Opini  

Jeritan Anak dan Tragedi ‘Kekuatan’

Oleh Louis Jawa Ketua Forum Persaudaraan Pendidik (F2P) Manggarai

Media massa kini gencar memberitakan kepedulian akan anak-anak yang menjadi korban kekerasan. Kematian putri cilik Angelin menjadi tiang ingatan yang tiada henti-hentinya diserukan dan digaungkan, betapa anak-anak mestinya dicintai dan dilindungi, dan bukan sebaliknya dijadikan budak atau barang mainan yang dapat dengan seenaknya dibantai. Angelin menjadi simbol perlawanan anak pada kebisuan dan kemapanan kekuasaan orang-orang dewasa yang salah kaprah. Kekuatan fisik yang melampaui kekuatan anak-anak dijadikan sebagai cara untuk memuaskan hawa nafsu dan kebrutalannya. Inilah tragedi sebuah kekuatan. Komisi Nasional Perlindungan Anak Nasional (Komnas PA) merilis laporan bahwa ada 339 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi sepanjang Januari sampai Mei 2015 (viva.co.id 16/5/2015). Arist Merdeka Sirait selaku Ketua Komnas PA menegaskan lebih 50 persen dari 339 kasus itu adalah kejahatan seksual pada anak. Kasus lain yang juga tengah merebak ialah penjualan anak, penelantaran dan perebutan anak. Kejahatan seksual dan pelbagai kekerasan terhadap anak menjadi alarm tentang urgensitas perlindungan terhadap anak-anak dan juga pendidikan anti kekerasan di dalam rumah tangga. Budaya kekerasan di dalam lingkup keluarga dan juga dalam ranah sosial kemasyarakatan perlu dikritisi dan diubah menjadi budaya tanpa kekerasan dalam semangat belas kasih. Realita pelecehan seksual yang melanda anak-nak dan kaum perempuan menjadi keprihatinan moral universal, karena perilaku menyimpang itu telah melanggar kemurnian, keadilan dan kehormatan sosial anak dan perempuan ( Karl-Heinz Peschke, 2003: 305) . Di satu sisi, pemerkosaan adalah bentuk pembunuhan karakter paling keji atas sisi kelemahlembutan anak-anak dan perempuan yang sarat dengan kekuatan cinta kasihnya. Di sisi lain, pemerkosaan membuktikan naluri kebinatangan pelaku yang kehilangan hati nurani dan bahkan kehilangan sisi kemanusiaannya. Kemanusiaan yang hilang ketika akal budi dan hati nurani tidak lagi bekerja dengan baik. Gelombang kekerasan pada anak-anak dan perempuan kini datang bertubi-tubi seiring dengan revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Arus globalisasi yang mengental dalam pergaulan bebas (juga seks bebas) telah mengeksploitasi keluhuran martabat tubuh. Mendiang Yohanes Paulus II (1984) mengingatkan masyarakat modern untuk tidak boleh mengabaikan arti penting tubuh manusia. Imbauan sang gembala tidak terlepas dari realitas masyarakat kita yang dikuasai oleh nafsu mengejar keuntungan meskipun kabut kejahatan dan keburukan meliputinya. Kasus perdagangan manusia kini menggunakan cara yang ramah, memikat dan menyenangkan. Iming-iming perantauan dengan gaji yang lebih tinggi dari penghasilan di kampung semakin menenggelamkan sikap kritis masyarakat yang dililit kemiskinan berkepanjangan. Dan yang lebih menakutkan adalah kita tidak sedang berhadapan dengan orang perorangan melainkan sebuah mekanisme sistem yang tertata rapi dan terlindungi oleh dominasi penguasan dan pemodal. Dalam sebuah forum Lokakarya Gender 2013 yang diselenggarakan oleh Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP) KWI, kami menemukan bersama tiga hal penting ini. Pertama, penindasan pada anak dan perempuan kini telah menguat dalam konglomerasi kekuasaan dan kekuatan modal. Kedua, perjuangan melawan penindasan dan kekerasan pada anak-anak dan perempuan adalah sebuah perjuangan yang panjang. Seruan kepedulian moral mesti ditindaklanjuti dengan gerakan bersama yang sarat risiko. Ketiga, pentingnya membangun jejaring dalam gerakan bersama itu. Perjuangan membela, melindungi dan menjaga anak-anak dan juga kaum perempuan dari aneka kekerasan kini dihadapkan pada pergulatan hati nurani untuk memulai dari lingkup yang lebih kecil. Ada tiga sentuhan yang dapat diperjuangkan dalam konteks kita. Pertama, perlindungan maksimal yang diberikan oleh orang tua dan keluarga bagi setiap anaknya. Keluarga menjadi tempat yang nyaman dan damai untuk beroleh cinta kasih. Kedua, sekolah juga perlu menciptakan kultur yang sehat dalam perlindungan bagi anak-anak dan bukan sebaliknya menjadikan mereka sebagai target korban karena mereka jauh dari orangtuanya. Ketiga, instansi pemerintah yang bergelut di bidang perlindungan anak dan perempuan hendaknya tidak menjadi mercusuar belaka yang kadang gemar menghabiskan anggaran tanpa sasaran yang jelas, melainkan bergiat di dalam perjuangan kemanusiaan ini. Jeritan pilu anak-anak mengetuk hati nurani kita.

* Editor: benny_dasman

Sumber: Pos Kupang Cetak