EXPONTT.COM, KUPANG – Sidang kasus dugaan korupsi pemanfaatan aset Pemprov Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terletak di Pantai Pede, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, yang telah dibangun Hotel Plago,mulai bergulir, di pengadilan tipikor Kupang, Selasa, 14 November 2023.
Sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum (JPU) menghadir tiga terdakwa yakni Direktur Sarana Wisata Internusa (PT SWI), Lydia C. Sunaryo, Direktur PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM),Thelma Bana selaku Kabid Pemanfaatan Aset Provinsi NTT di tahun 2014 berlangsung terpisah.
Dalam sidangnya JPU menyebut, Thelma Bana diduga melaksanakan tender fiktif terkait pemanfaatan aset tersebut sehingga proyek dikerjakan PT SIM dan membuat perhitungan kontribusi tahunan yang diduga terlampau rendah.
Baca juga: Kriminalisasi Terhadap PT SIM: Preseden Buruk Iklim Investasi di Indonesia
Ia didakwa Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan, JPU mendakwa Lydia C. Sunaryo telah melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, terdakwa Heri Pranyoto didakwa telah melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca juga: Sidang Putusan Hotel Plago Labuan Bajo, PT SIM Menang Lawan Pemprov NTT
Dalam kasusnya, PT SIM dan PT SWI selaku investor bersama Pemprov NTT kala itu membuat perjanjian Bangun Guna Serah (BGS) pemanfaatan aset pemprov dengan perhitungan kontribusi per tahun dari PT SIM untuk pemprov NTT dengan nilai yang sangat rendah pada tahun 2014.
Dalam perjanjian BGS antara Pemprov NTT dan PT SIM 2014, PT SIM wajib memberikan kontribusi per tahun senilai Rp225 juta, sedangkan, dari perhitungan BPAD tahun 2022 yang dipakai jaksa untuk mendakwa para tersangka kontribusi yang layak diberikan seharusnya Rp 1,5 miliar per tahun sehingga membuat kerugian keuangan negara dari perjanjian berlaku hingga PT SIM diputus kontrak sepihak oleh pemprov NTT pada April 2020 senilai Rp 8,5 miliar.
Terkait dakwaan tersebut, Jamaruba Silaban yang merupakan salah satu anggota tim kuasa hukum PT SIM dan PT SWI, menegaskan kasus ini sebenarnya merupakan ranah perdata.
Baca juga: Tagih Janji, BEMNUS NTT Pertanyakan Kasus Bansos Sabu Raijua 2013-2015
“Kasus BGS ini langka karena seharusnya ranah perdata,” katanya usai sidang.
menyebut pihaknya meminta waktu kepada majelis hakim untuk memberikan eksepsi atau nota keberatan atas dakaan jaksa penuntut umum (JPU).
“Yang pasti ada beberapa, yang telah kami simak dalam dakwaan penuntut umum beberapa hal yang jadi perhatian untuk eksepsi kami penasihat hukum. Yang jelas ini perjanjian antara pihak swasta dan pemerintah tampa ada anggaran dari APDN maupun APBD,” jelasnya.
Baca juga: Massa GMNI Kupang Demo di Depan Kantor DPRD yang “Kosong”
Terkait dengan putusan perdata oleh majelis hakim PN Kupang yang memenangkan PT SIM dan mengabulkan sebagian permohonan dalam sidang melawan Pemprov NTT dan PT Flobamor, Silaban meyakini akan berpengaruh ke berjalannya sidang pidana korupsi yang sedang berjalan.
Sementara itu, Melson Bery kuasa hukum dari terdakwa Thelma Bana, mengatakan dakwaan JPU yang menyebut kliennya membuat pelelangan fiktif proyek pemanfaatan aset Pemprov NTT di Labuan Bajo adalah tidak benar.
“Bukti surat dan penggumuman pelelangan di koran itu ada, di barang bukti kejaksaan juga ada, itu yang kami keberatan,” jelasnya.
Baca juga: Petani Rumput Laut NTT Meradang, DPRD Minta Pemprov Cabut Pergub
Dirinya berpandangan kasus ini sebenarnya merupakan ranah perdata, hal itu dikarenakan yang menjadi persoalan dalam kasus ini adalah isi perjanjian, untuk itu penyelesaian kasus harus mengikuti isi perjanjian.
“Dalam klausul di perjanjian, kalau ada perbedaan pendapat itu diselesaikan melalui jalur hukum perdata di pengadilan negeri bukan di tipikor,” pungkasnya.
Sidang dengan agenda eksepsi akan berlanjut pada Selasa, 21 November 2023.♦gor
Baca juga: Menang Lawan Pemprov NTT, Kuasa Hukum PT SIM Harap Putusan Perdata Buka Wawasan Penyidik Kejaksaan