♦ Bacalah sampai selesai
JUDUL ini saya buat dalam rangka mengkritisi fenomena dukung mendukung pasangan calon setelah para calon tergusur oleh system politik partai yang sangat berkuasa. Saya mau menyoroti, beberapa politisi yang pada awalnya mencalonkan diri sebagai calon Gubernur NTT sebelum penetapan. Jauh sebelum penetapan, para cagub di antaranya Ibrahim Agustinus Medah, Kristo Blasin, Daniel Tagu Dedo, Soning Hani, Ray Fernandez dan masih banyak lagi. Ibrahim Medah tereleminasi setelah dipecat secara sepihak oleh Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang kini dipenjara KPK. Medah juga sempat ramai diperbincangkan di kalangan politisi bakal keluar dari PDIP sebagai Cagub dan diisukan berpasangan dengan Lusia Adinda Lebu Raya. Seorang rekan bilang kepada saya bahwa sebuah pertemuan politik di Hotel Sotis Kupang dipastikan Medah akan berpasangan dengan Adinda Lebu Raya.
Isu ini kemudian meredup dan tiada kisah lanjutan. Ya kita lupakan saja kisah itu.Cagub NTT ketika itu, masih di 2017, banyak yang mendaftar di PDIP. Semua mengikuti tes kelayakan. Ya apakah tes benaran atau hanya tes-tesan.” Tes kelayakan” seorang bakal cagub sangat sarat kepentingan. Salah satu cagub yang ikuti tes yaitu Ayub Titu Eki Bupati Kupang aktif. Ayub Titu Eki langsung menyatakan mengundurkan diri dari pencalonan karena tidak memiliki uang Rp 10 Miliar. Entah calon lain dimintai mahar politik berapa duit. Dan mereka yang ikut tes kelayakan termasuk sejumlah kader partai seperti Kristo Blasin, Ray Fernandes, Soning Hani, Daniel Tagu Dedo tidak lulus tes kelayakan. Yang lulus tes dari PDIP yaitu Bupati Ngada Marianus Sae. Marianus Sae atau MS bukan kader PDIP. Tetapi lulus tes oleh penguji di DPP PDIP. Mengapa ya?Ini pertanyaan kritis masyarakat termasuk saya.
Yang saya dengar dari ucapan Ketua Umum DPP PDIP saat siaran langsung di televise pengumuman para Cagub yang lolos, MS lolos karena Bupati Ngada dua periode dan konon, ini masih menurut Mega, karena MS sukses memajukan Ngada, sejahterakan masyarakat Ngada. Padahal MS baru satu periode dan periode kedua masuh berjalan sekitar tiga tahun lebih. Ada nada sindir yang diucapkan Mega waktu itu,” Itu, tu Herman Hery senyum-senyum Marinus dan Ibu NOmleni lulus tes”. Apa artinya ucapan ini, sampai saat ini belum ada penjelasan yang jelas.
Yang jelas bahwa ada kisah terburuk dalam sejarah perpolitikan di NTT bahwa salah satu Cagub NTT periode 2018-2023 di tangkap KPK. MS terkena OTT atau tangkap tangan oleh KPK ketika MS sedang berasama seorang wanita. Ini sesuai berita media, dan berita ini tentu saja membuat masyarakat NTT terkejut, ada pula yang stress, ada pula yang mencaci maki KPK tidak fair, KPK bermain politik dan seterusnya. Ini fakta sejarah terburuk. Akan dikenang sepanjang zaman. Saya hanya mau mengingati, agar para calon kepala daerah harus refleksi atas kasus ini, janganla terulang kembali.Kecuali para calon sedang sakit ingat atau kurang waras. Ada hal yang mengganjal hati ini, ketika menyaksikan sejumlah kader PDIP yang tidak lulus tes seperti Kristo Blasin, Ray Fernandez, Daniel Tagu Dedo maupun Soning Hani yang dengan serta merta mengambil sikap mengundurkan diri dari partai yang pernah memberi mereka keistimewaan, jabatan dan segalanya. Halnya Kristo Blasin, pernah menjadi wakil ketua DPRD NTT mewakili partainya PDIP, Ray Fernandez, Bupati TTU juga dari PDIP, Soning Hani pernah mejadi anggota DPR RI juga dari PDIP. Tetapi, mengapa mereka keluar dari PDIP? Karena tidak lolos menurut panitia, karena banyak pertimbangan.
Ya, mereka pasti sangat kecewa terhadap para penguji. Kecewa karena panitia penguji melulusloloskan MS yang bukan kader PDIP. Ini tentu saja sikap yang sangat manusiawi. Masyarakat NTT harus hargai sikap mereka, kecuali Daniel Tagu Dedo memang kader PDIP tetapi tidak terlibat langsung dalam kepengurusan pusat maupun daerah. Dan Tagu Dedo hanya titisan darah PDIP dari sang ayah. Menurut saya pribadi, mengapa kader tulen PDIP seperti Kristo Blasin, Ray Fernandez dan Soning Hani harus mengundurkan diri dari PDIP? Hanya karena tidak diloloskan panitia penguji? Kalau tidak lolos ya direnungkan baik-baik. Apakah menjadi cagub atau menjadi gubernur baru bisa melayani masyarakat?
