Risalah Kerusuhan Aceh Singkil 13 Oktober 2015

Isak Tangis Jemaat Aceh Singkil

By RD. Kamilus Pantus (KWI)

HIDUP bersama dengan damai antara agama-agama di Aceh Singkil nampaknya masih sulit terwujud. Kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak di perbatasan Sumatera Utara ini penuh dengan catatan ketegangan dan konflik antaragama, sejak 1979 hingga sekarang. Selasa 13 Oktober 2015 yang lalu kembali terjadi konflik dan kerusuhan antara kelompok Muslim dan Kristiani yang mengakibatkan terbakarnya satu gereja, Huria Kristen Indonesia (HKI) di Gunung Meriah, satu orang meninggal dan empat luka-luka.
Ada 4 Gereja Stasi Katolik di Aceh Singkil: Sukamakmur, Napagaluh & Lae Balno (stasi Paroki Tumba-Manduamas Keuskupan Sibolga) dan Mandumpang (stasi Paroki Pakpak Barat Keuskupan Agung Medan). Jumlah umat Keuskupan Sibolga di Sukamakmur 18 keluarga, Napagaluh 73 keluarga dan Lae Balno 28 keluarga.
Berikut ini risalah yang disusun oleh Tim Pusat Pastoral Keuskupan Sibolga (PUSPAS KS) yang berisi kronologi peristiwa dan catatan-catatan penting yang ditemukan dalam keterlibatan menangani korban konflik ini.
Selasa, 06 Okt 2015
Selasa (6/10) massa yang menamakan diri Pemuda Peduli Islam (PPI)* Aceh Singkil menggelar unjuk rasa di halaman kantor bupati.  Mereka resah atas pertumbuhan gereja yang makin banyak di Singkil. Pemuda Peduli Islam (PPI) Aceh Singkil memberi batas waktu sampai Selasa 13 Oktober 2015 Pemkab harus menertibkan sejumlah bangunan gereja yang tidak berizin.  *disebut juga APPI – Aliansi PPI.

Kamis, 08 Okt 2015
Digelar lagi pertemuan warga namun tak membuahkan hasil sebab pihak nonmuslim keberatan rumah ibadah dibongkar. Sumber: http://aceh. tribunnews.com/2015/10/13/ini-akar-bentrokan-di-aceh-singkil-menurut-bupati?page=2

Sabtu, 10 Okt 2015
Sekitar pukul 13.00 WIB, perwakilan pemuda dan imam masjid serta beberapa tokoh dari seluruh Aceh Singkil  menggelar pertemuan tertutup di Masjid Al Mukhlisin, Desa Lipat Kajang, Kecamatan Simpang Kanan. Pertemuan yang mendapat penjagaan ketat dari warga itu, menyepakati jika sampai Selasa (13/10) Pemkab tidak menertibkan gereja tak berizin tersebut, maka massa akan membongkar sendiri.

Minggu, 11 Okt 2015
Beredar surat yang seolah-olah dikeluarkan pimpinan GKPPD periode lalu yg isinya menghasut orang Kristen untuk tidak takut bertubrukan dengan pihak Muslim. Selain itu dalam beberapa hari belakangan, muncul pesan singkat berantai yang mengajak warga melakukan pembongkaran gereja dengan titik kumpul di Simpang Tugu, Simpang Kanan Selasa hari 13 Okt. Massa juga diminta datang melengkapi diri dengan senjata tajam.

