“Negeri Liburan”

WJR

NEGERI ini, Republik Indonesia, kerap membuat kebijakan yang kurang populis. Kali ini, saya hanya mengkritisi kebijakan Pemerintahan Jokowi yang menentapkan hari libur lebaran 1 Saywal 1439 H yang jatuh pada 15 Juni 2018. Kurang jelas bagi saya, mengapa liburan dimulai 11 Juni 2018 dan setelah lebaran masih juga liburan mulai 20 Juni 2018 sampai dengan 25 Juni 2018.
Dua hari sebelum lebaran 11 dan 12 Juni 2018 adalah hari kerja, namun Pemerintah menetapkan dua hari ini sebagai hari lebaran dan 20 sampai 23 Juni 2018 adalah hari kerja namun ditetapkan pula sebagai hari libur. Hari libur diluar tanggal merah adalah kebetuntungan bagi Aparatur SIpil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Mengapa, karena ASN bekerja atau tidak bekerja tetap menerima gaji setiap bulan. Ini hal pasti yang tak terbantahkan. Halnya perilaku ASN dengan pelayanannya yang buruk, ini menurut pengalaman dan pengamatan saya setelah mengetahui tugas dan fungsi ASN.
Liburan panjang yang ditetapkan secara sepihak dan kurang bijak merupakan kerugian bagi rakyat dan perusahaan yang bergerak bidang usaha kreatif seperti industeri. Kalangan penguasaha atau wiraswata sudah melayangkan protes atas kebijkan ini. Namun tetap dijalankan.Kebijakan liburan walau hari kerja atau tanggal hitam merupakan kerugian bagi rakyat, kalangan wiraswasta dan pengusaha yang membutuhkan pelayanan ASN.
ASN, tugas utamanya ialah melayani mesyarakat dan abdi Negara. Namun apa jadinya jika masyarakat yang nota bene pada hari kerja membutuhkan pelayan ASN? Sudah pasti terganggu dan harus tertunda sekian lama.Negeri ini, Indonesia mengedepankan libur bagi ASN. ASN itu, kerjanya hanya lima hari. Saya mau tegaskan bahwa ASN atau PNS itu, hanya bekerja empat hari. Sebab, pada Jumat ASN di negeri ini wajib olah raga. Hari itu, ASN tidak mengenakan seragam dinas tetapi berpakaian olah raga.
Hari Jumat ASN hanya melayani masyarakat beberapa jam. Menyambut hari libur rutin setiap Sabtu, ASN harus lebih rileks? Jika dihitung hari libur bagi ASN setiap Sabtu, maka setahun menjadi 12 dikali empat hari maka dalam setahun ASN berlibur rutin 48 hari atau satu bulan lebih. Di tambah hari libur yang ditetapkan dengan kebijakan yang kurang populis, maka dalam setahun ASN berlibur panjang, rileks lebih lama dibanding kerja melayani masyarakat. Contoh di bulan Juni 2018 ini, liburan rutin 4 hari yaitu setiap Sabtu. Di tambah dengan liburan yang tak bertanggal merah yaitu 10 hari, maka dalam bulan Juni 2018 saja menjadi 14 hari.
Adilkah Negara ini terhadap masyarakat bawa, para petani dan para gelandangan dan kaum miskin yang kian meningkat jumlahnya?
Dimana suara wakil rakyat di Senayan? Mengapa DPR diam saja? Atau dewan ikut sedang karena tidak bekerja namun tetap menerima gaji utuh setiap awal bulan? Ok, bahwa petani tidak dilarang siapapun termasuk Negara untuk tetap bekerja di hari libur. Petani membutuhkan makanan setiap hari dari cucuran keringat. Petani harus bekerja keras agar tersedianya stok beras.
Tetapi, ya tetapi, ketika stok beras dalam negeri menipis, pemerintah lagi-lagi mengeluarkan kebijakan impor beras dari luar negeri. Jalan pintas bagi generasi penerus negeri ini ialah berusaha dan berlomba-lomba menjadi ASN. Bekerja tidak bekerja sama saja, setiap awal bulan terima gaji. Walau kebijakan atau sytem pemerintah menurut saya kurang adil dan kurang cermat bahkan cenderung merugikan sebagian kalangan masyarakat dan kaum lemah, harus tetap makan agar tetap hidup.
