Oleh: Benny Daga
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Ngada, Marianus Sae. Saya selalu menjadi orang yang tidak terlalu sepakat dengan cara pandang yang melegitimasi sebuah sistem hukum dari sistem Eropa Continental yang kemudian di adopsi secara utuh oleh KPK dari pasal 1 angka 19 KUHAP tanpa melakukan evaluasi penerapan untuk dipraktekan dengan sebutan OTT atau Operasi Tangkap Tangan yang seakan – akan menjadi ‘penyedap rasa’ bahwa OTT adalah cara terbaik atau amunisi ampuh lainnya yang dipakai dari upaya pemberantasan korupsi.
Selayaknya KPK dalam rangka menegakan hukum yang selalu berlandaskan semangat ‘pemberantasan’ dengan bernafaskan pada UU Tipikor No. 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 yang mengatur kekhususan dalam delik, harusnya bisa menerjemahkan praktek OTT secara lebih baik daripada OTT produk kolonial dalam pasal 1 angkah 19 KUHAP tersebut, yang pada hakikatnya juga jadi dasar lain yang dipakai oleh KPK.
Kalau kemudian KPK tetap mempraktekan OTT seperti selama ini yang dilakukan, maka pendapat pribadi saya dari dulu hingga kapanpun akan selalu sama, KPK sedang bersembunyi di balik antusiasme publik soal ‘melawan korupsi’ dan memanfaatkan rasa simpati publik yang kuat untuk terus mempraktekan OTT walau dengan sistem dan cara yang keliru. KPK dengan kekhususannya harus lebih jauh menerjemahkan pasal 1 angka 19 KUHAP, artinya KPK harus menegaskan pada publik bahwa yang dimaksudkan dengan OTT atau Operasi Tangkap Tangan berarti seketika ada aktifitas atau tindak pidana korupsi (transaksi suap menyuap) sedang terjadi karena pemahaman publik secara luas OTT tentu seperti itu (Sedang bertransaksi / sedang terjadi suapa menyuap berlaku aktif).
Apabila kejadian seperti yang dialami oleh bupati Nagada yang juga adalah cagub NTT, mengapa KPK menyebutnya sebagai OTT jika penangkapan dilakukan di dua atau tiga lokasi berbeda dan saat penangkapan belum terjadi atau tidak ada serah terima uang dari tersangka pemberi atau perantara suap kepada Marianus Sae? Kemudian KPK menjerat Marianus Sae dengan delik suap sebagaiaman disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seketika itu, bukan melalui pengembangan kasus terlebih dahulu meski uang suap tidak ditemukan pada saat MS disebut OTT selain ATM dan bukti atau struk penarikan sejumlah uang yang disebut atas nama pemberi suap ( Wilhelmus Iwan Ulumbu )? Mengapa OTT terhadap Marianus Sae dilakukan sehari sebelum pengumuman KPUD, sementara KPK sudah mengangantongi bukti atau indikasi suap jauh – jauh hari sebelum MS maju dalam kontestasi pilgub NTT?
Wallahualam! Hanya KPK yang paling tau menjawabnya, tetapi publik terlanjur menilai KPK berpolitik, walaupun sebagai praktisi saya sanksikan anggapan itu karena alasan KPK selalu sama, KPK on the track (KPK by rules). OTT oleh KPK terhadap siapa saja dalam memerangi korupsi harusnya dilihat dalam perspektif pencegahan dan dapat dipahami secara hukum, sehingga dalam penetapan tersangkah oleh KPK dengan adanya OTT tidak dipraktekan secara keliru yang pada akhirnya menimbulkan banyak tafsiran.
KPK harus menyadari itu, bahwa akan lebih baik mengedukasi pada publik jika OTT disempurnakan lagi oleh KPK dan memberi batasan jelas mana penetapan tersangka karena OTT dan mana penerapan tersangka karena pengembangan penyidikan. Apalagi KPK karena kekhususannya (lex specialis) tidak mengenal penghentian penyidikkan sebagaimana dalam pasal 109 ayat 2 KUHAP yang berlaku umum (lex generalis) mengatur soal SP 3, sehingga amat rentan jika KPK tidak memperbaiki penerapan OTT (secara etimologi hukumnya) kalau nanti dikemudian hari dalam proses pembuktian KPK tidak memiliki cukup bukti untuk menjerat seseorang yang sudah terlebih dahulu terkena OTT dan sudah diumumkan secara luas, bagaimana implikasi hukumnya terhadap seseorang yang sudah jadi tersangka dengan tidak adanya SP 3 dalam sistem penyidikan KPK?
Bagi saya ini penting, KORUPSI haruslah DILAWAN! tetapi penting juga diimbangi dengan evaluasi dan perbaikan sistem dalam UU TIPIKOR terutama dalam prakteknya sehingga hak – hak hukum siapa saja yang disidik KPK bisa diakomodir dengan baik. Semoga dam RUU KUHAP yang sedang dibahas oleh DPR, OTT / Operasi Tangkap Tangan ini mendapat perhatian dan batasan hukum yang tegas. ♦ moralpolitik.com