Penanganan Dugaan Korupsi Di Rote Oleh Kejati NTT Semakin Gencar

PENANGANAN kasus dugaan kurupsi jual beli tanah di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT) semakin gencar.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTT, Sunarta memerintahkan tim penyidik Tindak Pidana Khusus (Tipidsus) untuk mendalami kasus tanah yang diduga melibatkan salah satu pejabat di daerah itu.
“Kajati sudah perintah dan sudah bentuk tim untuk mendalami kasus tersebut. Dalam waktu dekat pihak atau oknum yang terlibat dalam kasus itu segera di periksa,” kata sebuah sumber.
Informasi yang diperoleh SHNet di Kupang, Jumat 9 Maret 2018 bahwa Kejaksaan Tinggi NTT melalui tim yang sudah dibentuk segera mengexpos penanganan kasus dugaan korupsi tersebut dan menetapkan calon tersangkanya.
Saat ditanya detail kasus dugaan korupsi jual beli tanah dimaksud, sumber tersebut menyampaikan tim penyidik Kejaksaan Tinggi mendalami Peraturan Bupati (Perbup) Rote Ndao tentang penjualan tanah pada tahun 2016 seluas 4 hektar dengan harga Rp 7.428.617.037.
Diduga anggaran sebesar itu bersumber dari APBD sehingga jika realisasi pembayaran berdasarkan Perbup maka harus ditelusuri apakah penggunaan anggaran tersebut disetujui DPRD Rote Ndao atau tidak.
“Diduga terjadi mark up anggaran sehingga merugikan negara dan memperkaya orang-orang yang terlibat dalam kasus tersebut,” tegasnya.
Lokasi 4 hektar tanah tersebut di Oehandi yang sekarang dibangun Gedung Kantor Camat Rote Barat Daya yang baru. Sebelumnya lokasi tersebut bukan merupakan Ibu Kota Kecamatan Rote Barat Daya.
Diduga pemindahan Ibu Kota Kecamatan Rote Barat Daya ke lokasi tersebut berkaitan dengan proses jual beli tanah antara pemerintah daerah (Pemda) Rote Ndao dan pemilik tanah. Kuat dugaan tanah tersebut dijual untuk dibangun kantor camat dan fasilitas Ibu Kota Kecamatan Rote Barat Daya.
Menurut sumber tersebut bahwa pemilik tanah menjual dengan harga Rp 150.000 per meter, namun tidak disetujui DPRD Rote Ndao. Meski tidak disetujui DPRD, namun realisasi tetap dilakukan dengan membayar Rp 7.428.617.037 untuk 4 hektar luas tanah.
“Setelah dibayar, pemerintah Rote Ndao baru mengusulkan besar anggaran itu ke DPRD untuk dibahas dan disetujui namun DPRD menolak,” jelasnya.
Ia menyampaikan karena tidak disetujui DPRD maka dikeluarkanlah Perbup dan dijadikan sebagai acuan regulasi untuk membayar tanah tersebut.
Sesuai dengan hasil survei tim negosiasi pengadaan tanah maka Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah di lokasi tersebut pada tahun 2016, tidak mencapai Rp 150.000 per meter.
Seharusnya nilai jual tanah di lokasi tersebut pada tahun yang sama (2016) hanya Rp 17.000 per meter sesusi NJOP. ♦ sinarharpan.net