Revolusi Hijau Ala LPA Kabupaten Kupang

Jhon Nome
Jhon Nome

Oleh: Amaf Yorhan Yohanis Nome, SH.,MHum.
Dekan Fakultas Hukum Undana Kupang

Lembaga Pemangku Adat (LPA) Kabupaten Kupang, didirikan oleh Raja Kupang, Raja Amarasi, Raja Amfoang, dan Raja Fatuleu pada tanggal 25 Maret 2015 berbadan hukum dengan akta notaris. Kemudian, tanggal 5 Juni 2015 LPA Kabupaten Kupang menggelar Musyawarah Agung I untuk memilih dan mengukuhkan struktur organisasinya dalam bentuk skretariat jenderal dan segenap perangkatnya. LPA Kabupaten Kupang hadir dengan mengusung visi: Memperkuat ikatan persaudaraan untuk membangun Kabupaten Kupang dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Misi:
(1) meneguhkan dan memperkokoh persaudaraan dalam suatu ikatan budaya, (2) membuka ruang ekspresi budaya, (3) meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat adat, (4) memperkuat dan mengembangkan ritual-ritual budaya, dan (5) memperkuat struktur budaya. Intinya, yakni menjadi wadah ekspresi dan partisipasi kesatuan masyarakat hukum adat dalam pembangunan di Kabupaten Kupang.
LPA Kabupaten Kupang, secara kelembagaan memang baru, namun kiprah kesatuan masyarakat hukum adat yang tergabung dalam Kerajaan Kupang, Kerajaan Amarasi, Kerajaan Amfoang, dan Kerajaan Fatuleu dalam pembangunan sudah setua usia Kabupaten Kupang itu sendiri. Untuk itu, berkenaan dengan revolusi hijau yang mulai digulirkan 1968 untuk meningkatkan produktivitas padi, yang sejatinya mengadopsi kisah sukses di Taiwan dan Mexico sebelumnya, LPA Kabupaten Kupang melalui jargon melangitkan apa yang ada di bumi, dan membumikan apa yang ada dilangit berupaya mengadaptasinya sesuai kondisi lokal di Kabupaten Kupang.

1.ayub titu eki tanam.jpd
Proses adaptasi suatu gerakan nasional yang telah dilansir dalam bentuk kebijakan negara, menjadi sangat penting. Oleh karena, hakikat dari revolusi hijau yakni ketahanan pangan yang diawali dari produktivitas pangan. Suatu upaya negara yang sangat positif, namun tidak dapat diterjemahkan secara linear untuk setiap tempat dan waktu. Untuk Kabupaten Kupang, kondisi lahannya yang relatif gersang dengan curah hujan yang singkat dan minim, maka pendekatan revolusi hijau yang berbasis padi sawah jelas kurang maksimal mencapai tujuannya.
Pendekatan berikut yang dalam jangka pendek memberi dampak signifikan bagi ketahanan pangan di Kabupaten Kupang, yakni diintrodusirnya berbagai varietas unggul baik padi maupun jagung. Produktivitas pertanian tanaman pangan untuk kedua jenis ini memang mampu didongkrak secara instan. Akan tetapi, tanpa sadar, petani mulai digiring memasuki pola pertanian yang diklaim modern, namun justru menjadi lahan subur para pemodal dari balik idiologi kapitalisme-neoliberal. Petani menjadi hilang kedaulatannya atas pangan yang menjadi hasil produksi mereka sendiri.
Paling tidak, secara kasat mata, petani menjadi tergantung pada bibit yang katanya unggul namun hanya bisa digunakan 1 (satu) kali musim tanam, plus juga harus ditunjang dengan penanganan khusus pra tanam, tanam, dan pasca panen. Suatu mata rantai yang harus dijaga extra ketat, agar tidak terganggu. Manakala, salah satu saja terganggu, maka sudah dapat ditebak, petani akan menderita kerugian. Padahal, sebelumnya petani dengan pola pertanian yang katanya tradisional, dengan mengandalkan bibit yang telah adaptif secara turun temurun dan dapat digunakan berkali-kali tanpa batas, plus tidak membutuhkan penanganan khusus. Lebih daripada itu, petani tidak kehilangan kedaulatannya atas pangan yang diproduksinya.
Ke arena idiologi kapitalisme-neoliberal yang telah mengkooptasi kedaulatan petani atas produksi pangannya tersebut, LPA Kabupaten Kupang berupaya menghimpun dan menyatukan segenap potensi unggul yang ada untuk mendudukan kembali sistem ekonomi kerakyatan pada sektor pertanian berbasis kontrak sosial Pasal 33 UUD NRI 1945. Sampai di sini, LPA Kabupaten Kupang hendak melangitkan apa yang ada di bagian bumi cendana. ♦