Kita prihatin dengan perusahaan ini, “ keluh Jonas Salean ketika membuka rapat dengar pendapat dengan pengurus Bank NTT Selasa 16 April 2024.
Nasib perusahaan ini tak tentu, pengurus maupun komisaris sudah selesai masa jabatan sehingga saat ini perusahaan ini tanpa pengurus dan demesioner. Karyawan sudah tiga bulan tidak dibayar gaji. Sehingga perusahaan ini menjadi perusahaan tidak jelas, namun uang dari APBD NTT yang digelontorkan ke perusahaan ini habis dan tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Sam Haning selaku komisaris utama ketika ditelepon expontt.com Sabtu 20 April 2024, mengaku perusahaan berjalan sebagaimana mestinya. “Tidak ada masalah, lagi pula kami tidak berurusan dengan Komisi III DPRD NTT,” katanya.
Namanya kren dan berwibawa, ”PT. Flobamora,” melambangkan perusahaan daerah NTT atau Flores, Sumba dan Timor bersatu untuk maju. Dalam perjalanannya, perusahaan daerah ini bukan memajukan rakyat NTT yang belum sejahtera, justeru porak-poranda tanpa keuntungan dan berdampak kemajuan bagi NTT. Bukan beruntung, tetapi malah buntung.
Kehadirannya hanya sekadar lambang dan di NTT tercatat ada perusahaan daerah walau tak berarti. Itulah kalimat yang pas buat perusahaan ini. Harap dimaklumi, para komisaris dan para direktur tanpa beban karena mereka hanya dititipkan sekadar “Mencari Hidup,” tanpa tanggungjawab apalagi risiko.
Seperti sudah diwartakan, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPRD NTT Rabu 25 Mei 2022, hadir Dirutnya bernama Bokotei dan Mese Ataupa atau putera dari Kadis Kesehatan NTT dr. Messe Ataupah yang hari itu mengenakan baju biru. Tidak banyak yang diharapkan dari Rapat Dengar Pendapat atau RDP. Memulai darimana agar perusahaan daerah ini selamat dan para pengurusnya profesional serta menghasilkan keuntungan bagi daerah ini.
Anggota Komisi III semuanya menyarakan agar PT. Flobamora di audit oleh lembaga independen. Yang jelas bahwa hasil audit BPK NTT, perusahaan ini merugi tiada henti dari waktu ke waktu.
Kasus sebuah hotel Plago milik PT. Flobamora di Labuan Bajo pun sudah mubazir. Ini hotel mewah tetapi ketika Komisi III DPRD NTT berjunjung ke hotel ini 27 Mei 2022, kondisinya sangat memprihatinkan. Ketua Komisi III Jonas Salen menjelaskan,” Hotel ini tinggal puing.
Kondisinya sangat memprihatikan. Pengelolah sebelumnya sudah kabur tak berbekas, semua berantakan, kondisi secara keseluruhan hotel ini, sudah tidak layak sebagai sebuah hotel yang dulu berjaya dan menjadi penginap yang diidolahkan wisatawan. Semua AC sudah dibawah kabur, toilet-toilet dicungkil oleh pengelolah sebelumnya, halaman sekitar penuh sampah dan rerumputan. Sebuah asset daerah yang diterlantarkan Pemda NTT yang diharapkan bisa menjadi sumber pendapatan bagi PAD NTT.”
Hal ini ditegas Jonas Salean kepada expontt.com Jumat 27 Mei 2022. Istilah yang pas ditujukan kepada pengelolah perusahaan daerah seperti dikemukakan seorang anggota DPRD NTT di Komisi III, ”Pengurus PT. Flobamora, percaya diri atau PD, PD Saja Tanpa Beban dan berapa uang daerah yang pernah disalurkan ke perusahaan ini.”
Soal Hotel Plago seperti dijawab sang Direktur Utama pada RDP belum bisa dilakukan apa-apa karena kendala Hak Guna Bangunan (HGB) masih atas nama pengelolah sebelumnya.
Nasib PT. Flabomora hingga kini, hidup enggan mati tak mau. Semua asset termasuk kapal maupun feri sejumlah tiga unit sudah tak berbekas entah kemana.
Komisi III DPRD NTT meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT untuk segera melakukan audit investigasi dari lembaga independen terhadap perusahaan milik daerah PT. Flobamora. Audit investigasi dilakukan bukan untuk mencari-cari kesalahan namun untuk melihat kinerja perusahaan itu sehingga bisa memberikan kontribusi bagi daerah.
