♦ Secuil kisahku
WAKTU sangat cepat. Tidak terasa, Mingguan EXPO NTT pada WAKTU sangat cepat. Tidak terasa, Mingguan EXPO NTT pada edisinya yang 565 Minggu II September 2017 genap 12 tahun. Pertama saya selaku owner mengucapkan terima kasih kepada Tuhan yang berkenan anugerahi kesehatan dan jalan yang dibuka lebar sehingga media ini, terbit rutin setiap minggu. Terima kasih, juga saya sampaikan kepada instansi pemerintah dan pelanggan yang berkenan mendukung media ini dengan berlangganan.Terima kasih kepada para karyawan yang berkarya penuh sukacita walau banyak kendala dan persoalan, keterbatasan terus berusaha dan berjuang bersama saya selama 12 tahun. Menerbitkan sebuah media cetak, bukan perkara mudah. Bagi perusahaan dengan modal besar dilengkapi peralatan tentu kurang menghadapi kendala. Dari pengalaman saya menerbitkan media cetak adalah pekerjaan yang gampang-gampang susah. Gampang, jika, pertama punya pengalaman di bidang media cetak. Kedua mesti punya modal nekat dan mencintai pekerjaan. Dan, jangan lupa, setia pada panggilan profesi, tidak bimbang dan ragu-ragu. Modal memiliki sejumlah dan peralatan fasilitas sangat perlu, tetapi yang paling penting modal dalam berusaha ialah ketekunan. Menerbitkan media cetak, harian maupun mingguan, mesti punya idealisme. Harus punya pertanyaan kristis untuk seorang jurnalis, untuk apa menenebitkan media. Supaya bisa hidup membiayai keluarga atau sekadar pamer ke publik? Saya memang punya idealisme besar menerbitkan media cetak. Setelah keluar dari Harian Pos Kupang Maret 1999, saya bersama Servatius Djaminta pemilik modal merintis penerbitan Harian Surya Timor. Kehadiran harian ini mengejutkan publik. Pertama, Harian Surya Timor adalah harian kedua setelah Harian Pos Kupang. Harian Surya Timor mengadopsi sebuah media Asutralia dalam system penerbitanya headline system. Maksudnya, harian, tetapi tidak dalam bentuk broadsheet newspaper tetapi tabloid. Terbit dengan mengedepankan cover halaman depan, gambar yang tajam kritis.Harian ini tampil beda dan nyaris menggusur Harian Pos Kupang. Tetapi media ini harus mati muda, karena pemilik modal tidak paham dengan system penerbit. Caranya pemilik modal, seenaknya menggusur saya selaku Pemimpin Redaksi dan mengganti orang yang disukainya. Padahal, harian ini terbit atas kerja keras saya berproses di Kementerian Penerangan RI sampai mendapatkan SIUP. Saya harus berbangga, nama saya tercatat dalam dokumen Kementerian Penerangan RI sebagai Pemred Harian Surya Timor, yang menggunakan SIUP dalam menerbitkan media harian. Memang, idealisme namun tak punya modal uang pasti tersingkir. Saya mengabdi di Harian Surya Timor hanya enam bulan. Maret sampai dengan Agustus 1999. Di saat yang sama, saya didatangi Ferdi Tanonef dengan Gunawan Ong. Menawarkan agar saya merintis harian baru, namanya Suara Timor. Saya menyanggupi karena situasi bathin dibawa tekanan pemilik modal di Surya Timor sehingga tidak nyaman. Saya merintis penerbitan Harian Suara Timor dan berkantor di sebuah ruangan milik Gunawan Ong di Pasir Panjang Kupang. Tidak punya pikiran lain, kecuali melampiaskan idelisme saya agar punya media harian. Lagi tidak berusia panjang. Kemudian baru saya sadar, kalau pemilik modal hanya memanfaatkan saya untuk kepentingan bisnis. Harian ini diresmikan Gubernur Piet A. Tallo di Hotel Sasando. Dalam perjalanan, ketika Harian Suara Timor terbit rutin, datang pula godaan. Agus Paty namanya. Dia datang kepada saya dan menawarkan untuk merintis harian juga. Dalam keadaan bimbang dan polos karena pemilik perusahaan mulai tak jujur, aku mengikuti godaan si Agus Paty. Dalam benak, harian ini pasti maju karena pemilik modalnya Abilio Soares mantan Gubernur Timtim. Dalam perjalanan belum seumur jagung dan masih pada tahun 1999, suatu hari saya dipanggil Abilio Soares. Cuma berdua dalam sebuah ruangan, saya diminta mundur dari jabatan saya sebagai Pemimpin Redaksi. Saya ditawar menjadi komisaris.Saya menolak keras dengan alasan ketrampilan saya ialah