Di saat rakyat menjerit akibat dililit kemiskinan, tidak mampu membiayai pengobatan rumah sakit, tidak mampu membiayai anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, pimpinan dan anggota DPR RI ngotot minta dana aspirasi. Bukan 200 juta, tetapi Rp 20 miliar per anggota. Ini tidak masuk akal bagi yang waras, tetapi menjadi logis bagi anggota DPR RI?
Menurut saya, manusia yang mengaku anggota DPR RI sudah tidak waras, tidak tau diri, dan tidak manusia bahkan biadab. Biadab, karena tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan, aspek tugas dan fungsi lembaga dewan. Tetapi condong serakah, rakus dan kurang ajar. Kurang ajar karena merampas hak dan kewajiban pemerintah atau eksekutif yang tugasnya membangun masyarakat sesuai usulan atau desakan anggota dewan berdasarkan aspirasi rakyat dari setiap daerah pilihan.
Orang bodoh pasti juga akan bilang,” Jadi anggota dewan yang kerap disapa yang terhomat kok, malah membuat kebijakan yang mencederai perasaan rakyat. Sudah dialokasikan dana reses. Dana reses disediakan oleh Negara dari hasil pajak rakyat, supaya anggota dewan rajin turun ke daerah pemilihan untuk menyerap aspirasi rakyat. Mendapat masukan apa keluhan rakyat, apa yang dibutuhkan rakyat.”
Tetapi malah anggota dewan ngotot minta dana aspirasi senilai Rp 20 Miliar perorang pertahun? Dengan demikian, anggota dewan mau berperan diri sebagai anggota dewan, tetapi juga kuasa pengguna anggaran. Apa pun alasan dan alibi yang dibangun, menurut hemat saya sangat tidak masuk akal. Selain akan mengacaukan system administrasi Negara, permintaan dana aspirasi juga tidak etis karena merampas tugas dan kewajiban eksekutif.
Kedua wacana dana aspirasi atau nama kerennya Dana Program Pembangunan Daerah Pemilihan (P2DP) melanggar aturan ketatanegaraan. Sengaja minta dana aspirasi ketika KPK sedang lemah atau mati suri. Rakyat sudah sadar dan muak dengan perilaku anggota dewan yang sudah diluar kewajaran. Rakyat sadar bahwa anggota dewan dari pusat sampai daerah adalah orang pintar bergelar doktor dan professor. Rakyat tahu bahwa anggota dewan berduit. Buktinya ada anggota dewan yang pamer batu akik seberat 175 kg dengan harga miliar rupiah.
Publik sudah antipati dan marah. Sebagian anggota DPR sudah sadar dan wanti-wanti tidak mau dijebloskan ke bui dengan program yang tidak jelas ini. Tetapi masih sangat banyak anggota DPR terhormat yang merindukan uang aspirasi itu. Lucu?
Untuk mereka yang ngotot dan ingin mendapatkan dana aspirasi itu, mungkin cerita di bawah ini bisa jadi pertimbangan atau setidak-tidaknya menjadi awasan dalam memutuskan sesuatu.Ini saya kutip berita dibawah ini untuk melengkapi kisah arogansi dan kerakusan anggota dewan yang diambil dari laman portal berita.
Di Filipina, sudah lama menerapkan program dana aspirasi ini. Dan buntut dari program itu kita semua pasti pernah mendengar skandal dana aspirasi tersebut yang di luar negeri disebut pork barrel. Pork barrel di Filipina disebut The Priority Development Assistance Fund (PDAF) atau Dana Bantuan Pembangunan Prioritas. Konsepnya sama persis dengan penuturan Anggota DPR RI soal konsep P2DP.
Di Filipina, media massa lokal berhasil membongkar penipuan PDAF melibatkan seorang pebisnis perempuan bernama Janet Lim-Napoles.
Diperkirakan Pemerintah Filipina dirugikan hingga 10 miliar Peso atau setara Rp2,94 triliun dengan kurs 1 peso sama dengan Rp294, hanya dari kejahatan Janet Napoles sendiri. Ditemukan juga kejahatan itu melibatkan sejumlah anggota Kongres Filipina dan Pejabat Pemerintahan.
Berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber, disebutkan bahwa sejak 2008, setiap anggota DPR Filipina mendapat jatah sekitar 70 juta peso at au sekitar Rp 20,5 miliar. Anggota Senat (DPD RI di Indonesia) mendapat alokasi hingga 200 juta peso atau sekitar Rp58,8 miliar per tahun. Angka itu meningkat setiap tahun.