Senin, 12 Okt 2015
Senin (12/10/2015) di ruang pertemuan kantor Setdakab setempat di Pulau Sarok, Singkil ada rapat antara Bupati Aceh Singkil  Safriadi, Muspida, ulama, ormas Islam serta tokoh masyarakat, yang menyepakati pembongkaran gereja dimulai tanggal 19 Oktober sampai dua pekan ke depan. Selanjutnya rumah ibadah yang tidak dibongkar harus mengurus izin dengan tenggat waktu selama enam bulan. Kemudian tokoh ulama diminta menenangkan umat agar tidak terjadi hal tak diinginkan.
Poin lainnya dari kesepakatan, pendirian rumah ibadah harus menuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Hasil kesepakatan tersebut, akan disosialisasikan Muspida di Masjid Lipat Kajang Bawah, Kecamatan Simpang Kanan, malam ini juga. Hal tersebut dilakukan untuk menenangkan massa yang menuntut  Selasa (13/10/2015) merupakan batas waktu terakhir menertibkan gereja tak berijin.
Berikut nama sepuluh gereja yang sudah disepakati rapat itu untuk dibongkar:
1.    GKPPD Desa Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah
2.    GKPPD Pertabas
3.    GKPPD Kuta Tinggi
4.    GKPPD Tutuhan
5.    GKPPD Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan.
6.    GKPPD Mandumpang
7.    GKPPD Siompin
8.    GMII Siompin, Kecamatan Suro
9.    GKPPD Situbuhtubuh, Kecamatan Danau Paris.
10.Gereja Katolik Lae Balno, Danau Paris.

Selasa, 13 Okt 2015
“Sekitar pukul 10.00 WIB, sekelompok massa dengan ikat kepala dan membawa bambu runcing bergerak dari arah Desa Lipat Kajang Bawah, Kecamatan Simpang Kanan menuju Gunung Meriah. Sesampai di Simpang Amal, turun dari kendaraan berjalan kaki menuju Desa Suka Makmur, melakukan pembakaran rumah ibadah [Gereja HKI]. Mobil pemadam kebakaran yang datang ke lokasi harus balik ketika sampai di lokasi, karena langsung dihujani batu. Akhirnya bangunan rumah ibadah itu ludes dilalap si jago merah. Selesai di sana, massa bergerak ke Desa Dangguran menggunakan kendaraan yang sama. Sampai di Desa Sianjoanjo, persimpangan ke arah jalan ke Dangguran, turun berjalan kaki. Aparat TNI yang ada di lokasi mencoba menghadang karena mengetahui di atas tanjakan sudah ditunggu kelompok massa berbeda.
“Massa berhasil menerobos. Begitu juga ketika dihadang dekat massa dari kelompok berlawanan. Begitu berhasil melewati hadangan aparat keamanan, tiba-tiba dari atas jalan tanjakan terjadi hujan batu, tombak serta peluru senapan yang biasa digunakan memburu babi hutan. Korban berjatuhan. Lemparan batu pun tak dapat dielakkan hingga mengenai kendaraan dan seorang anggota TNI. Setelah terjadi hujan batu, akhirnya massa bisa dikendalikan oleh aparat keamanan. Korban luka-luka empat orang masing-masing atas nama Praka Sarto (32) sopir Dandim 0109/Singkil. Sarto luka di bagian mulut dan kepala akibat hantaman batu. Kemudian Herman mengalami luka tembak di lengan kanan bagian atas, keduanya dirawat di RSUD Aceh Singkil. Dua korban lainnya harus dirujuk ke rumah sakit di Banda Aceh, akibat luka tembak di bagian dada kanan, atas nama Uyung dan Salman.
“Korban meninggal dunia akibat bentrokan antara dua massa berbeda di jalan menuju Desa Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan, Aceh Singkil, Selasa (13/10/2015) siang satu orang atas nama Syamsul (21) warga Buluhsema, Kecamatan Suro.
“Karena beredarnya isu-isu sweeping dan pembunuhan orang Kristen, warga Kristen pun ketakutan dan mengungsi ke Tapanuli Tengah (Tapteng) & Pakpak Barat. Di Desa Saragih Tapteng berdatangan pengungsi, umat berbagai gereja sebanyak 3000-an, mereka menginap di sekolah-sekolah & gereja-gereja. Sementara umat Katolik dari stasi-stasi di Aceh Singkil sudah mengungsi ke Paroki Tumba-Manduamas sejumlah 100-an. Di Pakpak Bharat para pengungsi terkonsentrasi di Sibagindar sekitar 1000-an orang.

