KEMENTERIAN Perindustrian memperkirakan kebutuhan garam nasional tahun 2018 bisa mencapai sekitar 3,7 juta ton untuk memenuhi kebutuhan konsumen serta industri di dalam negeri. Potensi tambak garam di Kepulauan Nusa Tenggara Timur diperkirakan mencapai sekitar 60.000 hektare, namun baru sebagian kecil yang digarap untuk memenuhi kebutuhan secara nasional. Areal tambak garam di Pulau Timor, misalnya, diperkirakan mencapai sekitar 6.363 hektare, namun baru dikelola secara profesional oleh PT Garam Indonesia seluas sekitar 400 hektare di Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, sedang 1.000 hektare lainnya diolah secara tradisional oleh penduduk lokal.
Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, potensi tambak garam di daerah tersebut mencapai sekitar 1.000 hektare, namun baru diolah masyarakat lokal sekitar 10 hektare. Demikian pula di Kabupaten Sumba Tengah, baru diolah rakyat secara tradisional sekitar dua hektare dari potensi yang ada sekitar 100 hektare.
Di Kabupaten Alor baru dimanfaatkan sekitar 27 hektare dari potensi yang ada sekitar 100 hektare, di Lembata baru diolah sekitar enam hektare dari potensi yang ada sekitar 75 hektare, dan di Sumba Timur sudah diolah sekitar 80 hektare dari 100,14 hektare potensi tambak garam yang ada.
Sementara di Kabupaten Rote Ndao, baru dimanfaatkan sekitar 51 hektare dari potensi tambak garam seluas sekitar 1.000 hektare, Kabupaten Malaka dengan potensi tambak garam seluas 20.000 hektare, namun baru dimanfaatkan sekitar 5.916 hektare, sedang di Kabupaten Sabu Raijua baru diolah sekitar 121 hektare dari 700 hektare potensi tambak garam di pulau tersebut.
Demikian pun halnya dengan potensi tambak garam di Kabupaten Ngada, Sumba Barat Daya, Ende, Sikka, Flores Timur, Manggarai Timur dan Nagekeo dengan total luas areal mencapai sekitar 6.120 hektare, namun baru dimanfaatkan sekitar 447 hektare. Potensi garam yang ada mampu memproduksi sekitar 9.665 ton/tahun, dengan tingkat produksi paling tinggi di Kabupaten Sabu Raijua yang mencapai sekitar 9.000 ton/tahun, menyusul Kabupaten Nagekeo sekitar 300 ton/tahun yang dikelolah oleh PT Citam.
“Dengan adanya kebijakan khusus dari pemerintah pusat tentang investasi, kita berharap agar ruang tersebut dapat dimanfaatkan oleh para investor untuk menanamkan modalnya di sektor usaha garam, agar NTT ke depan bisa menjadi ladang garam nasional,” ujar Bernard Haning, Kepala Bidang Industri Agro dan Kimia Dinas Perindustrian NTT.
Hingga posisi Agustus 2017, areal tambak garam yang diolah secara profesional oleh sejumlah investor baru mencapai 343,6 hektare dengan tingkat produksi per tahun sebesar 7,883,52 ton, yang menyebar di Kabupaten Kupang, Ende, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Timur, Manggarai, dan Nagekeo.
Pengolahan garam industri di Desa Bipolo, Kabupaten Kupang, NTT.
Untuk kebutuhan garam industri, pengembangan garam diserahkan kepada investor, seperti PT Garam Indonesia yang beroperasi di Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang dengan nilai investasi awal Rp4,5 miliar dari target Rp10 miliar, dan PT Chetam Garam Flores yang membangun tambak garam seluas 56 hektare di Kabupaten Nagekeo.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengakui bahwa garam merupakan salah satu komoditas yang strategis karena sangat dibutuhkan dalam semua sektor kehidupan. Bagi manusia, garam digunakan untuk konsumsi, sedang industri guna menunjang proses produksinya, seperti industri kimia, aneka pangan dan minuman, farmasi dan kosmetika, hingga pengeboran minyak. Kementerian Perindustrian memperkirakan kebutuhan garam nasional tahun 2018 bisa mencapai sekitar 3,7 juta ton untuk memenuhi kebutuhan konsumen serta industri di dalam negeri.
