“DOELOE”, ketika masih kecil saya hidup bahagia dan sukacita walau dalam keterbatasan ekonomi. Menu harian adalah jagung goreng diredam dengan menu garam, Lombok mentah dan daun papaya. Ini bukan kisah fiktif. Hidup di kampung, Woko Waka dengan ruang gerak sangat terbatas. Sampai memasuki usia sekolah dasar baru bisa mengenakan celana dan baju ala kampung dan tidak pernah cuci berbulan-bulan. Orang tua tidak punya niat merubah nasib anaknya. Profesi sebagai petani adalah tujuan dan cita-cita orang tua. Tidak terlintas dalam benak orang tua agar anaknya melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Setelah tamat SD, tidak terlintas melanjutkan pendidikan.Bertani dan beternak menjadi pilihan satu-satunya.Nasib orang kampung tidak menentu.Hidup dalam keterbatasan.Niat merubah nasib,niat mengubah kearah hidup yang lebih baik terus menggetarkan sukma ini.Sebagai pemuda kampung,hanya terlibat dalam rutinitas yang membosankan.
Suatu waktu,tepatnya 6 Februari 1979,kakaku Raymundus Ronda berkemas menyiapkan kuda.Nama kudanya,ramatama.Kuda jantan yang sangat berjasa dalam keluarga karena tenaganya digunakan untuk angkut padi atau hasil bumi.
Niatku pagi itu sudah bulat.Ingin segera tinggalkan rutinitas yang membosankan.Walau mendung dan hujan rintik,kakaku tetap bersemangat mengantar saya dengan kudanya.Maka,kampung Mondo kutinggalkan dengan sejuta kenangan.Perjalanan yang kurang menyenangkan karena dalam suasana hujan,harus mengarungi sungai Lewolele yang sedang banji.Banyak orang yang hendak ke pasar Boawae tertahan diseberang kali.
Kakaku punya kemampuan sehingga bisa menolong sejumlah orang di seberang kali dengan kuda ramatamanya.Semua orang diseberang kali bisa ditolong dan bisa ke pasar.Tujuan saya ialah kota Kupang dan harus menginap di Kota Ende.Menumpang di kos mahasiswa se kampung.Dua minggu lamanya menumpang dalam kondisi uang yang prihatin.
Dalam Februari 1979, saya bisa ke Kupang dengan menumpang kapal kayu.Selama dua malam, mengarungi laut sawu dan baru bisa tiba di Selam Kupang.Saya harus mengalami suasana perkotaan tanpa uang di saku. Di Kota Kupang,saya harus bekerja keras untuk mendapatkan uang supaya bisa menyambung hidup ini.
Banyak dukanya. Niat mengubah diri, harus dimulai dari diri saya sendiri.Untuk mengubah diri, mesti punya niat yang kuat. Pekerjaan serabutan mulai dari dorong drum, gali selokan, sampai menjual koran Mingguan DIAN dan Kunang-kunang terbitan Nusa Inda Ende Flores.Ternyata menyenangkan dan menguntungkan. Keuntungan dari berjualan koran bisa beli beras, ikan dan sayur.Maka hidupla saya di Kota Kupang. Apakah cita-cita sudah tercapai? Tidak juga. Hanya bangku pendidikanla yang bisa mengubah hidup ini. Tanpa ijazah, kecuali ijazah SD yang sudah kumal. Apakah ijzah kumal ini bisa membantu? Bisa, ketika Tuhan berkehendak. Atas petunjuk Allah Yang Maha Rahim, saya berjalan dari Asrama Air Mancur Naikoten II ke Kuanino. Ketika tengok ke kanan, waktu itu sudah senja,terbaca jelas di papan nama SMP dan SMA Teladan. Saya memberanikan diri mengetuk pintu.Di minta duduk sambil menunggu sang kepala Sekolah Hermanus Saudale.
