Oleh : Wens John Rumung
MENAFSIR sambutan Luhut Binsar Panjaitan atau LBP pada acara resepsi pelantikan penjabat Gubernur NTT Ayodhia Kalake yang mengatakan, ”saya berharap dengan pak Odi ada di sana akan bisa menyelesaikan banyak masalah yang kit alai pending dari pusat, saya titip pada pak Odi masalah garam dituntasin, itinya sebenarnya menjadi pemimpin jangan ada conflict of interest”. Tersirat beberapa pesan. Satu dari sekian banyak pesan yang urgen menurut kami adalah konsolidasi kembali pengurus bank NTT. Selaku pemegang saham mayoritas di bank NTT, pak Penjabat Gubernur layak menjadikan hal ini menjadi salah satu prioritas kerja. Mengapa ?
Salah satunya adalak karena kinerja laba bank NTT pada empat tahun terakhir kecuali tahun 2021 mengalami penurunan di bandingkan dengan ekspansi kredit yang cukup bertumbuh meningkat. Hal ini terlihat seperti tampak pada tabel 1 berikut ini,
Informasi yang bisa di dapat dari tabel 1 di atas adalah : bahwa pada saat jumlah kredit yang di berikan sebesar Rp 10,4 Triliun pada tahun 2020 bank NTT memperoleh laba Rp 124,2 Miliar atau sebesar 1,19% dari jumlah kredit yang di berikan. Namun saat kredit yang diberikan meningkat mencapai Rp 12,06 Trilun pada tahun 2023, laba justru menurun menjadi hanya Rp 64,03 Miliar atau hanya 0,53% dari jumlah kredit yang diberikan. Ini jelas ada penurunan yang drastis. Dimana laba menurun sebesar Rp (60.171) yang di dapat dari hasil pengurangan Rp 64.030 dikurangi Rp 124.201 sedangkan kredit meningkat sebesar Rp 1.657.967 yang di dapat dari hasil pengurangan Rp 12.062.730 dikurangi Rp Rp 10.404.763. Ini apa maknanya ? Peningkatan kredit selama tahun tahun 2021, 2022 dan 2023 tidak mampu meningkatkan laba bank. Dampak buat PEMDA selaku pemegang saham adalah Deviden yang di peroleh semakin kecil. Apalagi bila dikaitkan dengan adanya penambahan modal bank NTT selama tahun 2020 hingga tahun 2023, nampaknya penambahan modal bank pada bank NTT tidak mendorong penadapatn PEMDA dalam bentuk deviden. Ini mesti menjadi pertimbangan yang serius oleh bapak Penjabat Gubernur selaku Pemegang Saham mayoritas ,karena sekiranya ekspansi kredit yang mencapai 12 Triliun diinvestaikan pada instrumen investasi yang lain semisal Deposito, atau surat berharga yang lain maka keuntungan yang diperoleh bisa lebih besar dari rasio 0,53% . Sebagai perbandingan Kementerian Keuangan menetapkan imbal hasil atau kupon Surat Berharga Negara (SBN) Ritel jenis Obligasi Negara Ritel (ORI) seri ORI022 sebesar 5,95% bersifat fixed (tetap) per tahun*). Artinya bila uang kredit tadi diinvestasikan ke dalam ORI maka potensi income yang di dapatkan Rp 5,95% x Rp 11.249.055 = Rp 669.319. Jauh di atas perolehan laba tahun 2022 yang hanya sebesar Rp 166.713.
Mengapa fenomena terbalik di atas bisa terjadi akan menemui solusinya bila para bankers, ekonom menganalisisnya lebih dalam, sehingga tidak berdampak lebih buruk. Kecenderungan pertumbuhan laba yang semakin menurun Ini sudah cukup menjadi informasi awal untuk segera di cegah .
Ini satu dari beberapa indikasi yang bisa di kritisi. Kiranya Penjabat Gubernur NTT bisa menjadikan hal ini sebgai salah satu input dalam menetpakan prioritas agenda kerjanya di masa kerja 1 tahun ke depan. ♦