Yang dikritisi di sini, mengapa Kristo Blasin, Soning Hani, Ray Fernandez dan Daniel Tagu Dedo serta merta menyatakan mendukung pasnagan Viktor Laiskodat- Jos Nae Soi? Ada juga pasangan lain, tetapi hanya memilih pasangan Viktory joss? Tentu saja mereka punya alasan sangat mendasar yang orang luar tidak perlu tau, dan malas tau, tidak juga penting harus tau. Waktu yang akan mencatat sikap politik mereka. Saya berpendapat bahwa cara mereka kurang elok di mata masyarakat, sorry, dimata saya. Ini yang namanya “Politik Perut” atau kepentingan politik. Yang ada dalam politik hanyala kepentingan.
Ibrahim Medah, mantan Bupati Kupang dua periode, mantan Ketua DPRD NTT dan kini anggota DPD RI menjawab jeas pertanyaan yang saya kirim lewat WA. Medah bilang, mendukung paket Viktory joss karena ada permintaan. Kedua Medah mendukung karena sangat memahami bahwa Viktor Laiskodat dan Jos Nae Soi datang ke NTT hanya untuk mengabdi diri mereka membawa perubahan. Ya bisa dibaca lengkap dalam beritanya di media ini. Manusia, dalam ziarah kehidupan ini, bukan ditakdirkan hanya menjadi seorang gubernur, tetapi menjalani hidup sesuai kodrat dan takdir.Kalau takdir belum menjawab cita-cita, berarti sebuah kesuksesan yang tertunda. Masih ada waktu, masih ada hari esok. Matius 4:4 Tetapi Yesus menjawab: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.”
Roti adalah lambang dari kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, minuman, dan pakaian. Seringkali kita berpikir bahwa selama kebutuhan sehari-hari kita terpenuhi, kita dalam posisi yang aman. Padahal Firman Tuhan katakan Anda dan saya tidak hanya hidup dari roti saja. Artinya, ada kebutuhan yang lebih penting dari sekadar makanan, minuman, dan pakaian. Ada kebutuhan yang lebih penting dari sekadar memiliki uang dan harta yang berlimpah. Yaitu, kebutuhan kita akan setiap Firman yang keluar dari mulut TUHAN.
Berikut saya mengutip dari google soal politik kepentingan dan kepentingan politik. Mengutip karena isinya, sama seperti yang saya pikirkan. Demikian, politik memang selalu lekat dengan istilah kepentingan. Politik sering disangkutpautkan dengan kepentingan. Namun kepentingan tidak mesti disangkutpautkan dengan politik. Dari itu, secara sederhana bisa diambil kesimpulan bahwa di dalam politik selalu terdapat unsur kepentingan, politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah kepentingan. Namun demikian politik tidak sama dengan kepentingan.
Artinya, berbicara politik sudah pasti membicarakan sebuah kepentingan. Apapun soal politik akan selalu berujung dan berakhir pada term kepentingan. Pertanyaannya, kepentingan seperti apa dan untuk tujuan apa. Kepentingan untuk memperoleh dukungan, simpati publik, kegilaan jabatan, sehingga hanya mengedepankan aspek keuntungan individual atau kelompok? Ataukah kepentingan yang berbasis pada demi terwujudnya masyarakat dan bangsa yang lebih baik?
Bagi saya, kepentingan pertama jelas merupakan kepentingan yang salah kaprah, yang demikian itu bukanlah kepentingan politik, melainkan kepentingan yang dilandaskan pada nafsu ingin berkuasa dan mencari untung demi diri sendiri dan kelompoknya. Sedangkan kepentingan yang kedua barulah kepentingan politik. Lantas, apa sebenarnya kepentingan politik yang saya maksudkan?
Setiap upaya mesti dilandasi oleh sebuah kepentingan, begitu juga dengan politik. Politik, dalam teori klasik Aristoteles dipahami sebagai upaya yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Term kebaikan bersama menjadi kata kunci dalam definisi ini. Dengan kata lain, kepentingan yang diusung dalam berpolitik–mengacu pada pandangan Aristoteles, haruslah mengarah pada kepentingan yang dimaksudkan demi terwujudnya kebaikan bersama. Kepentingan ini, dalam bahasa lain disebut sebagai kepentingan nasional.
Dalam teorinya, untuk menjaga kelangsungan hidup suatu negara, maka negara harus memenuhi kepentingan nasionalnya. Sehingga Negara dapat berjalan dengan stabil dan tetap survive. Kepentingan nasional inilah yang dapat menentukan kearah mana politik itu akan dirumuskan. Disini saya perlu tegaskan, bahwa pada dasarnya politik memang lahir dari sebuah kepentingan. Dirumuskan oleh dan untuk sebuah kepentingan.