Sementara Dirut PT Flobamora, Agustinus Z. Bokotei, menyatakan kesiapannya jika dilakukan audit dari lembaga independen meskipun setiap tahunnya dilakukan audit oleh auditor yang ditunjuk oleh perusahaan maupun dari BPK RI Perwakilan NTT.
Hal itu tercapai dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPRD Provinsi NTT dengan Manajemen PT. Flobamora yang berlangsung di Gedung DPRD NTT, Rabu sore 25 Mei 2022, seperti diwartakan harian Timex.
Rapat dipimpin langsung Ketua Komisi III, Jonas Salean, SH, M.Si dan dihadiri sejumlah anggota komisi. Hadir pula Wakil Ketua DPRD NTT, Dr. Ince Sayuna, SH. Dari PT. Flobamora hadir langsung Dirut, Agustinus Z. Bokotei, Direktur Operasional, R. Ataupah, serta Kepala Biro Ekonomi, Dr. Lerry Rupidara.
Ketua Komisi III, Jonas Salean di awal rapat menjelaskan, RDP dengan PT. Flobamora dimaksudkan untuk mendengar penjelasan dari manajemen perusahaan terkait sejumlah persoalan yang selama ini mengemuka di publik. Diantaranya, pernyataan Komisaris Utama (Komut) di media sosial pemandangan umum fraksi-fraksi DPRD NTT terhadap perusahaan daerah itu.
Menurut Jonas Salean, Komisi III merasa heran karena keberadaan Komisaris di perusahaan itu terlalu mencampuri urusan teknis yang sebenarnya menjadi tugas dewan direksi perusahaan. Kata Jonas, DPRD tidak memiliki urusan dengan Komisaris Utama PT. Flobamora karena mitra mereka adalah Gubernur NTT.
“Tugas Komisaris itu adalah melakukan pengawasan, tidak seenaknya mengeluarkan pernyataan terkait pemandangan umum fraksi. Apalagi menurut pengakuan Dirut, mereka tidak tahu menahu Komut membuat pernyataan seperti itu. Ini jadinya rancu,” ujar Jonas.
Jonas Salean melanjutkan, persaoalan yang juga perlu mendapat penjelasan adalah terkait kontribusi perusahaan itu terhadap PAD dari sejumlah unit usaha yang dilakukan perusahaan plat merah tersebut serta terkait pengelolaan Hotel Sasando Internasional, nasib Hotel Plago di Labuan Bajo setelah diambil alih Pemprov, kesimpangsiuran dana Rp 1,6 miliar, dan sejumlah persoalan lainnya.
Masih kata Walikota Kupang periode 2012 – 2017 ini, Komisi III perlu mendapatkan penjelasan karena pendirian sebuah BUMD seperti PT. Flobamora dimaksudkan untuk memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah dan bukan menjadi beban keuangan daerah.
Dirut PT. Flobamora, Agustinus Z. Bokotei pada kesempatan itu menjelaskan pihaknya masuk mengelola PT. Flobamora sejak September 2018 lalu. Saat awal memimpin perusahaan itu, terdapat kerugian sebesar Rp 4 miliar. Setelah memimpin perusahaan milik pemerintah itu, pada tahun buku 2020 langsung menciptakan laba senilai Rp 1,2 miliar. Laba tersebut selanjutnya disetor ke kas daerah senilai Rp 500 juta dan Rp 5 juta disetor ke Koperasi Prajamukti serta sisanya menjadi biaya operasional perusahaan.
Flobamora, lanjut Agustinus, menjalankan bisnis pengelolaan kapal perintis yang melayani sejumlah rute yang tidak dilayani oleh PT. ASDP dengan dua kapal, yakni KMP. Pulau Sabu dan KMP. Sirung. Dua kapal ini dikelola dengan bantuan subsidi dari Kementrian Perhubungan (Kemenhub) senilai Rp15 miliar tiap tahun. Sedangkan satu kapal lainnya yakni KMP. Ile Boleng hingga saat ini tidak beroperasi karena mengalami kerusakan.
Usaha lain yang dijalankan adalah pengelolaan Sasando Internasional Hotel melalui anak perusahaan PT. Flobamora Bangkit Internasional. Dalam kaitannya dengan Hotel Sasando, ia menyebut bahwa sejak diambilalih tahun 2018, pihaknya telah memberikan kontribusi untuk kas daerah kurang lebih mencapai Rp 800 juta. Sedangkan terkait pengelolaan Hotel Plago di Labuan Bajo, kendati telah dilakukan PKS dengan Pemprov NTT, namun tidak berjalan karena terkait HGB dengan pengelolah sebelumnya. ♦ wjr