CATATAN saya kali ini, diawali dengan pertanyaan. ”Siapakah Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang pantas memimpin Nusa Tenggara Timur setelah Gubernur Frans Lebu Raya turun tahta 2018. Apakah para calon yang sudah dan sedang memperkenalkan diri ke masyarakat NTT saat ini ada yang mampuh menjawab persoalan yang diderita rakyat NTT saat ini?
Pilgub 2018 adalah peristiwa bersejarah, persta demokrasi lima tahun sekali. Di saat bersamaan, Badan Pusat Statistik merilis data akurat, NTT berada pada urutan ketiga termiskin di Indonesia. Saya sendiri tidak punya kemampuan menjawab persoalan ini, maksud bukan mampuh tidak mampuh tetapi tidak punya kewenangan maupun kapasitas. Kapasitas saya hanya sebatas menulis apa yang saya alami, apa yang saya lihat dan yang saya rasakan. Saya adalah orang NTT yang sudah sekian puluh tahun hidup dalam lembah kemiskinan dari periode keperiode. Rakyat NTT pada Juni 2018 akan memilih calon gubernur dan wakil gubernur. Siapakah yang akan rakyat pilih?
Kalau boleh saya menjawab dengan bahasa yang tidak kritis, ya memilih calon yang memberi selembar yang duapuluhan ribu atau paling besar limapuluhan ribu. Mengapa, pertama dari pengalaman, kedua, rakyat sedang dalam pacekelik, kekurangan sandang, dan segalanya. Lebih tepat demikian. Kedua, terpksa memilih calon si calon gubernur yang mampuh memberi uang selembaran duapuluh ribu atau lima puluh ribu. Saya tidak percaya, si calon memberi selembaran berwarna kuning atau seratus ribu rupiah.
Rugi, karena pertama, belum tentu memilih tetapi uang sudah keluar banyak. Kedua calon yang ringan tangan merogoh kocek dan gencar kampanye SARA. Sara itu apa ya, suku, agama dan rasa tau keturunan. Contoh Pilgub DKI, yang menang bukan orang baik, cerdas dan punya perhatian terhadapi kesejahteraan rakyat Jakarta, tetapi rakyat memilih yang lancar uangnya dan licik dalam kampanye dengan isu agama.
Di NTT dipridiksi akan demikian. Pada Pilgub lima tahun lalu, ada pasangan calon yang gencar mengarahkan pipimpinan agama agar memilihnya, tetapi tidak terpilih karena pendudkungnya kurang. Tidak puas, karena tidak terpilih, diproses hukum dengan melapor ke Mahkamah Konstitusi atau MK. Juga kalah. Akankah terulang pada Pilgub NTT 2018?
Rakyat disarankan untuk waspada. Lebih baik miskin tetapi jujur daripada menerima uang selembaran duapuluhan ribu lalu kemiskinan dilestarikan hingga anak cucu atau paling kurang lima tahun ke depan. Siapakah yang salah? Rakyat dan para calon yang nota bene adalah orang NTT sendiri. Undang-undang tidak memperbolehkan orang dari luar NTT menjadi guerbnur di NTT. Pemimpin daerah otonomi, propinsi maupun kabupaten adalah cerminan dari rakyat itu sendiri. Seorang kepala daerah terpilih harus mampuh menampung, atau menyerap aspirasi rakyat. Rakyat adalah kedaulatan atau pemegang kekuasaan. Tetapi prinsip ini tidak berlaku di negeri ini.
Saya bisa bertaruh, kalau sekian banyak calon atau bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTT yang bakal bertaruh 2018 mampuh menjawab tantangan membangun NTT lebih maju atau kata mampuh melakukan perubahan. Saya, sekali lagi tegaskan tidak.
Saya kebetulan sedikit mengenal para calon yang sudah perkenalkan diri ke publik NTT. Saya mengutip Najwa Sihab, ”Pemimpin yang baik itu adalah seorang yang sebelum jadi pemimpin, dia telah membaur dengan masyarakatnya, seakan-akan dialah pemimpinnya. Tetapi begitu dia menjadi pemimpin, dia membaur dengan masyarakatnya, seakan-akan dia bukan pemimpinnya tapi salah seorang dari mereka. Itu pemimpin yang baik.”
Adakah yang memenuhi kriteria ini. Apakah para calon yang sedang memperkenalkan diri sebelum final ditetapkan KPUD NTT mampu mengeluarkan NTT dari kemelut kemiskinan?Adakah calon yang mampu menjelaskan secara rinci jelas dan tegas mengeluarkan NTT agar tidak tercatat sebagai propinsi termikin ke tiga di Indonesia? Semua dalam nada tanya, tanya dan tanya.
Coba baca dan simak berita koran berikut ini,” Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), NTT menempati urutan ke-3 termiskin secara nasional. NTT menempati urutan ke-3 termiskin secara nasional. Tingkat kemiskinan di NTT masih sangat tinggi yaitu 21, 85%, atau sekitar 1.150.790 orang miskin.
Untuk mengukur tingkat kemiskinan di NTT, dinilai berdasarkan pengeluaran per kapita terhadap kebutuhan dasar. Tingkat kemiskinan diukur dari tingkat pengeluaran seseorang terhadap pemenuhan kebutuhan dasarnya. Angka pengeluaran yang menjadi standar ukuran Garis Kemiskinan (GK) adalah sebesar Rp.343.396,00. Jika tingkat pengeluaran seseorang di bawah angka tersebut, maka dia tergolong miskin.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, angka GK mengalami kenaikan sebesar 5,01%. Periode September 2016-Maret 2017, angka GK naik sebesar 5,01% yaitu dari Rp.327.003,- per kapita per bulan pada September 2016 menjadi Rp.343.395,- per kapita per bulan pada Maret 2017.
BPS membagi standar penentu kemiskinan menjadi dua, yaitu kemiskinan oleh pemenuhan komoditi makanan dan pemenuhan komoditi bukan makanan. Dengan memperhatikan komponen GK yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan, terlihat bahwa peranan komoditi makanan memiliki peran lebih besar ketimbang komoditi bukan makanan.
Pada September 2016, sumbangan garis kemiskinan makanan terhadap garis kemiskinan sebesar 79.20 %, dan pada Maret 2017 sebesar 79.37%.Miris, membaca data ini. Kini saatnya rakyat NTT memilih calon gubernur yang cerdas dan punya kemampuan mengeluarkan NTT dari garis kemiskinan atau setidaknya mampu melakukan lobi ke BPS agar jangan merilis angka bahwa NTT termikin di Indonesia walau nomor berapa saja. ♦