Rabu, 14 Okt 2015
“Pagi hari Bupati & Dandim Tapteng meminta agar Paroki Tumba-Manduamas bersedia menampung pengungsi dari Desa Saragih karena fasilitas lebih baik. Gubernur Sumatera Utara pun menelepon Pastor Paroki agar menerima pengungsi. Maka mulai siang hari pengungsi dari Desa Saragih mengalir masuk ke kompleks Paroki Tumba-Manduamas diangkut truk-truk tentara.
“Berlangsung pertemuan di Polres Singkil: tokoh Muslim dengan Pemkab Singkil, Pangdam, Kapolda. Kembali menekankan penutupan 10 gereja tanggal 19 Oktober.
“Tim dari Sibolga berangkat ke Tumba-Manduamas: Vikjen, P. Doni Ola, Yanto, P. Robert, P. Condar, Br Abdon Simanullang, Dennis Simalango dari Komisi KPKC, Pogos Sihotang, Kosmas Simbolon, dengan 2 mobil, salah satunya truk membawa logistik. Tiba di Tumbajae sekitar pukul 17.00, tim segera membantu proses asesmen dengan tim paroki & Caritas Keuskupan Sibolga (CKS), menerima pendaftaran pengungsi, mengurus peralatan, koordinasi dengan lembaga-lembaga lain. Lalu diadakan rapat dengan Bupati Tapteng, Kapolres & Dandim Tapteng. Kesepakatan: pengungsi harus diterima dengan baik. Malam hari rapat dengan tim pemerintah (Camat, Kades – Muspika) dengan tim paroki, membicarakan soal-soal teknis mengurus pengungsi.
“Bantuan logistik terus mengalir dari berbagai pihak ke kompleks paroki.
“Tim pengurus pengungsi terdiri dari DPPI (Dewan Pastoral Paroki Inti), OMK (Orang Muda Katolik), Satpol PP, suster, bruder, relawan dari umat Tumbajae, anak asrama dan anak-anak sekolah, juga Tim siaga bencana ASIGANA dari GBKP (Gereja Batak Karo Protestan), relawan dari GKPPD (Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi), dll.
Kamis, 15 Okt
“Di pengungsian di kompleks Paroki Tumba-Manduamas, pagi hari diumumkan oleh seorang tokoh masyarakat ada undangan dari Bupati Singkil untuk mediasi antara pihak-pihak terkait, sekitar jam 14-15. Ada percakapan antara Pastor Paroki, DPPI & Vikjen tentang undangan tersebut. Vikjen menganjurkan agar kita mengirim utusan. Sekitar jam 10 pagi, diadakan rapat di ruang makan paroki untuk membicarakan utusan dari gereja-gereja (hadir: pastor paroki, J. Sinaga, Dennis & dan tim Paroki, pendeta HKI, GKPPD, & pendeta-pendeta dari berbagai gereja). Diputuskan bahwa utusan dari Gereja Katolik: Dennis Simalango (staf Komisi KPKC Keuskupan Sibolga), Arnol Sinambela, Vorhanger Lae Balno & Viksen Tumanggor umat Stasi Lae Balno.
“Ketiga orang anggota tim paroki tiba di Polres jam 14.00 untuk mengikuti rapat mediasi yang dihadiri Bupati, Kapolda Aceh, Kapolres Singkil, Pangdam Aceh, Dandim Singkil, dari Kemensos Aceh Sahbudin dengan tokoh-2 Kristen dari semua Gereja: GKPPD, GMII, JKI, Katolik. Tidak ada wakil dari pihak Muslim. Kapolda yang memimpin rapat. Pihak Pemkab mengumumkan bahwa untuk mengikuti rapat mediasi dari pihak Kristen hanya 5 orang (utusan kecamatan), kemudian berubah menjadi utusan gereja, akhirnya jadi 10 orang utusan Gereja.
“Dennis Simalango tidak diperkenankan masuk mengikuti rapat dengan alasan Dennis bukan penduduk setempat. Yang menyatakan hal itu, seorang tokoh masyarakat & beberapa pendeta. Dennis bersikeras bahwa dia harus ikut rapat karena diutus resmi oleh Gereja Katolik tapi tetap ditolak. Akhirnya seorang anggota Provost memegang lengan Dennis dan menyuruh Kedua utusan resmi paroki lainnya (Arnol Sinambela & Viksen Tumanggor) juga tidak ikut masuk ke rapat mediasi. Yang diikutkan rapat dari pihak Katolik justru orang yang bukan utusan resmi Gereja Katolik: Laher Manik mantan vorhanger stasi Sukamakmur & Sudianto Bancin (mantan vorhanger Napagaluh). Dan keduanya juga tidak mengkomunikasikan apa pun isi serta proses rapat kepada Pastor Paroki, dari awal hingga akhir.
“Agenda rapat di Polres: memediasi percakapan antara tokoh-tokoh Kristen. Menurut pengakuan peserta rapat, “Kami hanya mendengar pengumuman, kronologis kerusuhan, intinya masalah tidak adanya IMB gereja”. Kemudian pihak Pemkab menawarkan akan memberikan 7 tambahan ijin gereja (selama ini ada 5 gereja yang sudah memiliki ijin) dan mempersilakan tokoh-tokoh Gereja menentukan gereja mana yang akan mendapat ketujuh ijin tersebut dan di mana lokasinya. Juga disampaikan bahwa 10 unit gereja mau dimusnahkan. Pdt Erde Berutu dari GKPPD minta hanya 4 tapi tidak disetujui. Pdt. Erde meminta lagi supaya 10 gereja itu jangan dihancurkan tapi dialihfungsikan menjadi tempat musyawarah atau menjadi rumah, dll. Juga tidak diterima. Rapat ini mengalami deadlock sehingga harus dilanjutkan malam hari pukul 20.00 di GKPPD Kuta Kerangan, Setelah rapat di kantor Polres berakhir ada pertemuan tertutup antara Pdt. Erde dengan Pangdam, Kapolda dan Bupati.
“Rapat di GKPPD Kuta Kerangan yang direncanakan pukul 20.00 akhirnya terealisasi pukul 22.00 karena harus menunggu tokoh gereja yang belum hadir. Hadir: tokoh-tokoh agama dari semua gereja juga Pdt. Penrad Siagian utusan PGI Pusat dan seorang utusan Komnas HAM. Dari Katolik, hadir Dennis, Arnol Sinambela, Viksen Tumanggor, Laher Manik, Sudianto Bancin & perwakilan Stasi Mandumpang (Keuskupan Agung Medan). Agenda: agar menerima usulan Pemkab tentang tambahan ijin untuk 7 gereja dan menentukan manakah gereja yang akan mendapat ketujuh ijin itu. Sdr Dennis mempertanyakan mengapa rapat harus dipaksakan sekarang. Pdt. Erde menjawab rapat harus terlaksana karena Pangdam dan Pemkab Aceh Singkil besok harus mendapat jawaban dari pihak gereja-gereja.
