DPRD NTT Desak Pemerintah Selesaikan Masalah Tanah Warga Baru di Oebelo

DPRD NTT mendesak Pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan sertifikat kepemilikan lahan yang ditempati warga baru atau warga eks Timor-Timur di Desa Oebelo Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang.
Desakan ini disampaikan anggota DPRD NTT, Angelino da Costa saat dimintai komentarnya, Selasa 5 Juni 2018 terkait masalah kepemilikan lahan yang ditempati warga baru di Oebelo.
Menurut wakil rakyat asal Partai Amanat Nasional (PAN) ini, Pemerintah tidak boleh menutup mata dan membiarkan masalah ini berlarut-larut.
“Pemerintah tidak boleh berlarut-larut biarkan persoalan ini karena memang sudah sangat lama proses dan penyelesaiannya. Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap persoalan ini,” kata Angelino.
Angelino mengatakan, masyarakat Indonesia kelahiran Timor-Timur tidak boleh dibuat terkatung-katung oleh Pemerintah.
“Kalau persoalan ini terkatung-katung, masyarakat tidak bisa mendapatkan hak legalitas atas lahan yang mereka sudah diami hampir 15 tahun,” tambah Angelino.
Sebelumnya, 381 warga Eks Timor-Timur yang menempati lahan permukiman seluas 3 hektare di Desa Oebelo Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang yang belum mendapatkan sertifikat kepemilikan tanah melakukan aksi demonstrasi di kantor Gubernur NTT.
Mereka melakukan aksi demonstrasi karena lahan yang mereka tempati itu bukanlah tanah ulayat, namun milik Nikanor Mooy Mbatu.
Untuk itu, warga yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan Rakyat (APR) NTT melakukan unjuk rasa di depan gedung Sasando, Jalan El Tari, Kota Kupang, Senin 4 Juni 2018.
Mereka menuntut agar Pemerintah segera menyelesaikan persoalan hak kepemilikan tanah ini.
Fransisko Xavier da Silva, warga RT 18 RW 007 Desa Oebelo yang ikut dalam aksi ini, mengatakan persoalan ini sudah terlalu lama dibiarkan mengambang oleh Pemerintah.
“Sebagai masyarakat, kami kecewa. Kami datang unjuk rasa ini bukan baru sekali. Sudah berulang-ulang kali. Tapi tetap saja tidak ada jalan keluar soal hak kepemilikan tanah ini,” kata Fransisko sewaktu berdialog dengan Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman Rakyat (PRKP) Provinsi NTT di ruang Asisten 1 Setda NTT.
Menurut dia, seharusnya Pemerintah bisa melakukan negosiasi dengan pemilik lahan, sehingga kepastian hak tanah ini bisa diperoleh.
Kekecewaan Fransisko ini tak hanya soal lambannya pihak Pemerintah dalam menyelesaikan hak tanah ini. Sempitnya lahan yang disiapkan pemerintah kepada 52 KK di tempat itu pun menimbulkan masalah tersendiri.
“Lahan garap tidak ada karena sempit. Kalau ada keluarga yang meninggal, kami terpaksa kuburkan mereka disitu. Terus mau bertani dimana,” keluhnya.
Baginya, pemerintah tidak punya hati untuk rakyat kecil seperti dirinya.
“Persoalan ini sudah lama. Dari 2003. Tapi sekarang belum ada penyelesaian juga. Kalau bapak-bapak keluar melakukan perjalanan dinas, ada biayanya. Tapi untuk datang ke sini, kami pakai uang pribadi. Uang itu adalah hasil kerja serabutan kami, dari hasil anyaman yang kami jual. Kalau kami harus begini terus, dimana perasaan bapak-bapak,” ungkapnya.
Kepala Dinas PRKP Provinsi NTT Yulia Arfa menjelaskan, pihaknya sudah berulang kali melakukan negosiasi dengan pihak pemilik lahan.
“Sudah 3 kali kami lakukan pendekatan dan pertemuan untuk selesaikan masalah lahan ini. Tapi kesulitan yang dihadapi adalah lahan itu milik pribadi. Bukan tanah ulayat. Sehingga kami harus bicarakan dari hati ke hati,” jelasnya.
Dirinya mengakui, awal mula persoalan ini karena Pemerintah membangun pemukiman di atas tanah milik perorangan. “Tapi kami tetap komitmen untuk selesaikan. Mudah-mudahan sebelum masa akhir gubernur ini (Frans Lebu Raya – red), persoalan ini telah diselesaikan,” tambahnya. ♦ epo