Oleh: Philipus Max Jemadu
Mahasiswa Magister Hukum Bisnis FH UGM
Sepandai-pandainya diupayakan, pun secanggih-canggihnya teknologi, seorang Petani senantiasa berharap pada alam akan hasil panennya. Seperti itu pula perbankan sebagai most heavily regulated industries, sekalipun dengan the five C’s of credit yang meliputi character, capital, capacity, collateral, dan condition of economy, pihak Bank (loan officer) akan selalu menemui zona subjektifnya; “semoga Debitur ini akan melunasi pinjaman lengkap dengan bunganya tepat waktu”. Namun bagaimana jika risiko dari ratio tersebut kemudian justru diadili, ataukah bagaimana semestinya mengadili?
Risiko Kredit (Credit Risk)
Konsekuensi yang kurang menyenangkan dari suatu tindakan, itulah yang kita sebut dengan risiko. Pada dunia jasa keuangan/ perbankan misalnya, keberadaan dari risiko kredit diakui (bahkan) secara yuridis normatif. Hal tersebut dapat ditemukan dalam Peraturan Bank Indonesia No.11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, bahwa “Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa (events) tertentu”. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa “Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan debitur dan/ atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank”. Dalam prakteknya sebagaimana dikatakan oleh Alan N. Peachey (2007), bahwa dengan cara yang sama saat bank meminjamkan uang kepada nasabah, terdapat risiko bahwa nasabah itu akan gagal membayar kembali pinjamannya.
Perkreditan
Kata kredit itu sendiri berasal dari kata credo yakni “saya percaya”, demikian hubungan perkreditan bank dengan Nasabah Debitur dilandasi oleh prinsip kepercayaan (fiduciary principle). Hal tersebut yang kemudian ditemukan pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang menyatakan “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Lebih lanjut dijelaskan oleh Nindyo Pramono (2006), bahwa bank wajib mempunyai keyakinan, berarti bank wajib secara hati-hati memutuskan untuk memberikan kredit kepada nasabah debitur karena dana yang akan disalurkan melalui kredit tersebut adalah dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya.
Oleh Otoritas, Bank juga diwajibkan memiliki ketentuan self regulatory banking, salah satunya ialah pedoman kebijaksanaan perkreditan. Di mana dalam melaksanakan kegiatan perkreditan perlu memiliki dan menerapkan unsur prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organisasi dan manajemen perkreditan, kebijaksanaan persetujuan kredit, dokumentasi dan administrasi kredit, pengawasan kredit dan penyelesaian kredit bermasalah (BPI 2014).
Paradigma Usaha/ Bisnis
September kemarin Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan penafsiran mengenai kekayaan Negara yang dipisahkan yakni modal BUMN/ BUMD adalah termasuk rezim keuangan Negara. Hal demikian mempertegas aspek pengawasan dan penindakkan yang erat kaitannya dengan pemberantasan Tipikor pada BUMN/ BUMD. Walaupun demikian, penegasan MK tersebut sesungguhnya bukan saja akhir dari sebuah perdebatan besar, melainkan awal yang telah membawa kita pada fase konsekuensi pencarian solusi terhadap persoalan baru yang bermunculan.
Salah satu dampaknya ialah pada risiko kredit perbankan, yang dalam hal ini kredit macet pada lingkup Bank BUMN/ BUMD. Perlu diingat bahwa jauh sebelum putusan MK tersebut dibacakan, pada tahun 2007 perbankan Indonesia sempat dikejutkan lewat kasus pemberian kredit oleh salah satu Bank besar “pelat merah” yang kemudian beberapa orang diputus bersalah sebagai pelaku Tipikor oleh Mahkamah Agung (MA).
