PENDERITAAN, kemiskinan dan kemelaratan adalah takdir Sang Chalik. Saya mengalami penderitaan, saya pernah miskin dan melarat. Namun Tuhan masih memberi ruang dan waktu agar saya bisa melanjutkan cita-cita Tuhan membangun dunia ini. Tetapi, yang saya maksud dengan derita yang sedang kita alami bukan ditakdir, tetapi tidak ada orang baik yang mau menolong, tidak ada orang baik yang mau merubah nasib kaum papah.
Dunia sudah maju, semua daerah terisolir sudah dibuka. Pemerintah membangun infrastruktur, jalan, jembatan, bidang kesehatan, pendidikan dan pemberdayaan ekonomi. Mengapa di zaman now masih juga ada orang miskin. Di Indonesia, angka kemiskinan tembus 27 juta, menurut saya angka ini lebih tinggi. Rakyat miskin semakin banyak, semakin bagus untuk para politisi. Derita rakyat dijadikan komoditi politik yang sangat laris jika dijual.
Siapa yang menjual kalau bukan para politisi, calon pejabat Negara, calon presiden, calon gubernur, bupati maupun walikota. Termasuk calon anggota legislatif atau calon anggota dewan dari pusat sampai daerah. Para pejabat pemerintahan punya tugas yaitu membangun daerah, mengetasi kemiskinan. Ada Presiden dengan program nasionalnya, ada Gubernur punya program membangun daerah, bupati dan walikota, ada camat dan lurah/kepala desa, tetapi kemiskinan berkembang pesat. Entah mengapa?
Kemiskinan sudah menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemiskinan sudah menjadi bagian dari pidato kenegaraan, kemikskinan sudah menjadi menu yang dibacakan dalam pemandangan umum fraksi di DPRD sampai DPR RI. Kemiskinan adalah bagian yang tidak pernah terpisahkan dari program kementerian terkait, kepala dinas sosial dan para kepala dinas untuk tingkat propinsi, kabupaten dan kota. Sangat banyak jumlah para pejabat yang bahas detail soal pengentasan kemiskinan.
Tetapi mengapa kemiskinan bertumbuh subur? Pertama, kemiskinan moral, nurani para pejabat. Pejabat atau eksekutif membuat program pemberdayaan dan kesejahterakan rakyat untuk diusulkan ke dewan atau legisilatif. Bukan rahasia umum lagi, sudah banyak gubernur, bupati walikota yang dijebloskan ke bui karena kasus ini. Eksekutif mengusulkan program, tetapi tidak dengan hati yang tulus menolong rakyat.
Mengusulkan program, tetapi program itu menguntungkan si pejabat dan kronininya. Caranya, eksekutif membisik kepada legisilatif agar usulannya di terima dan disetujui. Kalau mau disetujui harus kasi uang. Di sini terjadi korupsi, menucuri uang Negara. Mengapa harus dengan cara kotor, tidak dengan cara yang polos dan jujur. Eksekutif seharus jujur dan bertanya kepada nurani, tugas pokok dan tugas legisilatif. Mengapa harus pakai uang pelican supaya usulannya di setujui? Ini hanya salah satu soal kecil penyebab kemiskinan bertumbuh subur dan terus subur. Sampai kapan? Sampai dengan manusia itu masih hidup dan bertahan berkarya dengan cara setan atau cara yang tidak jujur.
Apakah uang korupsi baik eksekutif maupun legisilatif dinikmati rakyat? Tidak. Uang KKN itu dinikmati hanya segelintir orang. Contoh kecil, kasus e-KTP yang dicuri mencapai Rp 2,3 Triliun. Dana sebesar ini, bukan dinikmati rakyat, tetapi hanya dinikmati segelintir orang. Sekiranya dana sebesar itu digunakan untuk menolong orang miskin yang tidak mampu membayar biaya pendidikan, atau untuk membangun bedungan, jembatan dan lain-lain, pasti rakyat dan daerah tidak miskin.
