EXPONTT.COM – Calon Pendeta atau vikaris berinisial Apriyanto Snae (36) yang mencabuli setidaknya 14 remaja di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) terancam hukuman kebiri kimia.
Selain terancam hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara, tersangka juga terancam hukuman kebiri sepert yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. .
Hukuman Kebiri
Melansir hukumonline.com, hukuman berupa tindakan kebiri kimia atau yang lebih familiar disebut hukuman kebiri adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.
Baca juga:5 Hari Menghilang, Siswi SMP di Kota Kupang Dicabuli Sopir Angkot
Hukum kebiri di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 23/2002”) dan perubahannya serta Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak (“PP 70/2020”).
Selain hukuman kebiri kimia, UU 23/2002 dan PP 70/2020 juga mengatur pengenaan pidana tambahan berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik atau chip. Pemasangan chip ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan mantan narapidana.
Pengenaan hukuman kebiri kimia dan pemasangan chip ini ditunjukkan bagi:
- Pelaku tindak pidana perbuatan cabul kepada anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”): Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
- Pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 76D UU 35/2014:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Baca juga:Sudah Tersangka, Kepala Dinas Ketahanan Pangan TTS yang Aniaya Staff Belum Ditahan
Pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak dan tindak pidana perbuatan cabul kepada anak dipidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Namun, patut diperhatikan bahwa tidak semua pelaku tindak pidana perbuatan cabul dan tindak pidana persetubuhan kepada anak dikenakan tindakan berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik atau chip dan/atau kebiri kimia.
Tindakan berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik atau chip dapat dikenakan pada:
- Pelaku tindak pidana perbuatan cabul kepada anak yang merupakan orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari 1 orang secara bersama-sama.
- Pelaku yang sebelumnya pernah dipidana karena melakukan tindak pidana persetubuhan kepada anak dan/atau tindak pidana perbuatan cabul kepada anak.
- Pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak dan/atau tindak pidana perbuatan cabul kepada anak yang menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
Sedangkan hukuman kebiri kimia dapat dikenakan kepada: