Oleh Marlin Bato
*Koordinator Gerakan Kebangkitan Rakyat NTT (Gebrak NTT)
“Potius sero quam numquam; Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”. Pepata Latin ini lebih tepat menggambarkan betapa kehancuran NTT di depan mata jika salah memilih pemimpin. Masyarakat NTT perlu diberi edukasi untuk memilih pemimpin yang berkriteria baik dan jujur sebelum terlambat saat kehancuran hendak datang. Karenanya, rekam jejak calon pemimpin NTT juga harus dibuka sejujur-jujurnya, tidak boleh ada yang menutupi. Tidak boleh pula ada upaya pembohongan publik.
Belum lama ini, beredar viral selembar Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) Nomor SKCK/YANMAS/266/I/2018/DIT INTELKAM dari Kepolisian Daerah Metro Jaya. Surat itu diketahui dikeluarkan bulan Januari 2018 oleh Polda Metro Jaya.
Dalam surat itu, tertulis catatan kriminal seorang Calon Gubernur NTT bernama lengkap Victor Bungtilu Laiskodat. Sebelum surat ini muncul, rumor terkait catatan kriminal Vicky panggilan akrab Victor Laiskodat sudah sangat kencang dan santer di beberapa platform media. Dan akhirnya rumor itu terbukti ketika seorang pendukung Vicky memposting di jejaring WhatsApp Group (WAG) Paguyuban Flobamora. Tentu saja (member) penghuni group kaget sejadi-jadinya, karena selama ini banyak yang tak tahu ada catatan kriminal seorang calon Gubernur NTT. Sontak hal itu menjadi perdebatan sengit dan saling celah mencelah masing-masing para pendukung. Riak perdebatan kian sengit ketika catatan kriminal ini dikaitkan seluk beluk latar belakang Victor Laiskodat yang konon katanya sangat akrab dengan dunia mafioso, Asian Godfather.
Setidaknya ada beberapa catatan penting yang patut menjadi sorotan; Pertama, Catatan kriminal tersebut muncul pada saat Victor Laiskodat hendak maju menjadi calon Gubernur NTT. Ini tentu sangat baik, agar publik dapat melihat segala aspek yang melekat pada diri Laiskodat. Rekam jejak seorang mantan anggoa DPR ini harus dibuka secara terang benderang kehadapan publik.
Kedua, Sebenarnya, dengan munculnya catatan kepolisian (Police Record) institusi yang paling pertama patut dipertanyakan adalah KPUD dan Bawaslu NTT sebab selama melenggang ke Senayan hingga sekian periode, catatan kriminal Victor Laiskodat ini tidak pernah muncul ke permukaan. Padahal jika dilihat dari Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 tentang Pemilu Legislatif serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam amar putusan atas napi Robertus, Selasa 24 Maret 2009 menegaskan adanya conditionally unconstitutional atau inskonstitusional bersyarat. Artinya, ketentuan tersebut dinyatakan inskonstitusional bila tak memenuhi empat syarat yang ditetapkan MK dalam putusannya, yakni, (1) tak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), (2) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, (3) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (4) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Sehingga pada poin (3) sangat jelas menyebutkan bahwa ada pengecualian yaitu mantan nara pidana wajib mengumumkan ke publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan nara pidana. Pada poin ini, KPUD dan Bawaslu NTT sebenarnya kecolongan. Atau patut dicurigai ada deal-deal terselubung untuk menutupi kasus ini. “Fiat justitia et pereat mundus – Keadilan harus ditegakkan, walaupun dunia harus binasa”.
Ketiga, pasal 328 Juncto pasal 55 juncto pasal 170 KUHAP yang menjerat Victor ini adalah pasal berlapis, diantaranya penculikan dan turut serta melakukan kekerasan (penganiayaan) terhadap orang lain. Sampai disini, publik NTT harus memahami bahwa calon pemimpin seperti ini berpotensi merampas hak warga, berpotensi zalim dan otoriter karena dia memiliki pengalaman untuk tak segan-segan melakukan tindakan tersebut. Ingat..!! “Salus populi suprema lex esto – Hendaklah keselamatan rakyat menjadi hukum yang tertinggi,” maka sepantasnya rakyat NTT harus diselamatkan terhadap calon-calon pemimpin berpotensi zalim dan otoriter. Sebab kelak, bukan tidak mungkin dia akan memperlakukan rakyat dengan cara-cara kejam. Gambaran ini hanya memaksa rakyat NTT kembali ke masa-masa priyayi, yang mana rakyat harus tunduk pada sang penguasa dan suara-suara kritis harus dibungkam.
Keempat, dalam ketentuan UU Pilkada No. 10 tahun 2016, setiap mantan nara pidana yang telah menyelesaikan hukumannya memilik hak konstitusional sebagai warga negara yang juga memiliki hak untuk dipilih. Namun, adapun bunyi Pasal 7 ayat 2 huruf g UU No 10/2016 yaitu, “Calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: G. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Maka jika mengacu pada UU Pilkada tersebut, seharusnya Victor Laiskodat wajib menyatakan secara jujur dan terbuka ke publik NTT melalui media massa terkait Surat Keterangan Catatan Kepolisian dari Polda Metro Jaya. Dura lex, sed lex – Hukum memang keras, tetapi itulah hukum. Semua sama dimata hukum. Kewajiban seorang mantan nara pidana yang mencalonkan diri menjadi Gubernur harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku meskipun itu menyakitkan, tak peduli dimanapun posisi dan latar belakangnya.
Konstituen NTT perlu memetik pelajaran, mencermati, diberi pemahaman politik secara baik untuk melihat setiap figur yang maju di Pilgub NTT kali ini. Jika ada calon yang pernah bermasalah dengan hukum tetapi tidak mengumumkan dirinya ke publik maka seyogyanya itu patut dicurigai ada maksud terselubung untuk menyembunyikan jejak-jejak kelam calon tersebut.
Selayaknya figur tersebut diberi stemple calon Gubernur pasal 328 Juncto pasal 170. Karenanya, masyarakat pemilih wajib menanyakan kepada KPUD dan Bawaslu NTT perihal persyaratan yang tertuang dalam UU Pilkada tersebut. Jika hal ini luput dari perhatian penyelenggara pemilu, maka bukan tidak mungkin semua yang terlibat dalam agenda akbar kali ini sudah tercemar sindikasi maladiministrasi pemilu. “Amor patriae nostra lex – cinta tanah air adalah hukum kita”. Mari belajar jujur…!! ♦