“Dewan NTT Tak Terhormat”

MANUSIA diciptakan Tuhan sebagai mahluk termulia di bumi ini. Tuhan memberi kuasa penuhn kepada manusia untuk berbuat apa saja asal jangan memetik buah terlarang di Taman Eden. Manusia diberi akal sehat, agar dalam bertindak tidak menyalahi tatakrama atau aturan. Manusia diberi talenta, diberi kurnia berbeda. Ada yang ditakdirkan sebagai petani, pemulung, tukang sapu jalan, ada pula yang diberi kurnia lebih sebagai anggota dewan yang terhormat.
Tak semua manusia diberi kurnia sebagai orang terhormat. Di Indonesia, anggota dewan disapa dengan ‘yang terhormat’. Jika orang yang terhormat, maka paling penting dia harus menghormati harkat dan martabat dirinya sendiri. Anggota dewan dalam statusnya mewakili rakyat yang memilihnya. Dia harus memperjuangkan nasib rakyat. Tugas anggota dewan ialah menyerap aspirasi rakyat.
Hati dan perasaan saya kurang nyaman ketika menyaksikan perilaku sejumlah anggota DPRD NTT Kamis 23 Juni 2016. Hari itu, saya terperangah, karena kursi anggota dewan sebagian besar tidak didudukki anggota dewan yang terhormat. Paripurna hari itu yaitu paripurna kelima dengan agenda penyampaian hasil pembahasan komisi terhadap laporang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2015.
Saya yang duduk pada kursi bagian belakang bersama sejumlah jurnalis dan sejumlah pegawai menghitung, jumlah anggota dewan yang hadir saat itu. Hanya 20 orang, atau 23 orang termasuk tiga wakil ketua di meja pimpinan sidang berdampingan dengan Gubernur Frans Lebu Raya. Saya kurang paham alasan mengapa anggota dewan tidak hadir. Atau hadir, tetapi  duduk beberapa saat di kursi yang terhomat dan segera meninggalkan ruang sidang. Kemungkinan ada urusan lain. Hari itu, Ketua DPRD NTT pun tak  kelihatan di meja pimpinan. Mungkin sedang  dinas keluar kota.
Saya mencoba mengamati, ada sejumlah anggota dewan ngobrol ria di pelataran depan ruang paripurna, sambil minum kopi, the dan merokok. Ada yang sedang serius perbincangkan sesuatu dengan kolega. Ini menjadi pemandangan rutin setiap rapat paripurna. Bahkan ada oknum anggota dewan merokok sambil mengopi. Si oknum anggota dewan dari salah satu partai yang pernah berkuasa itu, membuang abu dan puntung rokok di lantai. Saya mencoba memotret perilaku oknum anggota dewan yang tidak memperdulikan kesehatan lingkungan termasuk sesama manusia di sekelilingnya.
Inikah anggota dewan yang terhormat? Modus oknum anggota dewan meninggalkan ruang rapat bermacam-macam. Ada yang sengaja menempelkan hand phone di telinga sambil bergegas keluar ruangan. Saya menyaksikan, ternyata, begitu sampai di luar ruangan, si oknum anggota dewan itu, langsung turun tangga belakang dan pergi entah kemana. Beragam alasan mengapa anggota dewan tidak menghadiri rapat paripurna. Semua mahluk cerdas mengerti kalimat paripurna. Rapat parupurna harus memenuhi korum. Benar, pada awal sidang memenuhi forum sehingga sidang bisa dilangsungkan.
Di tengah persidangan meninggalkan sidang, dan bergegas untuk urusan lain. Semua mahluk cerdas di bumi ini memahami, bahwa anggota dewan yang terhormat itu dipilih oleh rakyat, anggota dewan diberi fasilitas gaji dan beragam tunjangan termasuk seragam. Kehormatan diberikan rakyat agar menjalani tugasnya sebagai wakil rakyat dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Memperjuangkan nasib rakyat yang sedang susah, nasib rakyat yang sedang tidak bisa menikmati pembangunan karena infrastruktur rusak dimana-mana. Anggota dewan mesti memperjuangkan rakyatnya yang tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya, dewan mesti memperjuangkan nasib rakyat yang tidak mampu membiayai rumah sakit, dan dewan mesti setia pada janji dan sumpah di hadapan Tuhan dan sesama.
Hati ini tersentak menyaksikan peristiwa sebuah paripurna dewan hari itu. Mengapa semua ini terjadi? Apakah nurani anggota dewan kita dari pusat sampai daerah sudah lumpuh? Ataukah sebuah acara paripurna hanya acara seremonial biasa? Hal sebaliknya juga dilakukan eksekutif atau istilah lain SKPD. Saya juga kurang mengerti apa itu kepala SKPD. Seorang anggota dewan pun mengeluh, SKPD dalam mejawab pertanyaan dewan yang disampaikan melalui pemandangan fraksi atau komisi hanya setengah hati.
SKPD yang dipimpin langsung Gubernur tidak menjawab dengan tegas dan tuntas apa yang dikritisi fraksi atau komisi. Hasilnya, ini masih menurut seorang anggota dewan, SKPD tidak tulus dalam melayani masyarakat. Ia memberi contoh-contoh konkrit jawaban SKPD yang dibacakan Gubernur atau Wakil Gubernur dalam rapat paripurna. Masih ‘segudang’ masalah yang harus dicatat. Saya jadi ingin hadir lagi rapat paripurna walau tidak diundang. Karena saya tahu, bahwa rapat paripurna terbuka untuk umum. Siapaun tidak dilarang untuk hadir. ♦