EXPONTT.COM, KUPANG – Aliansi Peduli Kemanusiaan yang mengawal kasus meninggalnya Roy Herman Bolle Amalo (Roy Bolle) dengan terpidana Marten Konay Cs menduga adanya praktek mafia peradilan dalam kasus tersebut.
Dugaan itu berdasarkan analisis hukum dan pendapat terhadap putusan Marten Konay, Stevey Konay, Donny Konay dan Ama Logo yang disampaikan oleh Aliansi Peduli Kemanusiaan, Jumat, 10 Mei 2024.
Dalam analisisnya, Aliansi Peduli Kemanusiaan menyebut, dalam putusannya majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua Florence Katerina, SH, MH, dan Hakim Anggota Consilia Ina Lestari Palang Ama, SH serta Seppin Leiddy Tanuab, SH, mengabaikan sejumlah fakta persidangan dalam putusannya.
Selain itu, hakim disebut tidak mempertimbangkan dengan cukup serius unsur hukum “barang siapa” dalam dakwaan primair. Pertimbangan hukum yang dinilai kurang lengkap dan hukuman pemilu yang hanya satu tahun penjara dianggap tidak mencerminkan beratnya tindakan yang dilakukan.
“Patut diduga ini merupakan upaya pembelokan fakta persidangan sesungguhnya dan upaya penerapan pasal yang ancaman hukumannya jauh lebih ringan sebagai dasar pijakan tuntutan. Patut diduga fenomena ini adalah bukti nyata adanya praktek mafia peradilan,” tegas Koordinator Aliansi Peduli Kemanusiaan, Hemax Rihi Herewila.
Aliansi juga mengkritisi Jaksa Penuntut Umum yang bertingkah janggal dalam penerapan pasal kepada para terdakwa. Menurut Aliansi Peduli Kemanusiaan, penerapan Pasal 170 ayat (1) KUHP adalah satu tanda tanya besar.
“Apakah Jaksa lupa pada fakta persidangan bahwa adanya korban yang meninggal langsung di TKP dan bukan di Rumah Sakit atau pun dalam perjalanan. Lalu, kalau pun diduga JPU sengaja menerapkan Pasal 170 KUHP kenapa tidak menggunakan Pasal 170 ayat (2) butir ke 3 KUHP karena jelas jauh lebih relevan dengan realita/ fakta persidangan yaitu korban meninggal dunia. Menjadi pertanyaan lanjutan bagaimana bisa Terdakwa yang dikenakan Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 (Marten Konay dan Ama Logo) sama-sama dituntut 2 tahun yang mana penerapan pasal dan penerapan sanksi pidana terhadap kedua pasal ini berbeda,” jelasnya.
Menurut Aliansi Peduli Kemanusiaan, Marten Konay akan lebih tepat jika dikenakan Pasal 55 KUHP, dimana Marten Konay menyuruh untuk melakukan penyerangan di lokasi tersebut.
“Sudah seharunya dan sepantasnya, terdakwa Marten Konay Dikenakan Pasal 55 terhadap pasal pembunuhan 338 yang diterapkan pada terdakwa pelaku penusukan yaitu matheos alang yang mana oleh JPU dituntut 14 tahun penjara. Patut diduga ini merupakan upaya pembelokan fakta persidangan sesungguhnya dan upaya penerapan pasal yang ancaman hukumannya jauh lebih ringan sebagai dasar pijakan tuntutan. Patut diduga fenomena ini adalah bukti nyata adanya praktek mafia peradilan,” tutur Hemax.
Aliansi Peduli Kemanusiaan dan keluarga almarhum menyatakan akan melayangkan surat kepada Kejaksaan Agung terkait JPU di Kejaksaan Negeri Kota Kupang yang tak mengajukan banding terhadap putusan yang dinilai keluarga dan aliansi terlampau rendah dan tidak memberikan rasa keadilan.
Selain itu, terkait pernyataan hakim yang menyebut Roy Bolle adalah preman, Aliansi Peduli Kemanusiaan dan keluarga juga akan bersurat kepada Komisi Yudisial Republik Indonesia untuk menindaklanjuti pernyataan hakim yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi.