bidang jurnalistik. Saya tegaskan ketika, bahwa Pak Abilio silahkan ambil semua yang ada termasuk manajemen yang sudah saya bangun. Saya tinggal Harian Suara Timor yang berkantor di Jalan Timor Raya Lasiana dan harus menganggur beberapa saat sambil merenungi nasib, dalam setahun menerbitkan tiga harian namun gagal. Aku merasa gagal.Sebelum saya meninggalkan Harian Suara Timor bersama Gunawan Ong, saya sudah merintis Mingguan METRO Kupang. Mingguan ini agak genit, karena isinya mengkritisi bidang moral, perselingkuhan, romantisme dan rencananya berkisah tentang wanita dan gaya hidup. Atas bantuan sahabat dekatku Tedy Tanone, saya diberi sebuah ruangan kecil di Jalan Ikan Tongkol Kupang. Dari ruangan kecil ini, Mingguan METRO Kupang terbit ‘senin kamis’ dengan beberapa kawan. Kematian Mingguan ini, pertama karena kehadiran harian baru dibawa grup Jawa Pos yaitu Harian Timor Express. Mengapa mati, karena uang dari langganan tidak ancar. Mingguan ini laku keras di masyarakat, tetapi loper maupun agen tidak menyetor ke manajemen METRO Kupang. Maka hutang biaya cetak membengkak, sehingga penerbitnya distop. Selain arus kas yang tidak lancar, kekegeraman masyarakat Kota Kupang terutama komunitas kaum perempuan yang melancarkan demo besar-besaran ke Gubernur, DPRD dan Polda.Saya harus berurusan deangan hukum, diinterogasi polisi dan harus berususan dengan meja hijau. Ide kreatif menerbitkan media memang terus membara setelah Pemeintah mengeluarkan UU No.22 Tahun 1999. Pembiayaan pemerintah diserahkan kepada Pemda Tingkat II. Saya mencoba menerbitkan Mingguan Ngada Pos, Alor Pos, Komodo Pos, Rote Ndao Pos. Juga semua mati muda, karena factor modal, tetapi juga factor sumber daya manusia yang tidak mendukung.Hampir lima tahun saya harus menanggung risiko, berususan dengan hukum. Di saat saya harus menghadap meja hijau di PN Kupang, juga berurusan dengan perkara di Pengadilan Negeri Bajawa atas kasus pencemaran nama baik dengan Bupati saat itu Albertus Botha. Dalam ketidakpastian, ketika sudah memasuki pertengahan 2005, saya memutuskan untuk menjual semua aset, printer, computer dan kamera agar bisa bertahan hidup. Rupanya Tuhan tidak tidur, Tuhan tidak menutup mata atas apa yang saya perbuat, atas apa yang saya alami dengan cobaan berat. Tiga unit sepeda motor buntut dijual. Pertama untuk bisa bertahan hidup dan kedua, agar bisa membiayai kuliah anak sulung di Atmajaya Yogyakarta. Ditengah galau itu, Sekda Kota Kupang ketika itu, Jonas Salean mengejek,” Lho tidak wartawan lagi ko”. Saya bilang wartawan, tetapi tidak punya media. Jonas bilang,” Coba dong terbit media baru walaupun mingguan.” Hati ini terusik dengan pernyataan kawanku ini. Maka dengan modal nekad, saya pangil Johanis Mayopu untuk merancang, melayout, dalam perjalanan, cover Mingguan ini, menurut Vico Paty, rekan kerja sejak di Pos Kupang merubah covernya. Dan Cover Mingguan EXPO NTT, seperti sekarang ini. Ini hanya secuil kisah yang dapat saya kemukakan. Terlalu amat panjang, jika dikisahkan lebih detail. Mingguan EXPONTT, tidak didukung pemodal besar, tetapi hanya bermodalkan kerja keras, tekun dan setia, sehingga Tuhan masih memberi kesempatan kepada saya dan kawan-kawan untuk hadir rutin dihadapan pembaca sampai edisi Minggu II September 2017 ini. Kedapan, saya mengharapkan dukungan dari semua pihak, agar bisa hadir ke tengah masyarakat menyampaikan informasi dalam bentuk cetak. Terakhir, saya bersama Daniel Tagu Dedo, mantan Dirut Bank NTT, merintis harian ekonomi tahun 2015. Koran ini diterbitkan Koperasi HIPSI, sehingga kepemilikan seluruh anggota koperasi. Lagi-lagi gagal, karena karyawan tidak sanggup kerja sama, dan lebih condong menerima gaji. Kisahnya jadi panjang, tetapi begitu nasib tak punya modal. Hanya modal idealisme tidak cukup, harus punya uang yang cukup. Maka genaplah sudah nasib kelamku dalam menerbitkan media cetak. Selain Mingguan EXPONTT ada pula portal expontt.com dan businessntt.com juga saya rintis. Jatuh, jatuh dan bangun, bangun lagi. ♦