“Pihak Katolik melalui Sdr Dennis menyatakan penolakan terhadap konsep Pemkab, kita perlu mencari alternatif lain, demikian diungkapkan Dennis. Denis juga meminta agar Pdt. Erde Berutu jangan mengarahkan forum rapat untuk menerima tawaran Pemkab Aceh Singkil. Sikap kritis ini menjengkelkan Pdt. Erde Berutu sehingga ia segera menarik mikrofon dari tangan Sdr.
“Ketika perwakilan PGI Pdt. Penrad Siagian datang dan berbicara mengenai hak kita sebagai warga negara bahwa tidak ada seorang pun yang berhak untuk melarang kita beribadah, Pdt Erde Berutu juga bersikap tidak menghargai.
“Setelah melihat dinamika rapat yang sangat dipengaruhi oleh Pdt. Erde Berutu dan cenderung menerima draf dari Pemkab Dennis berbicara untuk kedua kali dan menegaskan bahwa Gereja Katolik menolak draf Pemkab dan segala hasil kesepakatan dalam rapat ini. Di sinilah seorang peserta mengancam akan membunuh Sdr Dennis. Setelah itu Sdr Dennis, Arnol Sinambela & Viksen Tumanggor (utusan resmi Gereja Katolik) menyatakan walk out (keluar) dari rapat.
“Namun sangat disayangkan 2 orang umat Katolik (Laher Manik & Sudianto Bancin yang bukan utusan resmi Gereja Katolik) tetap bertahan dalam ruang rapat. Hasil rapat: menerima draf dari pemerintah yakni menambah 7 ijin bangunan Gereja, Gereja Katolik mendapat jatah 1 tetapi belum ditentukan stasi yang mana.
Jumat, 16 Okt 2015
Siang hari kembali diadakan rapat di Kantor Bupati Singkil melanjutkan rapat malam sebelumnya. Hadir Kapolda Aceh, Pangdam Aceh, Bupati Aceh Singkil, Ketua DPRK, Dandim Singkil dan utusan gereja-gereja. Tidak ada wakil Muslim. Dari pihak Gereja Katolik kembali hadir dua orang yang bukan utusan Gereja Katolik, Laher Manik mantan vorhanger stasi Sukamakmur & Sudianto Bancin (mantan vorhanger Napagaluh). Agenda rapat: menetapkan gereja-gereja mana yang boleh berdiri (mendapat ijin dari pemerintah) dan mana yang harus dibongkar. Rapat “menyepakati” tambahan ijin untuk 7 gereja: GKPPD Dangguran, GKPPD Siatas Partabas, GKPPD Sanggaberu, JKI Kuta Kerangan, HKI Sukamakmur, Katolik Sukamakmur & Gereja Ekumene Mandumpang (akan dibangun Pemkab Singkil dan digunakan bersama oleh beberapa lembaga Gereja termasuk Katolik). 10 Gereja yang akan ditertibkan dalam arti dibongkar adalah:
1.    Katolik Mandumpang
2.    Katolik Napagaluh
3.    Katolik Lae Balno
4.    GKPPD Siompin
5.    GKPPD Kutatinggi
6.    GKPPD Tuhtuhan
7.    GKPPD Situbuhtubuh
8.    GKPPD Sanggaberru
9.    GMII Sompin
10.    GMII Sigarap
Menurut Sudianto Bancin yang hadir dalam rapat di kantor Polres (15 Okt) & di kantor Bupati (16 Okt):
“Diharapkan oleh Pemkab umat Gereja sendiri yang membongkar gerejanya, bila tidak aparat yang akan membongkar. Gereja yang dibongkar akan mendapat ganti rugi dari pemerintah.
“Dalam kedua rapat bersama pemerintah dan jajarannya itu tidak ada dibahas bagaimana dan di mana umat beribadah setelah 10 gereja dibongkar.
“Notulen rapat diminta untuk ditandatangani oleh semua peserta rapat yang dianggap sebagai representasi lembaga gereja masing-masing. Namun tidak ada diberikan kopi notulen kepada para penandatangan.
Juga tidak ada surat resmi dari Pemkab Aceh Singkil sebagai pengundang rapat untuk menyampaikan hasil rapat secara hitam di atas putih kepada gereja-gereja sampai Risalah ini disusun. Dari pihak Katolik kedua orang yang bukan utusan itu turut menandatangani notulen.
Sore hari Bupati Aceh Singkil datang ke Paroki Tumba-Manduamas menjemput pengungsi di Tapteng untuk pulang ke kampung masing-masing. Turut hadir dalam acara pemulangan pengungsi: Kapolda Aceh, Wakil Pangdam Iskandar Muda, Kapolres Aceh Singkil, Dandim Singkil, Ketua DPRK Aceh Singkil, Bupati Tapteng, Kapolres Tapteng, Dandim 02 Tapteng, perwakilan Komnas HAM, BKAG Tapteng, para pendeta HKI, GKPPD, dll, Vikjen Keuskupan Sibolga, Pastor Paroki Tumba-Manduamas, Kustos Kustodia Kapusin  Sibolga, DPPI & DPSI.  Sementara Wakil Bupati beserta jajarannya datang ke Sibagindar Pakpak Bharat untuk menjemput pengungsi di sana. Jumlah pengungsi yang menginap di kompleks Paroki Tumba-Manduamas 2.473 orang terdiri dari: perempuan 1.223, laki-laki 1.250. Usia 0-5 tahun 305 orang,  usia 6-16 tahun  687 orang, usia 17-50 tahun 1.203 orang, usia 50 tahun ke atas 278 orang. Sementara di Sibagindar ada sekitar 1.200-an pengungsi. Ditambah dengan warga yang mengungsi ke rumah sanak family diperkirakan sekitar 5.000-an warga Aceh Singkil yang mengungsi ke Tapteng dan Pakpak Bharat.
Beberapa pernyataan para pejabat dalam acara penjemputan pengungsi:
Bupati Singkil: menjamin keamanan pengungsi untuk pulang ke rumah masing-masing. Anak-anak dijamin untuk kembali bersekolah dengan aman. Untuk masalah gereja akan dilakukan penertiban (cetak tebal dari penyusun risalah) dan akan diterbitkan surat ijin yang fundamental untuk gereja-gereja.
Bupati Tapteng: terimakasih untuk kerja sama yang baik dalam menangani pengungsi.
Vikjen Keuskupan Sibolga: meminta agar pemerintah memberi santunan kepada keluarga korban yang meninggal & pelayanan kesehatan yang baik kepada korban luka-luka. Meminta bupati, presiden & seluruh jajaran pemerintah untuk memfasilitasi pemberian ijin pendirian gereja-gereja di Aceh Singkil karena itu adalah hak asasi kita dan di gereja kita beribadah bukan berbuat macam-macam.
Malam hari seusai makan malam, para pengungsi pulang ke kampung masing-masing diantar oleh kendaraan-kendaraan milik TNI dan Polisi.