Bagi sebagian orang, selain soal kepentingan, politik tidaklah terlalu menarik untuk dibahas. Sayangnya, kepentingan itu lebih lekat dengan istilah politik kepentingan daripada kepentingan politik. Politik kepentingan tentu berbeda dengan kepentingan politik. Kata kepentingan pada istilah kepentingan politik memiliki konotasi makna yang mengarah pada pelbagai kepentingan-kepentingan. Artinya, politik dipahami hanya sebagai alat untuk meraih banyak kepentingan, yang digerakkan oleh individu, kelompok, golongan, dan sebagainya. Sedangkan kata kepentingan pada istilah kepentingan politik memiliki makna yang mengarah pada (hanya) satu kepentingan, yang digerakkan oleh suatu kelompok kepentingan, yakni kepentingan politik itu sendiri, yang disebut diawal tulisan ini sebagai kebaikan bersama.
Terkait kelompok kepentingan, partai politik adalah termasuk salah satu bagian dari kelompok kepentingan ini, yaitu kelompok kepentingan yang institusional, yang bergerak dibawah payung konstitusi atau Undang-undang. Partai politik dibentuk dan dirumuskan untuk kepentingan tidak kurang dan tidak lebih demi terwujudnya masa depan bangsa yang bermartabat. Dengan demikian, eksistensi partai politik memegang peranan sentral dalam menegakkan cita-cita politik bangsa.
Akan tetapi, di Indonesia terdapat banyak partai politik, yang mengusung banyak ideology politik, entah ideology itu sebagai landasan partai, ataupun sebatas menjadi kedok untuk meraih simpati rakyat. Ideologi itu diperjuangkan secara kompetitif, bahkan dikonteskan dalam sebuah momentum. Sehingga partai mana yang paling rajinberkontes dan muncul didepan publik, partai itulah yang akan banyak mendapat simpati rakyat.
Parahnya, menjadi fenomenanya saat ini, kebanyakan partai –untuk tidak mengatakan semua partai, terjebak pada ranah kontes ini. Dengan pelbagai caranya yang berbeda-beda, tidak peduli cara itu baik atau tidak, bersih atau tidak, yang penting harus tampil di depan publik. Sehingga yang kita lihat saat ini adalah “kontes politik” semata. Yang pada akhirnya bukan kepentingan politik yang dicari, melainkan politik kepentingan. Kepentingan untuk membesarkan partai, sehingga partai itu mendapat simpati rakyat, dipilih oleh mayoritas rakyat, dan memperoleh kekuasan. Selebihnya, lupa akan cita-cita dan kepentingan politik itu sendiri.
Yang dipikirkan hanya bagaimana partai itu tetap kuat, mendapatkan mayoritas dukungan rakyat dan dapat berkuasa di pemerintahan untuk periode-periode selanjutnya. Ketika tampil di media massa hanya dalam rangka sebatas “mencari muka,” berbicara mengenai politik untuk kepentingannya sendiri, kelompok atau golongannya. Begitu juga dengan partai politik yang lain, tampil berebut simpati. Saling menggunjing, bahkan jatuh-menjatuhkan, seakan menjadi pilihan yang harus diambil. Harapannya, partai saya yang akan dianggap paling perfect oleh rakyat.
Sayangnya tidak, rakyat justeru menjadi muak dan menjadi antipati terhadap politik. Saya kuatir, para politisi kita ditanah air menjadi penganut politik Machiavellisme, yang memegang prisip politik tanpa etika dan hukum. Bagi Machiavelli, politik hanya berbicara soal bagaimana memperebutkan dan mempertahankan kekuasaaan. Jika kekuasaan menjadi kata kuci dari politik kita, maka tidak heran jika politik sarat dengan gonjang-ganjing. Karena banyak kepentingan yang bertemu, kepentingan untuk meraih kekuasaan dan semacamnya. Ini tentu tidak sesuai dengan tujuan politik kita, yang menurut pendapat saya lebih dekat dengan pemahaman Aristoteles, yakni politik untuk “kebaikan” bersama. Mungkin benar yang dikatakan Adam Smith, “…kita tidak hidup dari belas kasih penjual roti, melainkan oleh karena kecintaan penjual roti tersebut kepada dirinya sendiri…” Partai politik yang ada saat ini, apa yang kita rasakan saat ini di negara ini yang dibuat atas kontribusi partai politik, baik buruknya adalah efek dari bukan karena parpol itu cinta terhadap kita sebagai rakyat, melainkan karena mereka cinta terhadap kepentingannya sendiri dan partainya. Smith percaya bahwa manusia akan selalu dimotivasi oleh kepentingan individualnya.
Pada dasarnya, manusia mamang msulit memisahkan diri dari kepentingannya. Ketika ia berkelompok ia juga susah menjauhkan diri dari kepentingan politik kelompoknya. Masuk ke dalam partai politik, ia tidak bisa dilepaspisahkan dari kepentingan politiknya. Sehingga berbicara politik sudah pasti berbicara kepentingan. Tinggal bagaimana kepentingan disini dikonstruksi kearah yang lebih baik yaitu kepentingan politik, bukan politik kepentingan. ♦