Sepucuk Surat Dan Peran Media Cetak 1986, Surat Almarhum Yakobus Papo

♦Catatan Wens John Rumung

 

DI tahun 1985-1986 seorang ibu yang penuh kasih dan sayang. Ibu itu adalah Ibu Nafsiah Mboi. Suatu pagi, saya yang kala itu sebagai watawan Dua Mingguan DIAN yang terbit di Ende Flores di undang Ibu Nafsiah Mbo. Kala itu status Ibu Nafsiah Mboi adalah Ketua PKK. Maklum isteri Gubernur Ben Mboi. Saya bertamu kebetulan pagi sebelum Bapak Gubenur Ben Mboi menjelang ke kantor, sarapan pagi di rumah jabatan. Saya bertamu dan santap pagi bersama Bapak Ben Mboi dan Ibu Nafsiah Mboi.
Naluri saya dan tersirat di benak ini ialah bertanya karena hendak mewawancarai seorang isteri Gubenrur NTT. Usia makan, saya mengeluarkan notes dari saku baju. Namun begitu ballpoint sudah saya pegang, Ibu Nafsiah bilang,” Wens taro kembali notesmu di saku. Kau bawa surat ini ke RS WZ Johanes. Kasi surat ini ke dokter Cornelis Tallo, kepala laboratorium saya serahkan di Ibu Nafsiah Mboi. Hasilnya saya positif kanker darah. Darah merah di serang darah putih sehingga HB saya drop dibawah lima bahkan pernah sampai empat sehingga kepala ku pusing.

Tak berapa lama, saya dikasih uang sangat banyak oleh ibu Nafsiah Rp 750.000. Nilai uang waktu itu cukup besar Maka terbanglah saya ke Jakarta untuk cek kesehatan di RSCM Bagian Hematologi. Sum-sum tulang belakangku di sedot untuk memastikan. Benar adanya saya diserang kanker darah. Saya harus bertahan hidup dengan transfusi darah setiap pekan. Saya harus bolak balik dari PMI Jalan Kramat Raya 147 ke RSCM yang masih satu jalan Kramat Raya.

Untuk bertahan hidup saya juga diberi sejenis pil biji kecil.
Profesi sebagai wartawan Majalah Mutiara satu grup dengan Harian Sinar Harapan di Cawang Jakarta Timur. Di saat yang sama saya juga harus operasi usus buntu di RS Tjikini Jakarta Pusat. Sahabarku juga wartawan nama Jefri Garata sudah almarhum kerap berkunjung saban sore.
Sambil ngobrol ngirul ngadul. Hingga suatu hari munculah berita di Majalah Mutiara berjudul, ’Wens John Rumung Terserang PNH Menanti Kematian’.
Berita ini menjadi perhatian seluruh Indonesia. Karena ketika itu, ditahun 1985 hanya bisa berobat di Yahudi atau Washington DC Amerika. Berita ini pun dibaca banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia.

Sedemikian banyak surat yang saya terima dan saya membaca dengan saksama. Sepucuk surat bertulis tangan dikirim dari Yakobus Papo dari Ende. Saya kaget, karena Yakobus Papo adalah sosok yang harus saya hormati. Mengapa, di kampungku Wangka, Riung, Ngada Flores status Yakobus Papo adalah “Keza tukan” artinya eja bahasa Ende atau besan. Surat itu ditulis 14 Oktober 1986.
Surat dari berbagai kota akan saya rilis lagi dalam bentuk tulisan. Saya menulis lagi kisah ini sebagai wujud syukur saya karena saya memasuki usia 70 tahun pada 6 September 2024. Inilah surat ejaku, sesuai naluriku eja saya ini akan ikut membaca di alam damai sana.

Ende Ende, 14 Oktober 1986

Adik Wens yang baik,

Selamat pagi dan selamat bertemu, semoga senantiasa sehat waalfiat dalam kesibukan kerja dan suasana ramai kota Jakarta
Pagi ini saya masuk kantor pusat pastoral Keuskupan Agung Ende Romo Longginus datang menyuguhi saya dengan bacaan keluarga Mutiara- September-Oktober 1986, dengan halaman 2-8 Mutiara itu yang sudah terbuka lembaran kisah nyata dengan judul Wens Rumung, Nyawanya terancam PNH…… Saya turut bergembira dengan penampilan perjuanganmu diatas dasar Religious saya juga mengakuimu atas keberanian menampilkan “Petuah Bahasa wangka”, yang saya kira selama ini belum banyak orangmu menampilkan pe[atah yang demikian saya juga ikut senang bahwa nama kampung Wangka dan Riung mulai tampil dalam dunia pers dan mulai dikenal umum Surat saya ini hanya mau menyampaikan ucapan proficiat dan ikut bergembira semoga keteladanan kita bersama menjadi nyata “MENJADI ORANG TERBAIK, DI MANAPUN DAN DALAM LAPANGAN KERJANYA MASING-MASING” Tulisan-tulisanmu mengajak saya untuk ikut menulis namun kini saya tak punya waktu luang Tabik banyak-banyak untuk Wens sendiri dan pak Alex Jungkal dan seisih rumah Rawamangun uatara II nomor 28A.
Sait sambur waling, Ghoe dia-dia Tabik dari kami Sekeluarga

( Yakob Papo )