Minggu, 18 Okt 2015
Tim PUSPAS dari Sibolga: P. Yanto Oly, Elvina Simanjuntak, Dennis Simalango dan Hadamean Tumanggor bergereja di Stasi Napagaluh Aceh Singkil, merayakan Misa terakhir kali di gedung gereja itu sebelum dibongkar Pemkab Singkil. Ikut bergabung di sana umat dari Stasi Lae Balno.
Dalam Misa Vorhanger Napagaluh membacakan pengumuman bahwa berdasarkan keputusan Pemkab Aceh Singkil akan diadakan penertiban/pembongkaran gereja-gereja yang tidak memiliki IMB, termasuk Napagaluh.
Usai Misa ada dialog dengan umat dimoderatori Ketua Rayon 3 Santen Pasaribu (ketiga stasi di Aceh Singkil merupakan bagian dari Rayon 3 Paroki Tumba-Manduamas). Dennis Simalango dari Komisi KPKC dan Sudianto Bancin memberikan informasi tentang rapat-rapat yang berlangsung dengan pemerintah serta gereja-gereja yang ada di Aceh Singkil. Sudianto Bancin adalah salah satu dari dua umat Katolik yang hadir dalam 2 rapat penting di kantor Polres (15 Okt) dan kantor Bupati (16 Okt) tapi bukan utusan resmi Paroki.
Sore hari, rapat di pastoran Tumba-Manduamas dipimpin pastor Paroki, P. Alpons Pandiangan. Hadir: DPPI, para vorhanger & pengurus Stasi Napagaluh & Lae Balno serta Tim PUSPAS. Pengurus Stasi Sukamakmur tidak hadir, termasuk Laher Manik yang diundang khusus oleh pastor Paroki. Sudianto Bancin hadir. Kesepakatan:
1.    Tim Paroki/Keuskupan Sibolga akan bertemu Bupati Aceh Singkil untuk berdialog.
2.    Setelah pembongkaran gereja umat Lae Balno & Napagaluh akan beribadah di rumah-rumah malam hari (menurut kebiasaan di Aceh Singkil ibadah di rumah bagi umat Kristen pada malam hari biasanya diperbolehkan). Dengan situasi ini umat kita kembali menjalani situasi Gereja Perdana.
3.    Pilihan terakhir, jika tidak ada peluang lagi membangun gereja, untuk stasi Lae Balno & Napagaluh akan dibangun gereja di perbatasan Aceh Singkil-Tapteng.