“Kami akan tetap melakukan konsolidasi untuk terus mengawal kasus ini sampai keadilan dirasakan keadilan,” kata Hemax.♦gor
Berikut analisis hukum dan pendapat terhadap putusan Marten Konay, Stevey Konay, Donny Konay dan Ama Logo oleh Aliansi Peduli Kemanusiaan dan keluarga Almarhum Roy Bolle:
Analisa Putusan Marten Konay, Stevey Konay, Donny Konay dan Ama Logo
- Pada hari kamis, tanggal 04 April 2024 dalam Agenda Sidang Putusan, Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Kupang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Florence Katerina, S.H., M.H, dan Hakim Anggota Consilia Ina Lestari Palang Ama, S.H. dan Seppin Leiddy Tanuab, S.H. telah memutus Terdakwa atas nama Martin Soleman Konay (putusan Pengadilan Negeri Kota Kupang Nomor 21/Pid.B/2024?PN.Kpg tanggal 04 April 2024), Donny Leonard Konay (Putusan No. 12/Pid.B/2024/Pn Kpg), Stevye Edward Konay (Putusan No. 20/Pid.B/2024/PN Kpg), dan (Putusan No. 19/Pid.B/2024/PN Kpg) yang sebelumnya untuk terdakwa – terdakwa tersebut diata masing – masing didakwa dengan dakwaan sebagai berikut ;
PRIMAIR : Pasal 338 KUHPidana Jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHPidana
SUBSIDAIR : Pasal 351 Ayat (3) KUHPidana Jo Pasal 55 ayat (1) Ke 2 KUHPidana
Lebih Subsidair : Pasal 170 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHPidana
Selanjutnya dalam putusan Majelis Hakim Menyatakan terdakwa – terdakwa di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan Menjatuhkan Pidana kepada para terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun penjara atau setengah dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang mana putusan tersebut berbeda jauh dari Tuntutan Jaksa Penuntut umum yang menuntut para terdakwa sebagaimana tersebut diatas selama 2 (dua) Tahun Penjara.
- Selanjutnya terhadap Putusan Terdakwa atas nama Martin Soleman Konay (putusan Pengadilan Negeri Kota Kupang Nomor 21/Pid.B/2024?PN.Kpg tanggal 04 April 2024), bahwa keluarga korban sangat menyayangkan sikap Jaksa Penuntut Umum yang tidak menghadirkan saksi Dedy Ronal Magang dalam persidangandan juga menyanyangkan sikap Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Kupang yang tidak mempertimbangkan 1 buah flash drive merek HP warna hitam dengan kapasitas penyimpanan 2 GB yang isinya terdapat (1) satu file rekaman video jenis mp4 masing-masing dengan durasi o,46 detik seorang laki-laki yang bernama Dedy Ronal Magang membuat satu pernyataan secara lisan bahwa benar voice note/ pesan suara tersebut isinya sama seperti apa yang sudah disampaikan di Berita acara pemeriksaan sebagai saksi tanpa dipaksa dst…., Padahal sejatinya pemeriksaan barang bukti dalam perkara pidana harus dilakukan secara komprehensif termasuk dengan membuka kembali barang bukti yang telah disita tersebut guna mencari kebenaran materil dari sebuah perkara pidana.
- Bahwa setelah membaca putusan Pengadilan Negeri Kota Kupang Nomor 21/Pid.B/2024?PN.Kpg tanggal 04 April 2024 menurut keluarga korban dalam putusan tersebut Hakim tidak cukup pertimbangan hukumnya serta telah melakukan kekeliruan yang nyata dalam mempertimbangkan “Unsur Barang Siapa” vide – pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Kupang halaman 71 Ad. 1yang berbunyi sebagai berikut;
“Menimbang bahwa yang dimaksud dengan unsur “BARANG SIAPA” berdasarkan Memorie van Toelichting (MvT) yang dimaksud dengan “ barang siapa” adalah manusia sebagai subjek hukum, yaitu manusia yang dapat bertanggung jawab secara hukum terhadap suatu perbuatan tertentu yang memiliki akibat hukum.
Terhadap pertimbangan tersebut keluarga korban berpendapat bahwa, pertimbanagn barang siapa yaitu subyek hukum yang diduga atau didakwa melakukan tindak pidana bergantung pada pembuktian delik intinya, oleh karena unsur setiap orang merupakan elemen delik yang tidak dapat berdiri sendiri dan tidak dapat ditempatkan sebagai unsur pertama atas perbuatan sebagaimana yang dimaksudkan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan primair. Dengan demikian untuk menentukan “barang siapa” dalam dakwaan Primair yang ditujukan kepada Terdakwa sebagai subyek hukum yang melakukan tindak pidana -quod non- maka tidak secara otomatis unsur tersebut terpenuhi hanya dengan melakukan pengamatan Terdakwa), apalagi hanya dengan mengajukan Terdakwa kedepan persidangan orang yang bernama Marthen Soleman Konay yang dewasa dalam keadaan sehat jasmanai maupun rohani, bahkan dalam persidangan tidak ditemukan alasan pemaaf maupun alasan pembenar oleh sebap itu, Majekis Hakim harusnya terlebih dahulu mempertimbangkan unsur-unsur dakwaan primair yang merupakan delik inti atau bestandelen delict yaitu menghilangkan nyawa orang sebagaimana dalam dakwaan primair.