KAUM minoritas di Indonesia sedang tidak nyaman. Masih berada dibawah ancaman? Jawabannya bisa benar bisa tidak. Sejak setahun terakhir, penindasan terhadap kaum minoritas sangat terasa setelah kasus Ahok dituduh menista agama islam. Kedua, kaum minoritas tidak boleh menjadi pemimpin di daerah yang masyarakatnya minoritas muslim. Padahal, tidak ada konstitusi yang melarang kaum minoritas tidak boleh menjadi gubernur, walikota atau bupati di daerah berpenduduk mayoritas muslim.
Indonesia bukan Negara muslim. Ini sangat tegas. Yang saya tahu, Indonesia adalah Negara demokratis yang bernaung dibawah Pancasila dan UUD 1945. Semua orang tahu isi dan makna Pancasila dan UUD 1945. Indonesia ialah NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berpegang pada demokrasi. Dibangun bersama, bukan hanya dibangun oleh masyarakat islam.
Pilkada DKI menjadi media bagi kaum muslim untuk berbuat seenaknya. Contoh yang tidak elok, ketika Ketua KPUD DKI Drs. Sumarno, M.Si. bertemu dengan Anis Baswedan calon Gubernur DKI. Ketua KPU DKI mewacanakan, di putaran kedua, petahana AHok dan Djarot harus cuti kampanye di putara kedua. Ini artinya tindakan dan kebijakan Ketua KPU DKI yang terkesan anti calon dari agama Kristen. Sekiranya AHok muslim, sangat dipastikan tidak ada cuti kampanye di pilkada putaran kedua.
Ketua KPUD DKI dalam menjalankan tugasnya tidak adil, tetapi sedang berusaha agar pasangan Ahok-Djarot dikalahkan pada putaran kedua. Sebab, kampanye adalah pengulangan dari pertama dan dalam bentuk visi dan misi maka cuti akan diberlakukan atau tidak, masih akan didiskusikan. Kebiajakan Ketua KPUD DKI sangat tidak populis, tetapi memuat agenda kepentingan kaum mayoritas. Niat busuknya jelas ingin petahana kalah dan tidak diperbolehkan memimpin DKI.
Kebijakan Ketua KPUD menimbulkan konflik, dan berpotensi ricuh serta dinaikan menjadi kasus hukum karena partai pengusung AHok-Djarot akan mengadukan ke Mahkamah Konstitusi.
Persoalan yang seharusnya tidak terjadi. Suasana bathin kaum minroritas di Indonesia sedang tidak nyaman. Kenyatan empiris di lapangan, rumah ibadah di bakar, orang dilarang berkeyakinan di luar mainstream, ada upaya-upaya sistematis dengan menggunakan pendekatan kekuasaan negara untuk melenyapkan minoritas, memang membuat sulit untuk menafikan pertanyaan yang berbau hipotesis. Akhir-akhir ini, Indonesia rumah kebangsaan kita semakin menjadi tidak nyaman. Rakyat sedang bergulat dengan kemiskinan, pengangguran, korupsi, pemerintahan yang lemah, di tambah lagi penyakit akut yang lain disharmonisasi, semakin membuat gerah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akankah penyalahgunaan wewenang penguasa daerah, yang beramai-ramai mendemonstrasikan secara gamblang pendekatan kekuasaan untuk menyelesaikan disharmonisasi ini dengan berpihak kepada kekuatan mayoritas, menjadi pembuka jalan bagi penindasan dan pelenyapan sistematis bagi kelompok-kelompok minoritas lain di bumi nusantara ini? Jika demikian, pelanggaran konstitusi yang sengaja dibiarkan berarti juga pengkhianatan terhadap kesepakatan untuk hidup bersama dalam bingkai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, sebagaimana yang telah dicapai oleh para pendiri negara ini.
Proklamasi kemerdekaan dan konsitusi negara adalah muara dari hasrat untuk bersepakat hidup dalam sebuah perahu yang diberi nama Indonesia. Kesepakatan itu secara formal tertuang dalam konstitusi dasar, yang secara jelas berprinsip pada kesetaraan, tidak mengenal keberpihakan kepada dikotomi mayoritas dan minoritas. Pelanggaran kepada konstitusi sejatinya adalah pencacatan terhadap nilai-nilai yang tidak tertulis dari sebuah kesepakatan. Apakah perahu yang namanya Indonesia akan retak.?
Ketua KPUD telah menciptakan suasana yang tidak kondusif disaat bersamaan dengan kunjungan Raja Aram Saudi Salman 1 Maret 2017. Saat sang raja masih di Indonesia dalam rangka berlibur sampai 9 Maret 2017, harus menjadi momentum bagi rakyat Indonesia, khususnya kaum mayoritas untuk merefleksi. Suasana bathin kaum minoritas menjadi kurang nyaman, ketika Jokowi menggandeng Ahok sebagai wakilnya di Pilgub DKI tahun 2012. Presiden Jokowi yang menggalang kebersamaan antar umat beragama seakan memicu kaum mayoritas untuk mengklaim seolah daerah yang penduduknya mayoritas muslim, tidak boleh dipimpin kaum minritas. Pluralis tidak diterapkan di Indonesia, di tengah kehidupan semakin modernisai, serba digital. Tapi kini, perilaku yang didalangi kaum ulama dalam berdemo baik demo 411,412 dan 212 memperlihatkan bahwa kaum minoritas harus dihabisi.
Kita, kaum minoritas masih cemas karena saat ini sedang digalang kekuatan untuk menumbangkan Ahok. Ada beberapa cara, seperti yang dilakukan Ketua KPUD DKI, agar di putaran kedua, petahana harus cuti untuk kampanye dan saat ini kaum mayoritas sedang bekerja keras agar kaum minoritas tidak menjadi pemimpin DKI. Kaum mayoritas masih tidak nyaman sampai dengan pemilihan putaran kedua 19 April 2017. Jika AHok-Djarot dikalahkan, maka kaum mayoritas akan puas, dan bisa menyusun strategi busuk dan kotor jelang Pemilih Umum 2019 mendatang. Saat ini sekelompok orang, sedang merancang agenda mempetisi Presiden Jokowi. Sangat pasti ada kaitan dengan Pilgub DKI. Jika salah satu pasangan menang, seperti Agus dan Sandiaga, maka ada scenario lanjutan sampai 2019. ♦
Minoritas tak nyaman
