EXPONTT.COM – Mantan Dirut Bank NTT Amos Corputy, terus bersuara terkait kebijakan pengurus Bank NTT, memperpanjang masa jabatan sejumlah anggota direksi. Memperpanjang masa jabatan sejumlah direksi selama lima tahun adalah memotong hak karyawan yang sudah berpotensi menduduki jabatan sebagai direksi atau pengurus Bank NTT. Tetapi yang terjadi tindakan Komut sudah sewenang-wenang membuat kebijakan yang tidak populis dan tidak terpuji. Kebobrokan yang selama ini sejumlah pengurus tidak sekadar merusak reputasi Bank NTT tetapi meruguikan keuangan rakyat NTT. Dulu, sekitar tahun 1998, zaman Piet Tallo almarhum seharusnya bank ini sudah harus ditutup karena mengalami kerugian akibat kredit yang dilakukan pejabat pemda, termasuk koperasi praja mukti. Kritikan mantan Kepala Cabang Bank NTT Kefamenanu Eddys Gaunggus berikut ini, wajib dikritisi para pemegang saham Seri A mupun Seri dan seluruh rakyat NTT.”
Ditegaskan Amos Corputy,” Pengurus Bank NTT tidak punya kemampuan melakukan terobosan, tetapi hanya menaikan penghasilan mereka,merampas hak-hak karyawan menjadi penghasilan mereka. Ditengah kondisi Bank NTT memburuk keuntungan terus menurun dari tahun ke tahun tetapi ngotot memperpanjang masa jabatan beberapa pengurus yang telah habis, apakah ini kerjanya komisaris? Pengurus Bank NTT telah membohongi para pemegang saham, membohong masyarakat NTT. Rakyat NTT saat ini sedang menunggu janji Penjabat Gubernur NTT untuk segera gelar RUPS Luar Biasa dengan agenda mengganti semua mulai dari komisaris utama dan anggotanya dan Dirut Alex Riwu Kaho serta semua anggota direksi. Sehingga mulai 2024, bank ini bersih dari semua praktek kotor pada pengurus.”
Amos Corputy, mengajak pemegang saham untuk membaca tulisan yang dikritisi Eddy Gaunggus berikut ini. “ Untuk menyingkap misteri, lalu keanehan yang tersimpan di balik pembentukan cadangan bank NTT ini, kita awali dengan menyimak pembentukan Cadangan (CKPN) bank NTT seperti yang tercantum di tabel 1 berikut ini;
Cadangan yang di maksud itu adalah singkatan dari kata Cadangan Kerugian Penurunan Nilai di singkat CKPN. Apa itu? CKPN adalah penyisihan dana yang dibentuk oleh bank NTT karena adanya kerugian akibat penurunan nilai kredit yang disebabkan tidak tertagihnya sebagian kredit atau kredit bermasalah.
Di sini berlaku sebuah prinsip, semakin besar kredit bermasalah maka semakin besar pula kewajiban bank NTT untuk membentuk CKPN, atau semakin besar nominal NPL semakin besar pula CKPN yang mesti dibentuk bank NTT. Kredit bermasalah di bank di sebut NPL, singkatan dari Non Performing Loan.
CKPN & NPL keduanya sangat menentukan besarnya perolehan laba bank. Mari kita konfirmasi penjelasan ini dengan tabel 1 di atas.
Tampak di bulan Januari 2023 ini saat NPL bank NTT berjumlah RP 332,9 miliar, bank membentuk CKPN sebesar Rp 179,8 miliar, lalu laba yang diperoleh pada bulan Januari ini sebesar Rp 10 miliar.
Demikian seterusnya mulai dari bulan Pebruari hingga bulan Agustus 2023, antara Nominal NPL & CKPN berbanding lurus, yang bermakna “semakin besar nominal NPL (semakin besar tunggakan kredit) menyebabkan semakin besar pula kewajiban bank NTT membentuk CKPN “.
Namun anomali terjadi pada bulan Juni 2023 di saat jumlah nominal NPL bertambah dari Rp 449,8 Miliarpada Mei 2023 menjadi Rp 465,7 Miliar (bertambah Rp 15,8 Miliar) pada Juni 2023, bank NTT malah menurunkan pembentukan CKPN menjadi RP 241,5 Miliar pada Juni 2023 dari Rp 252,3 Miliar pada Mei 2023.
Ada penurunan pembentukan CKPN sebesar Rp 10,8 Miliar. Kemana kelebihan Rp 10,8 M ini dibukukan? Secara akuntasi kelebihan pembentukan perhitungan CKPN di bukukan sebagai pendapatan koreksi CKPN, sehingga bisa menambah laba bank NTT.
Bank telah melakukan koreksi yang mestinya tidak boleh, yang mestinya di lakukan bank adalah justru sebaliknya, harus menambah CKPN bukan sebaliknya mengurangi perhitungan CKPN. Motif apa di balik aksi melakukan perhitungan menyimpang dari yang seharusnya ini perlu dikritisi.
Inkonsistensi perhitungan CKPN yang lain juga terjadi di tahun 2022, sebagaimana tercantum pada tabel 2 berikut ini.
Mari kita simak periode Januari 2022. Di saat nominal NPL bank Rp 300,97 Miliard, bank NTT membentuk CKPN sebesar Rp 189,92 Miliar, lalu di bulan Februari disaat baki debet tunggakan kredit (nominal NPL) bertambah menjadi Rp 303,37 Miliar bank mengurangi pembentukan CKPN menjadi Rp 172,12 Miliar.
Namun di akhir tahun yakni Desember 2022 bank menurunkan pembentukan CKPN menjadi Rp 159,87 Miliar, padahal pada saat nominal NPL di bulan Januari berada pada jumlah yang lebih kecil yakni Rp 300,97 Miliar bank membentuk CKPN Rp189,92 Miliar, mengapa di saat nominal CKPN menjadi Rp 310,37 Miliar malah bank NTT menurunkan pembentukan CKPN menjadi hanya Rp159,87 M? Atau yang lain lagi, jika kita bandingkan dengan kondisi pada bulan Juni 2023, di saat nominal NPL bank berjumlah Rp302,54 Miliard, bNTT membentuk CKPN sebanyak Rp 186,89 Miliar, namun di saat jumlah NPL di akhir tahun yakni Desember 2022 bertambah menjadi Rp 310,37 Miliard, malah bank NTT menurunkan CKPN menjadi Rp 159,87 Miliard. Ini sangat inkonsistensi.
Semestinya di saat kredit macet bertambah (Nominal NPL naik) maka bank seharusnya justru menambah pembentukan CKPN, bukan sebaliknya, ini sebuah anomali.
Pertanyaannya ke mana dana CKPN yang lebih itu? seperti uraian saya sebelumnya, kelebihan itu di bukukan sebagai pendapatan koreksi CKPN. Ini artinya akan menambah laba bank.
Tetapi penambahan laba bank seperti ini bukan lantaran di peroleh dari hasil penagihan kredit bermasalah tetapi dari hasil teknik akuntansi di sisi perhitungan CKPN. Apa yang salah?
Kesalahannya ada pada ketidak jujuran dalam tata kelola yang baik dan benar, tampak bank mempercantik laba dengan teknik adminstrasi pada sistim akuntansi bank dengan cara yang inkonsistensi pada pembentukan CKPN. ♦ wjr