Speaker Masjid

AMUK massa di Tanjung Balai, vihara dan kelenteng dibakar. Di Aceh, Satpol PP membongkar gereja. Saya pastikan bahwa pelaku kerusuhan, pembakaran yang menyebabkan kerugian material, pencederaan hati dan perasaan anggota Vihara dan Gereja adalah orang sehat jasmani dan rohani. Mereka juga adalah orang Indonesia yang bernaung dibawa Pancasila dan UUD 1945. Hanya saja, hati dan perasaan mereka sudah dirasuki setan. Kejadian ini bermula gema suara keras dari speaker masjid. Saya bertanya, apakah Tuhan telinganya pekak sehingga harus menggunakan keras suara dan dikeraskan? Apakah Tuhan tak berperasaan, tak mendengar doa dan intensi pemilik speaker masjid? Tuhan, sepengetahuan saya, adalah Allah Yang Maha Rahim, Maha Kasih dan Penyayang. Pemilik speaker Masjid tak berdoapun tahu isi hati dan niatnya.
Menurut saya, pelaku kerusahan dan pembakaran Vihara dan Gereja adalah manusia biadab, manusia yang tidak berperikemanusiaan. Teringat kalimat seorang pemimpin Vihara, yang mengucapkan terima kasih kepada para pelaku kerusuhan. Kalimat ucapan terima kasih disertai kutukan, pelaku akan terkena hukuman karma baik diri dan keluarga. Hari ini belum kena tetapi nanti dihari esok. Tuhan tidak pernah tutup mata terhadap para penjahat.
Kementerian Agama mengatakan sebagian pengelola masjid di Indonesia tidak mematuhi peraturan tentang penggunaan pengeras suara sehingga mengakibatkan polusi suara yang menganggu sebagian masyarakat.
Menurut Menteri Agama RI, tata cara pengeras suara di masjid telah diatur melalui keputusan Dirjen Bimas Islam pada 17 Juli 1978 dan pernah diperbaharui sekian tahun kemudian.
Menurut Dirjen Bimas Islam, peraturannya sudah ada, tapi seperti tidak ada, karena tidak diindahkan oleh pengelola (sebagian) masjid. Masalah pengeras suara masjid yang dianggap tidak tepat waktu dan volumenya terlalu tinggi telah berulang kali dikritik oleh berbagai kalangan, tetapi dianggap tidak digubris oleh pengelola masjid.
Pada tahun 1978 Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama, telah mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla.
Dalam surat yang ditandatangani Kafrawi, Dirjen Bimas Islam saat itu, terdapat sejumlah aturan mengenai pengunaan pengeras suara di masjid, langgar, atau mushalla. Ini aturan-aturannya: 1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya
4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu. Instruksi tersebut juga mengatur tata cara pemasangan pengeras suara baik suara saat shalat lima waktu, shalat Jumat, juga saat takbir, tarhim, dan Ramadhan.
Machasin mengatakan “Intinya, yang boleh lewat pengeras suara yang keluar itu hanya adzan dan pengajian sebelum atau sesudah adzan yang waktunya hanya sekitar 5 sampai 10 menit”.
Masjid juga disarankan mengeraskan volume pengajian hanya untuk ke dalam dan bukan ke luar masjid. “Untuk orang yang ingin mendengarnya, bukan sembarang orang yang merasa terganggu oleh suara itu,” katanya.
Sulitnya aturan-aturan ini diterapkan juga disebabkan oleh tidak adanya sanksi bagi pengelola yang tidak mematuhi aturan karena ini hanyalah sebatas anjuran.
Dewan Masjid Indonesia (DMI) dibawah pimpinan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah melakukan pemantauan secara acak di sejumlah kota besar untuk mengetahui secara persis “polusi suara” akibat penggunaan pengeras suara sejumlah masjid.
DMI juga sudah menggelar program untuk melatih para teknisi masjid mengenai tata cara pengaturan alat pengeras suaranya. “Supaya kedengarannya nyaman, tidak saling tabrakan dan mengaum, karena kadang-kadang alat pengeras suara (loudspeaker) berhadap-hadapan, tidak sesuai aturan akustik, sehingga suara khatib tidak tersampaikan dengan baik,” ungkap Juru bicara Wakil Presiden Jusuf Kalla, Husain Abdullah.
Apabila masalah ini sudah tertangani dengan baik, otomatis akan mengurangi polusi suara.
Lalu ketika ditanyai apakah upaya penataan pengeras suara masjid ini akan membatasi hak beribadat? Husain Abdullah mengatakan “justru ini untuk meningkatkan kualitas ibadah.” karena “Yang diatur ‘kan sekedar volume suara supaya lebih harmonis, terdengar lebih syahdu, dan agar orang lebih fokus untuk mendengarnya,” terangnya.
Semoga seluruh pengelola masjid untuk lebih bisa mengatur pengeras suara masjidnya masing-masing agar enak didengar dan tidak menimbulkan polusi suara.
Janganla speaker masjid menjadi pemicu kerusuhan seperti di Tanjung Balai yang menyebabkan mereka yang bernaung kehidupan dibawah Vihara dan gereja terluka hati dan perasaannya. Untuk kesekian kalinya Wakil Presiden Jusuf Kalla berseru pentingnya penataan pengeras suara masjid agar tidak mengganggu.
Menurut Jusuf Kalla, masalah teknis yang selalu kita bicarakan agar masjid itu di samping masalah pekerjaan tapi masih banyak masalah disebabkan karena loud speaker yang selalu saja saya sampaikan bahwa pengajian sebelum azan itu 25 menit, orang akan datang ke masjid. Nggak usah terlalu besar (suara speaker) karena mengganggu siapa saja.
Seperti dirilis DetikNews.com, Jusuf Kalla yang juga menjabat Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia memiliki masjid yang sangat banyak. Karena itu harus ada penataan agar tercipta harmoni antara masjid di lingkungan masyarakat.
Di Indonesia punya masjid terbanyak, hampir lebih 800 ribu masjid di Indonesia. Artinya setiap 250 orang Islam ada 1 masjid dan satu musala. Karena itulah, kadang-kadang suara azan saling bertentangan (bersahutan-red) akibat begitu banyaknya masjid.Jangan karena banyak masjid lalu seenaknya membunyikan speaker masdji dengan keras?Jangan terulang lagi, sekali lagi jangan terulang lagi.