Senin, 19 Okt 2015
“Berdasarkan lobi dengan Bupati Aceh Singkil (oleh P. Rantinus Manalu melalui Bupati Tapteng), Bupati menyatakan bersedia bertemu dengan tim dari Keuskupan Sibolga, Senin 19 Okt 2015 pagi hari di kantor Bupati. Tim yang berangkat: Vikjen, P. Doni Ola, Pastor Paroki Tumba Manduamas, P. Alpons Pandiangan, beberapa staf PUSPAS: P. Yanto Oly, Elvina Simanjuntak, Dennis Simalango, anggota DPPI Romauli Marbun dan Vorhanger Lae Balno Arnol Sinambela.
“Namun tim Keuskupan tidak berhasil bertemu Bupati meski sudah datang dua kali ke kantor Bupati. Menurut resepsionis kantor Bupati, mereka diminta untuk menyampaikan kepada semua tamu yang datang hari ini bahwa Bupati sedang di lapangan untuk pembongkaran gereja-gereja.
“Dalam perjalan pulang tim Keuskupan mendapat kabar dari umat Stasi Mandumpang bahwa pada hari itu telah dibongkar 3 gereja yakni: Gereja Katolik Stasi Mandumpang (bagian dari Keuskupan Agung Medan), Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) dan Gereja Misi Injili Indonesia (GMII) di desa Siompin. Petugas yang membongkar adalah Satpol PP dengan dikawal polisi dan tentara.