Kemiskinan terjadi karena pejabat penyelenggara Negara atau daerah, miskin moralitasnya. Tidak punya hati, tidak peka terhadap situasi. Yang ada dibenaknya hanyala berapa keuntungan yang akan didapat. Celakanya lagi, para calon pejabat eksekutif atau legisilatif menjadikan kemiskinan dalam segala bidang sebagai objek empuk membohongi rakyat miskina. Saat datangi rakyat untuk kampanye, janjinya pasti akan menolong rakyat, janji memajukan pendidikan, kesehatan dan 1001 program. Semua beres dan memprovokasi rakyat untuk memilih.
Sekiranya, si pejabat punya nurani menolong orang tanpa mengumbar janji, kemiskinan bisa di entas. Entah sampai kapan rakyat tidak menjerit lagi, entah sampai kapan seorang ibu menetes air mata, ketika anaknya tidak diasupi makanan bergizi, entah sampai kapan seorang ayah, suami pulang ke rumahnya dengan wajah murung, wajah yang menyebabkan isteri ikut sedih.
Sampai kapan derita ini berakhir? Masih sangat panjang. Ya, kemiskinan sudah menyelimuti bangsa Indonesia, sudah akut dan kuat.
Derita kemiskinan terus menggerayangi kehidupan kita. Tidak hanya terjadi secara struktural, bencana alam yang datang bertubi-tubi turut memperparah ekonomi masyarakat. Apakah rakyat miskinan berkehendak demikian? Saya bilang, tidak. Rakyat pasti tidak mau menjadi orang miskin.Yang miskin hanya orang malas, orang yang tidak mau berusaha.
Fakta ada di depan mata, balita gizi buruk capai 4 atau 5 juga, jumlah anak-anak yang tidak sekolah sangat tinggi dan angka pengangguran terus bertambah dari tahun ke tahun. Siapakah yang salah? Kita pasti punya jawaban yang pas untuk menyelesaikan masalah. Pejabat punya jawaban yang masuk akal, orang miskin punya dalih, dan para calon pejabat eksekutif dan legisilatif penya argumentasi yang masuk akal.
Saya harus tegas bahwa koruptor harus dibunuh mati. Mereka kaya karena mencuri uang Negara dalam jumlah sangat besar sehingga program pembangunan terhambat. Hal tersebut semakin menambah ancaman generasi bangsa Indonesia masa mendatang menjadi bangsa kuli. Gambaran kondisi tersebut tidak lantas selaras dengan mereka yang diberikan kesempatan memegang amanah rakyat. Ditengah kemiskinan yang demikian mengaga, justru para pemimpin kita beramai-ramai memikirkan diri dan golongan mereka sendiri dan mempertontonkan moralitas yang tak pantas.
Para pemimpin kita justru berteriak keras ketika PP 37/2006 direvisi, tapi bungkam saat subsidi kesehatan dan pendidikan disikut. Itulah salah satu cara mendeteksi praktik korupsi para pemimpin kita, selain penilapan terang-terangan uang negara.
Semua orang sepakat bahwa korupsilah yang membuat negeri ini bobrok. Tetapi, tidak berarti semuanya mau mendobrak sistem korup kita yang borok itu. Tanpa pandang bulu, tidak hanya merasuki birokrasi politik, tetapi korupsi di negeri ini sudah meracuni segala lini birokrasi kita, seperti pendidikan (Diknas), kesehatan (Depkes), bahkan birokrasi yang berbau agama (Depag) dan hukum sekalipun. Walhasil, jika lembaga pendidikan, hukum dan agama sudah dijangkiti virus korup, lantas dimana celah untuk melenyapkan penyakit yang bernama korupsi itu ?. Pada kondisi itu, kebenaran hanya berbicara untuk melindungi mereka yang bertahta dan berharta.
Kini, korupsi tidak lagi dilakukan oleh personal tetapi menjadi konsumsi komunal atau dibaca korupkongsi. Ia tidak lagi melalui cara ilegal, tapi bisa menelusup lewat jalur legal. Korupsi bukan lagi berita yang memuakkan dan memalukan, tetapi menjadi hal yang dielu-elukan. Sayangnya, reformasi yang sudah berjalan hampir satu dasawarsa ini, ternyata tidak mampu mengejar perubahan modus dan model korupsi. Rumit, rumit dan rumit. Ah, bosan juga berteriak tiada yang mau dengar. ♦