Opini  

Kapan Merdeka ?

WJR bersama Ahok

Agustus identik dengan kebebasan dan kemerdekaan. Setiap 17 Agustus, sejak 1945, Pemerintah Indonesia dan rakyatnya merayakan peringatan Hari Proklamasi kemerdekaan oleh Sang Proklamator Soekarno dan Bung Hatta. Rentangan waktu 17 Agustus 1945-17 Agustus 2015 terbilang lama. Ibarat manusia, usianya sudah terbilang tua, 70 tahun.
Jika usia sudah tua, artinya tata kehidupan berbangsa dan bernegara pun sudah mapan. Pemimpin Indonesia seharusnya lebih bijak bestari. Kenyataannya tidak sesuai harapan para pendahulu, yang sudah mengorbankan dengan darah dan derita memerdekakan Indonesia. Suasana bahkan kian amburadul. Pemerintah tidak becus negeri ini.
Pejabatnya tidak punya niat hati yang tulus melakukan perubahan, tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, petinggi negeri selaku pengambi kebijakan dari pusat sampai daerah dalam gaya kepemimpianannya cenderung korup, curi uang Negara yang bersumber dari APBN atau APBD. Yang ramai diwartakan media bukan program pemberdayaan dan kesejahteraan, tetapi hangat diwartakan media secara meluas yaitu persoalan kriminalisasi pejabat yang jujur, saling merusak sesame pejabat hukum.
Hampir seluruh sendi kehidupan sudah dicemari oleh tindakan pidana. Pelakunya bukan orang bodoh, orang yang mengenyam pendidikan, tetapi dilakukan pejabat penting, petinggi negeri yang punya peran menegakkan hukum. Rakyat terkesan dikesampingkan, kemiskinan dirawat, kerusakan infrastruktur dibiarkan terlantar agar bisa diproyekan secara bersinambung.
Rakyat Indonesia, untuk saaat ini hidup dalam suasana mencekam. Rakyat Indonesia yang tinggal di negeri yang sudah berusia 70 tahun, tidak merasa nyaman. Hak rakyat dirampas kaum yang rakus dan tamak. Dana APBN, APBD yang dialokasikan untuk proyek pemberdayaan masyarakat justeru di korup pejabat selaku kuasa pengguna anggaran atau pejabat yang punya kuasa.
Gubernur, bupati dan walikota seharusnya pejabat yang punya tugas utama mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya, namun justeru melakukan perbuatan dan tindakan memalukan. Terkini, Gubenur Sumatera Utara (Sumut), Gatot Pujo Nugroho bersama istri keduanya, Evi Susanti ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin 3 Agustus 2015. Akibat perbuatannya Gatot dan isterinya harus mendekam dibalik terali besi. Suasana hidup berubah dalam sekejap. Tadinya berkuasa dan berwibawa, punya banyak duit dan menikmati hidup mewah, kini harus menjadi pesakitan. Ini hanya contoh kasus paling kini.
Sudah tak terhitung, pejabat yang juga kader partai yang dijebloskan ke penjara bersama isteri hanya karena kasus mencuri uang Negara. Rakyat Indonesia, hingga kini, di Negara yang usianya sudah 70 tahun masih hidup dibawa garis kemiskinan dan kemelaratan. Bukan rahasia umum, orang tua tidak mampu membiayai anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, keluarga sakit tidak mendapat perawatan yang memadai.
Presiden mengumbar janji dengan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sejahtera, dan beragam kartu, tetapi tidak berdampak nyata. Rakyat justeru menjadi korban akibat kebijakan pejabat tinggi. Terakhir, MUI melansir warta, BPJS atau Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan adalah program haram. Benar adanya, karena pemerintah memungut dana sesuai kelas, tetapi dalam pelayanan BPJS justeru menyengsarakan pasien.