Janet beroperasi melalui perusahaannya, Grup JLN, untuk melaksanakan proyek fiktif yang didanai PDAF lewat kerja sama dengan oknum anggota Parlemen. Janet membentuk puluhan LSM dan lembaga yang berfungsi menjadi seakan-akan penyalur aspirasi rakyat kepada anggota Kongres Filipina.
Dengan dasar itu, para anggota Kongres yang mau diajak bekerja sama oleh Janet lalu mengusulkan pengerjaan proyek terkait aspirasi itu ke Pemerintah.
Janet Napoles secara khusus menangani produk pertanian. Kaki tangannya akan mengirimkan proposal ke anggota kongres meminta pendanaan proyek tertentu terkait pembelian produk pertanian untuk masyarakat. Legislator yang sudah bermain mata akan memberi tahu Departemen of Management and Budget (DBM), atau semacam Kementerian Keuangan di Indonesia, tentang agensi yang menjadi penerima alokasi dana PDAF miliknya.
Oleh DBM, surat keputusan tentang persetujuan pencairan dana dikeluarkan, dan pagu anggaran yang dialokasikan untuk anggota Kongres dikurangi. Setelah itu, dikeluarkan Notice of Cash Allocation (NCA) kepada agensi penerima, yang kemudian didepositkan di rekening agensi dimaksud.
Dari agensi itu, dana lalu dicairkan ke salah satu Grup Usaha JLN milik Janet, dan dibagi-bagi oleh Janet dengan sang anggota Kongres, pejabat pemerintahan yang memfasilitasi transfer dana itu, dan aparat terkait bupati/walikota serta gubernur setempat. Sementara proyeknya sendiri tak dikerjakan.
Grup JLN biasanya menawarkan komisi 10-15 persen dari jumlah dana yang dikeluarkan kepada pemerintah lokal yang diajak bekerja sama. Sementara anggota Kongres mendapatkan komisi sekitar 40-50 persen. Proposal usulan proyek dari pihak Janet kepada Kongres juga menyertakan surat persetujuan aspirasi dari Pemerintah Daerah. Banyak diantara dokumen itu dipalsukan oleh anak buah Janet. Ada juga beberapa kepala daerah di Filipina yang mengaku menandatangani, namun tak sadar kalau proposal proyek itu ternyata fiktif.
Di laporan media Philippine Daily Inquirer, sebanyak 5 Senator dan 23 Anggota DPR Filipina diduga terlibat dalam penipuan oleh Janes Napoles tersebut. Belakangan, hasil Badan Audit Filipina, sama seperti BPK RI, mengeluarkan laporan yang mengkonfirmasi hasil investigasi media massa itu.
Bukan itu saja, BPK Filipina pun menunjukkan indikasi bahwa sejak 2007 sampai 2009, sebanyak 6,156 miliar Peso (Rp1,89 triliun) dana PDAF dari 12 anggota senat dan 180 anggota DPR Filipina telah digunakan mendanai 772 proyek yang dinilai tak layak dan tak sesuai prosedur. Ditemukan juga bahwa dari 82 LSM yang terlibat melaksanakan proyek itu, 10 diantaranya terkait dengan Janet dan grup usahanya.
Ditemukan juga bahwa 1,054 miliar peso (Rp309 miliar) dana PDAF dicairkan ke sejumlah NGO yang tak terdaftar atau menggunakan NPWP ganda, atau mengeluarkan kwitansi diduga palsu. Itulah model dana aspirasi di Filipina. Dan karena itu pula, politisi PDIP, Henry Yosodiningrat cemas banyak anggota DPR yang akan masuk bui. Apakah DPR akan mempertahankan dana aspirasi di tengah antipati publik yang sangat tinggi? Selamat mencoba. Saya imbau anggota dewan rakus dan pongah supaya mengambil waktu sejenak untuk merenung. Kebetulan bersamaan bulan puasa yang dimulai 18 Juni 2015 ini. Bertobatlah, berbuatla yang terbaik untuk rakyat demi kemuliaan dirimu dan keluarga supaya jangan masuk dalam pencobaan masuk bui seperti rekan politisi dan pejabat Negara yang rakus.
Saya bersama staf mingguan ini mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa bagi Umat Umat Muslim yang merayakan. ♦ wjr