EXPONTT.COM – Sejumlah nelayan di wilayah Pulau Timor, Rote, Alor dan sebagian Flores menang dalam perkara pencemaran Laut Timor yang terjadi sejak tahun 2009. Kemenangan ini diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Federal Australia di Sydney.
Hal ini diungkap Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni dilansir dari ANTARA di Kupang, Jumat 19 Maret 2021.
“Rakyat NTT menang dalam perkara pencemaran Laut Timor. Satu jam yang lalu Pengadilan Federal Australia di Sydney sudah memberikan putusan atas perkara ini,” ujar Ferdi.
Kasus pencemaran Laut Timor ini sudah terjadi kurang lebih 12 tahun. Saat kejadian tersebut Ferdi terus menerus berusaha agar pemilik kilang minyak dalam hal ini PTTEP Australasia harus mengganti rugi kerugian akibat tumpahan minyak yang terjadi saat itu.
Ferdi mengatakan bahwa dirinya tak henti-hentinya mencari bantuan agar pihak PTTEP Australasia memberikan ganti rugi dan pada 2016 pihaknya mendapatkan bantuan untuk perkara tersebut.
“Jadi kurang lebih untuk perkaranya kami perjuangkan selama 4 tahun di Pengadilan Tinggi Federal Australia,” tambah Ferdi yang juga Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara itu
Dalam sidang putusan yang dipimpin oleh hakim tunggal David Yates dan pengacara Ben Slade dari Maurice Blackbun yang terjadi di Sydney tersebut masyarakat NTT diwakili oleh Daniel Sanda seorang nelayan dari Rote Ndao yang memang merasakan langsung dampak dari pencemaran laut Timor tersebut.
Daniel Sanda mewakili 15.800 masyarakat di NTT yang selama ini mengalami kerugian akibat tumpahan minyak dari kilang minyak Montara yang merusak ratusan hektar budidaya rumput laut bahkan mempengaruhi kesehatan nelayan di NTT.
Ferdi menambahkan bahwa dengan kemenangan itu, maka Daniel Sanda mendapatkan ganti rugi kurang lebih mencapai Rp500 juta. “Sisanya 15 sekian ribu orang lagi ini masih kami hitung per orangnya berapa yang harus diganti oleh pihak PTTEP,” tambah dia.
Lebih lanjut, kata dia, luasan perairan laut yang tercemar menurut data hasil investigasi tim Australia yang dirujuk oleh YPTB kurang lebih mencapai 90 ribu kilometer persegi dan sebagai 70-80 persen wilayah yang tercemar berada di wilayah Indonesia dan berdampak pada kerusakan lingkungan.
Menurut dia, penderitaan akibat pencemaran itu dirasakan di 13 kabupaten dan Kota di NTT mencapai lebih dari 100.000 mata pencaharaian rakyat, puluhan orang meninggal dunia, banyak yang sakit, puluhan ribu terumbu karang hancur di Laut Sawu, dan puluhan ikan paus terdampar dan ratusan ekor mati.
Penulis buku “Skandal Laut Timor: sebuah barter politik ekonomi Canberra-Jakarta?” itu juga menambahkan bahwa kemenangan masyarakat NTT ini juga berkat bantuan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia Luhut Binsar Pendjaitan.
“Saya sampaikan terima kasih kepada pak Menko Maritim pak Luhut Binsar Pendjaitan yang selama ini membantu kami dalam hal penyelesaiaan perkara ini,” tambah dia.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyambut baik putusan ini. Dia mengatakan, mulanya Satuan Tugas dibentuk oleh Kemenko Marves pada Agustus 2018.
Satgas yang saat itu dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Purbaya Yudhi Sadewa, bertugas menyatukan pandangan pemerintah dan nelayan di Laut Timor yang menjadi korban tumpahan minyak tersebut.
“Kami mengumpulkan data dan bukti yang dibutuhkan agar kami punya dasar yang kuat di pengadilan. Setelah itu, Satgas datang berdialog dengan otoritas terkait tentang kasus ini, serta mendukung secara maksimal gugatan yang diajukan masyarakat NTT ke pengadilan federal Australia,” ungkapnya.
Baca juga: Gonjang-Ganjing Partai Politik Di Tanah Air
Data kualitas air serta data dari dampak kerugian sosial ekonomi yang ditanggung masyarakat di wilayah Timor Barat. Satgas juga membantu koordinasi pengiriman ahli-ahli dari lembaga peneliti terkemuka di Indonesia untuk menjadi saksi di sidang pengadilan di Australia.Purbaya menyebut, data yang dikumpulkan Satgas untuk menjadi dasar tuntutan tersebut adalah data dari citra satelit LAPAN, data sampel minyak di Pulau Rote.
“Kasus ini amat penting untuk Indonesia. Kemenko Marves melakukan koordinasi secara maksimal untuk memastikan segala sumber daya yang ada untuk dijadikan dasar gugatan, agar masyarakat NTT menang di pengadilan Australia,” kata Purbaya.
Lebih lanjut dia mengatakan, kasus ini berawal dari tumpahan minyak yang terjadi pada pada 21 Agustus 2009 saat anjungan minyak di lapangan Montara milik perusahaan asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP), meledak di lepas landas kontinen Australia.
Tumpahan minyak dengan volume lebih dari 23 juta liter mengalir ke Laut Timor selama 74 hari. Tumpahan minyak itu juga berdampak hingga ke pesisir Indonesia. Luas tumpahan diperkirakan mencapai kurang lebih 92 ribu meter persegi.Satgas menemukan ada 13 kabupaten di NTT yang terkena dampak dari kasus Montara.
Sementara itu, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanone yang juga anggota Satgas mengatakan ia sudah dihubungi oleh pengacara yang mewakili di Pengadilan siang tadi.
“Saya menyambut baik putusan pengadilan ini. Selanjutnya kami sedang menunggu sikap dari PTTEP,” katanya.
*