Indonesia memiliki potensi daerah yang perlu dikembangkan menjadi basis produksi industri garam secara intensifikasi, seperti di Nagekeo, Pulau Flores, NTT. Kualitas garam yang digunakan oleh industri tidak hanya terbatas pada kandungan natrium klorida (NaCl) yang tinggi, yakni minimal 97 persen, namun masih ada kandungan lainnya yang harus diperhatikan seperti kalsium dan magnesium dengan maksimal 600 ppm serta kadar air yang rendah.
Standar kualitas ini yang dibutuhkan industri aneka pangan dan industri chlor alkali plan (soda kostik). Sedang, garam yang digunakan oleh industri farmasi untuk memproduksi infus dan cairan pembersih darah, harus mengandung NaCl 99,9 persen.
Menteri Airlangga berkeyakinan bahwa industri pengolahan garam mampu berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, seperti dari impor bahan baku garam sebesar 3,7 juta ton yang senilai Rp1,8 triliun, bisa menghasilkan nilai tambah tinggi hingga menjadi Rp1.200 triliun.
Kemudian, untuk penyerapan tenaga kerja di industri pengolahan garam dan turunannya sebanyak 3,5 juta orang, serta mampu meningkatkan devisa negara sebesar US$ 5,6 miliar dari ekspor produk-produk industri yang menggunakan bahan baku garam. Atas dasar itu, pemerintahan berkomitmen untuk semakin menciptakan iklim investasi yang kondusif dan memudahkan para pelaku industri menjalankan usahanya di Indonesia.
Dirjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka (IKTA) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan kebutuhan bahan baku garam untuk industri nasional sekitar 3,7 juta ton pada tahun ini, akan disalurkan kepada industri chlor alkali plant (CAP), untuk memenuhi permintaan industri kertas dan petrokimia sebesar 2.488.500 ton.
Bahan baku garam juga didistribusikan kepada industri farmasi dan kosmetik sebesar 6.846 ton serta industri aneka pangan 535.000 ton, sisanya 740.000 ton kebutuhan bahan baku garam untuk memenuhi industri pengasinan ikan, industri penyamakan kulit, industri pakan ternak, industri tekstil dan resin, industri pengeboran minyak, serta industri sabun dan detergen.
Tampaknya, industri garam nasional belum mampu memenuhi kebutuhan garam di dalam negeri yang diperkirakan mencapai 3,7 ton dalam tahun ini, sehingga langkah antisipasi yang diambil pemerintah adalah dengan melakukan impor.
Namun, impor garam ini selalu menjadi polemik karena persoalan perhitungan kebutuhan. Bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), perhitungan mengacu dari informasi industri, perkiraan produksi, dan stok sisa, sedang Kementerian Perindustrian hanya berdasarkan estimasi kebutuhan industri. KKP yang melindungi produsen lokal, seperti petani dan PT Garam, sedang Kementerian Perindustrian melindungi para pebisnis yang menggunakan garam sebagai bahan dasarnya.
Atas dasar itu, KKP merekomendasikan impor garam sebesar 2,1 juta ton, namun Kementerian Perindustrian menyatakan membutuhkan impor garam sebesar 3,7 juta ton untuk kebutuhan industri. Berdasarkan UU No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, menegaskan bahwa untuk melakukan impor, menteri terkait harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri KKP.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan pihaknya telah menghitung perkiraan produksi dan kebutuhan garam industri tahun ini sebesar 3,9 juta ton, yang berasal dari perkiraan produksi sebesar 1,5 juta ton, dan stok sisa sebanyak 340 ribu ton. Sedang, menurut perhitungan Kementerian Perindustrian, kebutuhan garam industri pada 2018 sebesar 3,8 juta ton dengan rincian penyaluran pada industri Chlor Alkali Plant (CAP) yang akan memenuhi permintaan industri kertas dan petrokimia sebesar 2,49 juta ton.
Industri farmasi dan kosmetik membutuhkan sebesar 6.846 ton, industri aneka pangan sebesar 535.000 ton, dan sisanya 740.000 ton akan disalurkan untuk industri pengasinan ikan, penyamakan kulit, pakan ternak, tekstil dan resin, pengeboran minyak serta sabun dan detergen.
Permasalahan data, bukanlah hal baru terjadi di Indonesia, dan bukan pula menjadi urusannya NTT, karena wilayah provinsi berbasiskan kepulauan ini hanya mengharapkan kelak menjadi ladang garam nasional, agar Indonesia tidak lagi mengimpor garam sebagaimana terjadi selama ini, melainkan menjadi pengekspor garam untuk memenuhi kebutuhan dunia. ♦ AntaraNTT Potensi garam di Desa Bipolo, Kabupaten Kupang, NTT