Catatan Penutup
Peristiwa Aceh Singkil adalah sebuah tragedi sejarah yang memilukan. Ada intrik, ada pemaksaan kehendak, ada kelalaian,  ada kekerasan, ada kemunafikan, ada pembongkaran, ada duka, tangisan dan ada kematian. Dari seluruh rangkaian kejadian, tiada tampak suatu pendekatan Damai nan beradab. Warna utama kejahatan masih saling berkelindan.
Bila di Tolikara Papua Mentri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo bergegas meletakan batu pertama untuk membangun kembali masjid yang dibakar, untuk gereja-gereja di Singkil ternyata berbeda. Bukan batu pertama pembangunan kembali, tapi palu pertama pembongkaran. Inikah kado indah yang bisa didapat umat Kristiani atas 1 tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla?
Apakah ada Kearifan yang diwariskan para pelaku sejarah terkini Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam untuk para generasi muda demi menatap Aceh Singkil di masa depan? Sepertinya tiada yang didapat. Usai pembakaran gereja, usai pembunuhan anggota perusuh, usai pembongkaran gereja yang dilakukan oleh Satpol PP, difasilitasi oleh pemerintah dan yang disaksikan serta dijaga oleh Tentara dan Polisi, meneguhkan kesadaran saya bahwa yang tertinggal hanyalah luka, dan lingkaran setan saling memberangus. Negara masih jahat terhadap warganya.

Sibolga, 20 Oktober 2015, satu tahun pemerintahan Jokowi-JK
Dikeluarkan oleh
PUSAT PASTORAL KEUSKUPAN SIBOLGA
Pastor Doni Ola Dominikus
Direktur