Rupanya Bapak Hermanus Saudale sangat memahami kondisi saya.” Mulai besok e kau masuk sekolah.Soal ijazah nanti baru kita atur. Kau harus sekolah.” Itu kalimat yang masih terngiang sampai saat ini.Niat mengubah terbuka lebar, setelah lulus dari SMP Negeri 1 Kupang. Setelah lulus SMP melanjutkan ke SMEA Pembina Kupang. Di tengah krisis ekonomi, karena tidak punya pendapatan. Saya harus bekerja sambil sekolah.Menjual koran sambil sekolah sore. Waktu menuntut supaya kedua tugas mencari uang sambil sekolah harus dijalani. Masih punya niat merubah, maka saya mencoba belajar menulis di Majalah DIAN. Beberapa kali menulis beritanya tidak diturunkan.
Suatu waktu saya libur pulang kampung. Kondisi jalan sangat buruk, berlobang seperti kubangan. Dengan poket sederhana, saya memotret kondisi jalan dan menulis beritanya. Berita ini dimuat dengan display beberapa foto. Hati ini senang dan sangat ria ketika mendapat wesel yang jumlahnya tak seberapa. Tulisan perdana ini memacu saya untuk terus menulis, menulis dan menulis sambil menjual koran. Berita yang saya kirim dari Kupang dimuat setiap edisi, terutama berita agenda gubernur dan pejabat. Ya berita omong-omong dan berita acara seperti peremian gedung atau acara pelantikan pejabat. Ini yang namanya perubahan menurut hemat saya pribadi. Sejak saya resmi mendapat tanpa pengenal sebagai wartawan Majalah DIAN, maka status saya selain pelajar SLTA, juga wartawan. Hati ini bersukacita karena bisa bekerja sambil sekolah. Dalam perjalanan sebagai wartawan sejak 1984 sampai sekarang, tidak pernah terlintas dalam benak saya menulis berita dengan cara intimidasi nara sumber agar membayar dengan sejumlah uang.
Selain menyalahi kodek etiks pers dan melanggar UU Pers No.40 Tahun 1999, sangat tidak elok dalam hidup ini, mendapatkan uang dari hasil memeras nara sumber.Fakta bahwa saya menulis dan berita yang saya tulis dianggap layak mendapatkan bayaran. Saya beruntung, sampai detik ini, saya menulis berita, belum ada nara sumber yang saya peras dengan cara mengancam.
Fakta membuktikan bahwa seorang wartawan disegani bukan karena di dada saya tergantung kartu nama atau kartu pers, bukan karena di bahu saya ada tergantung kamera yang mahal, tetapi dari kualitas berita yang ditulis.Wartawan dikenal karena beritanya yang tajam dan kritis,berita yang bisa berdampak pada perubahan.
Wartawan punya misi suci yaitu memberitakan pejabat yang korup, bukan bekerja sama dengan pejabat selaku penyelenggara Negara, selaku pengelolah keuangan Negara dan mengayomi masyarakat. Wartawan punya tugas memberitakan hal-hal yang bengkok, hal-hal yang merugikan masyarakat, atau mewartawan persoalan sosial yang sedang dialami masyarakat. Wartawan ibarat lilin yang menerangi semuanya. Wartawan menyebarluaskan peristiwa yang hanya terjadi dalam sebuah ruangan kecil ke dunia luar. Bukan sebaliknya menutup-nutup persoalan yang merugikan masyarakat. Ini sesuai pengalaman saya sebagai wartawan yang pernah bertugas di beberpa media dan Jakarta bahkan pernah beberapa saat menjadi wartawan yang meliput di seputaran istana Presiden dan Wakil Presiden.
Kritikan yang seharusnya dalam mengubah perilaku, justeru diserang balik sebagai tindakan yang mencemarkan nama baik. Itu yang saya alami beberapa waktu lalu di tahun 2016 ini. Kisah yang saya alami, berseteru dengan sejumlah wartawan yang mengaku masih muda, padahal sudah usia tua di atas 40 tahun, adalah pelengkap atau menambah refrensi perjalanan hidup saya sebagai seorang jurnalis. Perjalanan masih panjang, karena Tuhan Yang Maha Rahim selalu mendampingi saya dalam berkarya sebagai jurnalis. Arwah Nenek Moyang saya juga ikut mendampingi kemana saja saya melangkah. ♦