Beranjak dari fenomena tersebut hingga realita kekinian yang seolah menunjukan terdapat paradigma yang kaku; memandang kredit macet pada Bank BUMN/ BUMD serta merta sebagai kerugian Negara hingga pidana korupsi, maka untuk menyudahi kesenjangannya dengan risiko yang melekat pada kredit dibutuhkan suatu penyatuan persepsi/ sebuah paradigma penegakan hukum yang proporsional yang juga memperhatikan seluk beluk kegiatan usaha perbankan serta cara dan proses melaksanakan kegiatan usahanya. Oleh karena itu sebagaimana ditegaskan oleh MK dalam Putusan No.62/PUU/XI/2013, bahwa dalam mengawasi BUMN/ BUMD Persero oleh Negara, tidak lagi berdasarkan paradigma pengelolaan kekayaan Negara dalam penyelenggaraan pemerintahan (government judgment rule), melainkan berdasarkan paradigma usaha (business judgment rule). Penegasan ini juga turut merampingkan paradigma versi Putusan MA No.1144 K/Pid/2006 yang sebelumnya telah memandang pengurus atau setiap orang yang bekerja pada BUMN adalah sebagai unsur penyelenggara Negara yang diberlakukan juga padanya ketentuan penyelenggara pemerintahan.
Sebagaimana dapat dicermati bahwa dalam memberikan kredit, pihak Bank dituntut untuk memegang teguh prinsip kehati-hatian, diantaranya harus objektif, teliti, memastikan kebenaran informasi, dan terlepas dari benturan kepentingan. Sehingga dalam hal Bank telah menjewantahkannya dengan menjalankan segala mekanisme manajemen risiko kredit/ pedoman kebijaksanaan perkreditan, namun tetap saja menghadapi kredit macet hingga pada persoalan yang tak jarang menjumpai pengurusan agunan sebagai second way out, bahwa selama memenuhi pertimbangan bisnis yang matang termasuk di dalamnya itikad baik, maka sekali lagi; inilah risiko bisnis dan tidak semestinya dipidana. Dengan kata lain, selama keyakinan bank untuk memberikan kredit telah dilandasi prosedur yang sesuai maka keyakinan banklah yang akan menyelamatkan bank saat dimintai pertanggungjawaban (aansprakelijkehe). Lain hal apabila dalam kredit macet tersebut terdapat kelalaian, atau bahkan kemudian ditemukan unsur kesengajaan dari oknum bank yang bersangkutan maka harus ditindak dengan tegas!
Mengawal Optimisme Perbankan
Apabila dengan ancaman Tipikor dilakukan pengetatan prosedur pemberian kredit yang sekencang mungkin (over regulated) justru akan menciptakan Bank yang sekedar patuh, menciptakan Bank yang menjauh dari kebutuhan pasar. Demikian juga sebaliknya, kegiatan usaha Bank tidak dapat sepenuhnya mengikuti kebutuhan pasar semata yang tanpa syarat, misalkan ekspansi kredit yang melupakan kualitas dari kredit tersebut justru akan membahayakan Bank itu sendiri. Maka dari itu, sinkronisasi antara aspek kepatuhan dan pemenuhan kebutuhan pasar inilah yang menjadi sebuah harmoni sebagai paradigma awal yang digunakan dalam menyikapi perkreditan khususnya pada Bank BUMN/ BUMD.
Perbankan memiliki kedudukan strategis yang bertujuan memberikan sumbangsih besar terhadap pelaksanaan pembangunan Nasional, di sisi lain juga perlu diakui bahwa kredit macet adalah risiko dari fungsi pokok perbankan yang dapat dikendalikan dan sama sekali tidak dapat dihilangkan. Terlebih dengan kenaikan harga BBM (country risk) di penghujung tahun 2014 yang berpengaruh pada laju inflasi hingga dapat berdampak pada tingkat rasio kredit bermasalah (non performing loan) kiranya tidak menyulutkan optimisme Bank dengan adanya rel penegakkan hukum yang proporsional.
Walaupun demikian, Bank tidak boleh melupakan bahwa dirinya adalah pengelola uang masyarakat yang berarti harus berupaya menjaga kepercayaan masyarakat sebaik-baiknya. Oleh karena itu, tentunya disamping prosedur teknis perkreditan yang baik, suatu pemberian kredit patut juga dijiwai oleh credit culture yang kuat!
Sumber: www.haksuara.com
http://businessntt.com/artikel-1107-babak-baru-kriminalisasi-kredit-macet.html#ixzz3fyQpqJ3u