Sebagian masyarakat Indonesia yang tidak masuk dalam kategori sebagai ASN harus bertahan dan menerima apa adanya. Hidup adalah kesempatan, tetapi hidup adalah perjuangan.
Liburan itu waktu santai, senang-senang, hibur diri dan melepaskan semua kepenatan jiwa dan raga. Sesekali santai diperlukan. Ya seperti berlibur ke objek wisata terkenal dalam atau luar negeri. Para pakar psikologi positif seperti dikutip dari berita kompas.com, mengacu kepada teori anticipal pleasure yang dikemukakan ekonom William Stanley Jevons pada awal abad ke-20. Mereka mengungkapkan bahwa kenikmatan liburan sudah dapat kita rasakan sejak merencanakannya. Kepuasan ini semakin terasa menjelang harinya tiba, dan mencapai puncaknya pada hari pertama liburan. Liburan juga seharusnya membawa dampak positif bagi kesejahteraan mental. Liburan yang sehat akan menyegarkan jiwa dan kita pun kembali ke kegiatan sehari-hari dengan semangat baru.
Karena liburan menjauhkan diri kita dari tuntutan pekerjaan sehingga mengistirahatkan otak dari mekanisme berpikir yang rumit. Liburan juga membawa fungsi penyegaran secara sosial (social recharge) dengan mendekatkan kita pada keluarga atau teman-teman yang sering terabaikan karena kesibukan sehari-hari. Secara khusus dari aspek kesehatan emosional, berlibur memberi banyak peluang bagi kita untuk mengalami pengalaman puncak (peak experience). Bayangkan, saat kita menatap Matahari terbenam dan dalam hitungan detik kita merasakan kekaguman luar biasa dengan keindahan langit kala senja. Pengalaman-pengalaman semacam ini diyakini Abraham Maslow, penggagas psikologi humanistis, penting untuk kematangan emosi.
Kenikmatan-kenikmatan seperti ini dapat memperkaya sekaligus menyeimbangkan aspek-aspek emosional kita. Seperti yang dikatakan filsuf Yunani, Epicurus, “Tidak mungkin manusia dapat memiliki hidup menyenangkan tanpa hidup bijak dan melakukan hal-hal bermakna”. Begitu juga sebaliknya, manusia tidak mungkin memiliki hidup bermakna tanpa mengalami kesenangan kesenangan diri dalam hidup. Karena dalam hidup yang penting adalah menyeimbangkan keduanya, hidup yang bermakna (eudaimonia) dan kesenangan (hedonisme). Dengan cara tertentu, liburan adalah bentuk keseimbangan antara keduanya.
Jika kebahagiaan menurut Thomas Merton, penyair yang juga biarawan, adalah persoalan harmoni dan keseimbangan, maka liburan pun menyumbang terhadap kebahagiaan kita. Oleh sebab itu, sering-seringlah liburan. Mungkinkah? Di sinilah pentingnya “mental” liburan. Jika kita memiliki mental liburan, kita dapat berlibur setiap hari, tidak perlu menunggu waktu libur panjang, tidak perlu menghitung jatah cuti. Bagaimana caranya? Kita dapat melakukan apa yang dinamakan Fred B. Bryant dan Joseph Verrof, keduanya pakar psikologi positif, sebagai liburan harian. Liburan harian ini penting untuk keseimbangan hidup setiap harinya. Caranya juga mudah. Siapkan waktu sekitar 30 menit per hari untuk memanjakan diri dengan sekadar duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi panas, membaca buku favorit, atau membeli jajanan pasar yang sudah lama tidak dicicipi. Daftar di atas dapat Anda tambahkan sendiri. Rencanakan setiap hari apa yang hendak Anda lakukan besok untuk berlibur singkat. Jangan lupa, kenikmatan liburan sudah dapat kita rasakan sejak merencanakannya.
Liburan menurut benak saya, hanya berlaku bagi mereka yang empunya banyak duit. Pengalaman yang berlibur kemana-mana seantero masyarakat dunia, hanyala orang-orang kaya yang sudah terpenuhi semua. Rakyat kecil seperti saya, tak mungkin bisa lakukan. Hendak berlibut, harus berpikir matang, harus nabung sekian puluh tahun. Niscaya bisa terwujud. Semoga pengambil kebijakan di negeri ini mempertimbangkan lagi kebijakan yang tidak adil, sebagikanya pemimpin negeri ini, ekskutif dan legisilatif lebih bijak dan adil mengambill kebijakan. ♦