HIDUP di zaman ini harus waspada. Penjahat ada dimana-mana. Si penjahat punya rencana dan niat-niat jahat. Saya merasakan, sebab dalam dua pekan terakhir di bulan April 2016 ini mengalaminya. Dicaci, dinista dan fitnah. Kejam nian mereka walau masih kerabat. Tapi, hati ini merasa senang, karena ada yang mengingati saya agar selalu hati-hati dalam menjalani hidup yang hanya sementara ini.
Konteks NTT, ada penjahat bertopeng, sok ilmiah, sok hebat dan sok tidak munafik. Ada pula penjahat yang meneror dan memeras, memangsa lawan dengan cara keji dan tidak berperikemanusiaan. Waspada dan harus membentengi diri dengan senjata tajam, senjata iman kepada Tuhan sesuai agama yang dianut.
Saya bertekad untuk membentengi diriku dengan senjata sangat tajam yaitu ‘pena”. Pena yang kupakai untuk menikam penjahat tetapi juga menulis kalimat yang menyenangkan, kalimat yang menyakitkan dan kalimat yang menyebabkan lawan sakit jantung, jika kurang tahan bantingan. Entah mengapa, berita media cetak dan elektronik didominasi kasus kejahatan pelaku criminal.
Terkini, ada penjahat yang secara tiba-tiba melukai manusia di jalanan dengan menembak walau menggunakan senjata angin tak berbahaya. Di Magelang, Yogya dan Jawa Tengah pada umumnya peristiwa menyerang manusia secara tiba-tiba sedang ditelisik polisi. Kejahatan sudah merajalela termasuk kejahatan cybercrime.
Cybercrime, atau kejahatan melalui untaian kata-kata melalui media sosial sedang tren. Saya mengalaminya pekan lalu dan saat ini sedang dalam penanganan pihak penyidik. Tulisan di media sosial seperti facebook, twitter, istragram dan berbagai akun sangat membahayakan diri dan keluarga karena melanggar pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transasksi Eltektronik (ITE). Pasal 27 ayat 1, 2 dan 3 juga ayat 4 dipidana dengan penjara paling lama enam tahun dan atau denda Rp 1 Milyar.
Konteks Indonesia, rakyat sedang dikepung penjahat yaitu korupsi, teroris, narkoba dan penjahat yang berkeliaran bebas di jalan-jalan dan pelosok kampung. Tindakan kejahatan sudah tak terbendung dan lintas manusia. Maksud saya lintas manusia yaitu, mulai dari pejabat tinggi negeri, penagak hukum sampai dengan anggota legislative, yudikatif dan legislatif.
Kasus penangkapan pejabat di Mahkamah Agung termasuk Sekjen MA juga sedang dalam proses hukum. Dapat dibayangkan, penegak hukum tertinggi negeri ini menjadi harapan terakhir pencari keadilan melakukan tindakan kejahatan mengkorup juga menerima suap. Rakyat kehilangan pegangan. Rakyat harus kemana?
Penyidik yang seharusnya menyidik penjahat melakukan tindakan kejahatan, membunuh, mencuri dan terakhir ikut pula terlibat dalam kasus narkoba. Saya tidak habis pikir secara akal sehat ketika Kasat Narkoba di Sumatera terlibat aktif dalam transasksi narkoba. Apakah hukum rimba harus dikedepankan oleh pencari keadilan? Rakyat Indonesia sedang dikepung dari semua lini oleh penjahat mulai dari desa sampai di kampung-kampung.
Uang digelontorkan dari APBN tak terhitung, sudah puluhan triliun untuk membiayai penegak hukum mengejar dan mengadili pelaku. Bahkan seperti kejahatan teroris Santoso dan kawan-kawan di Poso sampai memakan korban jiwa dan dana yang sangat besar.
Premanisme bertindak liar sesuka hati, tidak perperikemanusiaan. Preman bertindak sadis mematikan korban demi mendapatkan harta dan pemuasan diri. Penjara tidak lagi tempat yang haram dan menakutkan. Penjara sudah menjadi tempat yang nyaman untuk melakukan tindakan kejahatan seperti transaksi narkoba. Penjara menjadi tempat alternative bagi penjahat karena selain bisa melakukan tindakan kejahatan juga dijadikan tempat untuk hidup ini. Maklum, pelakukan kejahatan yang mendekam di penjara tidak harus pusing memikirkan hari ini makan apa.
Petuga Lembaga Pemasyarakatan (LP) sesuai undang-undang menyediakan makanan bagi para penghuni penjara. Bahkan narapida ingin tetap menetap dipenjara daripda keluar dari penjara dan kembali melakukan tindakan criminal atau kejahatan. Kapan tindakan kejatan bisa retas? Ya kecuali setan mati. Kalau setan di neraka masih berkeliaran bebas, maka kejahatan tak pernah hilang. ♦