Katebelece

KATEBELECE kata lain minta-minta. Minta supaya dibantu, karena kekurangan biaya atau tidak sanggup. Katebelece yang diperbincangkan dan dicaci maki karena dilakukan pejabat Negara apa lagi anggota dewan yang terhormat seperti Rahel Maryam. Rahel Maryam ini, terbilang biadab dan tak tau diri. Tak tau diri, karena dia sudah di gaji besar oleh Negara, uang dari pajak rakyat. Tidak tau diri, dan tidak tau malu karena minta dilayani bukan dalam rangka tugas Negara tetapi berlibur sekeluarga.
Tidak tau malu, karena katebelece dalam bentuk sepucuk surat agar kedutaan di Sydney Australia menyiapkan fasilitas penjemputan dan akomodasi.
Keterlaluan, seakan tak punya moral. Urusan berlibur sekeluarga, tetapi mau dilayani secara kenegaraan. Ini mental hewan. Hewan dalam mengisikebutuhan hanya menggunakan insting. Ya karena hewan. Seharusnya hal demikian tidak dilakukan manusia cerdas, manusia yang mendapat gaji dan fasilitas mewah dari Negara.
Rahel Marya mungkin tuli, atau bodoh, tidak bisa membaca atau bahkan tidak peka atas seruan Presiden Jokowi sejak awal pemerintahan dengan seruan revolusi mental. Manusia berpendidikan pasti tidak sulit menterjemahkan dua kata ini, revolusi dan mental. Artinya mental yang bobrol, mental korupsi, mental serba enak jangan lagi dilakukan. Pejabat bukan untuk dilayani tetapi punya tugas penting yaitu melayani masyarakat. Apa lagi Rahel seorang wanita yang juga wakil rakyat. Rahel hanya satu pejabat dari sekian juta pejabat yang selalu meminta fasilitas Negara walau urusan pribadi, keluarga maupun koleganya.
Ketua Umum Partai Gerindera harus bertindak tegas, karena perbuatan tak terpuji yang dilakukan Rahel termasuk Mohamad Sanusi yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK harus dipecat. Citra partai jadi buruk bahkan negatif. Kesan kuat, menjadi anggota partai dan lolos sebagai anggota untuk mendapat gaji, fasilitas Negara dan untuk mencuri uang Negara seperti dilakukan Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi yang saat ini sudah mengenakan rompi kuning,symbol pemakai baju kuning adalah tukang maling, tukang curi uang Negara dan bandit maling.
Reformasi dan revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi, dengan salah satu tujuannya ialah menekan nepotisme ke titik paling minimal. Kenyataannya, nepotisme masih enggan beranjak pergi, tetap saja hadir dalam praktik pejabat publik di negeri ini meski reformasi telah berusia 18 tahun. Yang paling mutakhir ialah nepotisme masih dipertontonkan tanpa rasa malu, tecermin dari beredarnya surat berkop Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang meminta Kementerian Luar Negeri memfasilitasi perjalanan liburan kolega menteri di kementerian tersebut dan keluarganya ke Perancis.
Tidak terlalu menjadi persoalan bila permintaan fasilitas itu untuk keperluan dinas kolega Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi, yakni Wahyu Dewanto Suripman sebagai anggota DPRD DKI dari Fraksi Partai Hanura.
Pejabat publik, apalagi yang dipilih rakyat, seharusnya melayani rakyat, mengabdi kepada publik. Pendulum sejarah seperti sedang dipukul balik ke masa Orde Baru ketika tradisi katebelece seperti itu lazim berlaku. Apalagi, penerbit katebelece ialah institusi yang semestinya membenahi kultur birokrasi kita. Sungguh satu praktik tidak reformis dari lembaga yang menyandang kata ‘reformasi’ pada namanya.
Presiden Jokowi harus pecat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi.Semua omongan Yuddy sejak menjadi menteri tidak terbukti. Belum sepekan menjadi menteri Yuddy mengeluarkan instruksi agar rapat pemerintah dari pusat sampai di daerah tidak boleh menggunakan hotel. Instruksi ini tidak terbukti,rapat dan kegiatan pemerintah kembali menggunakan hotel.
Saya dan kita kuatir bila institusi yang semestinya memelopori reformasi justru mengangkangi reformasi itu, bagaimana pula dengan institusi lain? Kekhawatiran kita terbukti ketika beredar pula katebelece dari Rachel Maryam Sayidina yang meminta Kedubes RI di Prancis menyediakan fasilitas tranportasi selama anggota DPR asal Partai Gerindra itu dan keluarganya berlibur di Paris. Kita sering mendengar selentingan kabar bahwa permintaan fasilitas oleh pejabat publik sesungguhnya jamak belaka. Bahkan kabar yang berseliweran menyebutkan permintaan fasilitas seperti itu juga ditujukan kepada BUMN dan swasta.
Ini jelas bisa menyuburkan kolusi dan korupsi. Bahkan ia bisa disebut kolusi dan korupsi. Kita bisa mengatakan sejarah boleh bergerak ke arah reformasi, tetapi mental pejabat publik dan birokrat kita justru mundur dan mereka sendiri yang telah memutar mundur jarum sejarah itu. Era reformasi sesungguhnya merupakan masa transisi, masa paling menentukan perjalanan bangsa. Negara ini bisa bergerak menjadi negara maju, sejajar dengan negara-negara lain yang telah lebih dulu mapan atau mundur kembali ke zaman ‘jahiliah’. Katebelece jelas menunjukkan kultur terbelakang, mental jahiliah. Jangan harap kita menjadi bangsa maju dan modern bila pejabat publik gemar menggunakan katebelece.
Hukuman formal, baik administratif, etik, maupun yuridis, dari negara mesti dijatuhkan kepada mereka yang masih mempraktikkan kolusi dan nepotisme, juga korupsi. Hukuman sosial dari publik pasti akan mereka terima dan hukuman sosial itu pasti lebih keras dari hukuman formal. Ini pelajaran buat pejabat publik lain. Perkara katebelece ini mengingatkan kita kembali akan pentingnya revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi supaya tak ada lagi katebelece di antara kita. Revolusi mental harus dimulai dari pejabat publik. Namun, masih maraknya penggunaan katebelece di negeri ini membuat kita bertanya, apa kabar program revolusi mental?
Suasana mencekam bagi rakyat yang saat ini sedang menghadapi situasi kesulitan ekonomi.Ketiadaan uang membiayai pendidikan anak,mengobati sanak saudara ke rumah sakit atau puskesmas,ketiadaan uang belanja pupuk, dan setumpuk suasana mencekam yang menyelimuti rakyat.” Di atas omong lain, pejabat dibawa bertindak lain.”
Rakyat dibuat tak berdaya. Dalam ketidakberdayaan itu, dimanfaatkan politisi. Faktanya, seorang calon anggota dewan, seorang calon kepala daerah tak perlu merogoh kocek lebih dalam. Cukup selembaran duapuluh ribu maka si pejabat mendapat kedudukan di atas kursi empuk. Kemikiskinan ini memang sengaja dirawat agar mudah diperdayakan. Potisi busuk, busuk dan busuk. ♦