Rakyat Indonesia harus menikmati derita tanpa batas. Jokowi Presiden Indonesia, justeru mendapat cercaan dan hinaan. Pejabat yang berani mengambil kebijakan justeru diupayakan untuk digusur. Seperti Gubernur DKI Jakarta Ahok. Pejabat tidak tegas dan berani mengambil kebijakan dan keputusan. Contoh kecil, yang saya alami sendiri Senin 3 Agustus 2015 kemarin.
Gubernur NTT mengundang Uskup Agung Ende dan Uskup Ruteng termasuk pejabat dan tokoh masyarakat, untuk membahas dan sesuai draft mengambil keputusan akhir masalah sengketa perbatasan Manggarai Timur- Ngada. Hasilnya nihil dan bahkan menghasilkan pertemuan lanjutan. Apakah yang dimaksud dengan sebuah rapat dengan mengundang orang penting bahkan pemimpin gereja?
Gubernur tidak mampu mengambil kebijakan dan keputusan final. Hanya mampu menghasilkan keputusan yang mengabang. Rakyat diperbatasan harus mengalami risiko, hidup dalam suasan ketidakpasitan, hidup dalam suasana mencekam karena harus mendapat terror dari orang-orang tertentu. Terlalu banyak sandiwara yang dibuat petinggi di negeri ini dan tentu tidak mungkin dilukiskan di media yang sangat terbatas ini. Kesimpuan, bahwa rakyat Indonesia khususnya kelas bawa dan rakyat jelata, belum menikmati arti kemerdekaan itu sendiri. Rakyat Indonesia saat ini bukan dijajah penjajah dari Negara lain tetapi oleh orang Indonesia sendiri.
Lalu kapan Indonsia menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya sesuai dengan amanat Pancasila dan  UUD 1945 yang dibacakan Soekarno-Hatta 17 Agustus 1945? Ya,… tanya saja pada rumput yang bergoyang. Mungkinkah harus tanya rakyat atau referendum apakah harus revolusi? Sebab, revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi pada masa kampanye sampai kini belum membuahkan hasil nyata. Terjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan pembuat gagasan.
Agustus adalah bulan istimewa bagi Republik Indonesia. Di bulan ini, kemerdekaannya diproklamasikan oleh Soekarno–Hatta. Ketika itu, tahun 1945, Indonesia adalah sebuah wilayah porak-poranda karena pertempuran Sekutu versus Jepang.
Bila sekarang orang makin malas memperingati peristiwa sangat bersejarah itu, tentu bukannya tanpa alasan. Salah satu alasannya adalah krisis kepercayaan kepada para pengelola negara dan penegak hukum. Mereka sudah bosan dijejali janji hebat, sementara penegakan hukum makin tak jelas, korupsi tetap merejalela, dan kesenjangan kaya-miskin menggila.
Konfrontasi antara Mabes Polri versus penggiat anti korupsi tentu juga membuat masyarakat makin kehilangan kebanggaan. Apalagi konfrontasi ini juga mempertontonkan bahwa Polri sudah tidak lagi berada di bawah koordinasi presiden. Sementara itu, kegaduhan suap-menyuap yang melibatkan aparat penegak hukum juga tak kunjung reda.
Rangkaian kenyataan di atas jelas membuat masyarakat makin gundah. Mereka menjadi tak yakin pada masa depan negara dan dirinya sendiri. Situasi ini tentu saja diperparah oleh menjamurnya ‘ningrat politik’. Yakni keluarga-keluarga kaya, yang menguasai percaturan politik dari tingkat pusat sampai kampung.
Saya sengaja mengutip sepenggal berita dibawah ini dari portal indoesianreview, Kaum ningrat baru tersebut membuat masyarakat bagai sekadar pelengkap penderita. Mereka cuma menjadi penonton di arena politik yang didominasi sekelompok kecil orang berduit tersebut. Celakanya lagi, mereka tak bisa berbuat apa-apa menyaksikan para ningrat baru tersebut kian bergelimang kekayaan.
Lihat saja anggota DPR dari Golkar, Bambang Soesatyo, yang memiliki koleksi mobil supermewah. Di antaranya adalah  Bentley, Hummer, Land Rover, Mercedes Benz, Toyota Alphard, plus sepeda motor Harley Davidson. Sementara itu mantan Presiden BJ Habibie memiliki 40 Mercedes Benz. Paling tak ternilai adalah 300SL Coupe atau Gullwing, yang hanya diproduksi 100 unit dan sekarang tinggal dua di dunia.
Bambang Soesatyo dan Habibie hanya sebagian kecil dari politisi kaya raya. Lihat saja kekayaan keluarga Atut Ratu Chosiah yang menguasai arena politik dan proyek pemerintah di propinsi Banten. Atau bupati Bangkalan, Jawa Timur,  Fuad Amin, yang terjerat kasus korupsi jual-beli gas alam. Meski hanya berkuasa dari Oktober 2010 sampai Februari 2013, kekayaan Fuad, menurut jaksa, mencapai lebih dari Rp200 miliar.
Masyarakat yang tidak bisa berbuat apa-apa sesungguhnya paham betul bahwa para ningrat politik yang sedang naik daun punya hubungan sangat kental dengan dunia bisnis. Bahkan banyak dari mereka adalah pebisnis yang terjun ke politik. Ada pula yang menjadi pebisnis setelah berpolitik. Sedangkan para pendatang baru, biasanya suka berkongkalikong dengan para pebisnis untuk berburu harta dan tahta.
Semua itu membuktikan apa yang pernah dikatakan oleh Bung Karno, perjuangannya di masa penjajahan lebih ringan karena yang dihadapi adalah bangsa lain. Di era kemerdekaan, kata Bung Karno, lebih sulit karena yang dihadapi adalah bangsa sendiri. Bung Karno sendiri akhirnya menjadi korban dari bangsanya sendiri.
Proklamator kemerdekaan yang pernah dibuang sampai tiga kali oleh rezim kolonial Belanda ini mengakhiri hidupnya seperti binatang. Menurut kesaksian istrinya, Ratna Sari Dewi, selama menjadi tahanan rumah sampai akhir hayatnya, kesehatan Bung Karno dipercayakan kepada seorang dokter hewan. Gilanya lagi, Bung Karno juga dicap sebagai “pengkhianat bangsa” oleh penggantinya, yang di masa penjajahan justeru menjadi tentara Belanda.
Berkat kembalinya demokrasi di Indonesia pada 1998, nama Bung Karno kembali diharumkan. Pada 2012 lalu, Presiden SBY menganugerahi Bung Karno dan bekas wakil presiden Mohamad Hatta gelar Pahlawan Nasional. Demokrasi juga membuat putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, berkongsi politik dengan mantan tokoh penggiat anti Bung Karno di Makasar, Jusuf Kalla.
Sayangnya, demokrasi yang pernah sangat diharapkan akan membawa Indonesia menuju masa depan lebih baik, makin dipertanyakan kedigdayaannya. Apalagi kini tak ada lagi tokoh nasional yang sanggup mengobarkan nasionalisme ke segala penjuru negeri. Belakangan ini, yang tumbuh subur malah para tokoh penebar kebencian, yang membuat Indonesia menjadi langganan kerusuhan.
Mereka suka mengobarkan separatisme, mempertentangkan agama dengan kebudayaan, antara sebuah agama dengan agama lain, antara satu suku dengan suku yang lain, antara satu kampung dengan kampung yang lain. Bagi mereka, seolah Indonesia tidak ada.
Kenyataan yang memprihatinkan ini jelas harus diakhiri secepatnya. Agar jangan sampai kita terpaksa berucap “sekali merdeka lalu mati!.” Bangsa Indonesia harus berpegang teguh pada semboyan para pejuang kemerdekaan,  ” Sekali merdeka tetap merdeka!” Saya hanya menarik nafas panjang….. kapan semua ini berakhir…..!

wjr