(In memoriam Mgr. John Philip Saklil)
Oleh: Lukas Lile Masan, Pr
TULISAN ini merefleksikan sosok seorang tokoh hebat dalam Gereja Katolik Papua dan seorang Tokoh besar Papua yang pernah saya kenal pun ada bersamanya ditahun 1996-1998 di Wamena dan yang menopangku untuk bergairah memilih jalan khusus. Perjumpaan penuh kasih ditahun 2013 dan 2015 menguatkan keyakinan saya bahwa Mgr. John Philip Saklil adalah seorang gembala dan tokoh yang memiliki kharisma luar biasa.
Hari ini, tanggal 03 Agustus 2023 menjadi hari yang istimewa bagi umat Katolik Keuskupan Timika dan mungkin juga bagi semua masyarakat Mimika bahkan Papua secara umum. Bagi yang punya hati untuk mengingat jasa pendahulu (Pekerja jam pertama), dan yang punya perhatian pada hal ikhwal kemanusian dan keadilan – Perdamaian, hari ini pasti dikenang sebagai hari berkabung. Karena Sang Gembala Pertama Keuskupan Timika, Sang Pejuang Hak-hak Orang Asli Papua, Sang Pembela martabat Orang Kecil dan marginal serta Sang Pejuang Keadilan dan kebenaran diperingati empat tahun wafatnya. Dan kiranya hati siapapun tergerak untuk mengenang dan mendoakan beliau pun mendoakan pertumbuhan Gereja Lokal Keuskupan Timika yang merupakan “jalan Tuhan” bagi umat Allah yang sedang berziarah di dunia ini.
Parate Viam Domini, Siapkan Jalan Tuhan merupakan motto dari Uskup John Philip Saklil ketika ditahbiskan menjadi Uskup Pertama Keuskupan Timika pada 18 April 2004. Motto ini pastinya lahir dari sebuah refleksi tentang Panggilan dan tanggungjawab beliau sebagai seorang Uskup pertama di sebuah keuskupan baru – Timika – yang dimekarkan dari Keuskupan Jayapura. Sebagai Seorang Putra Kokonao yang Lahir dan dibesarkan dalam budaya masyarakat Komoro, beliau mengenal baik denyut nadi kehidupan Sosial-Budaya, jasmani maupun Rohani masyarakat Suku Amungme Komoro. Sebagai Uskup, ia memilih moto “Parate viam Domini” (Matius 3:3). Hal ini merupakan suatu seruan kenabian yang ditujukan kepada semua orang, terutama seluruh yang terlibat di Keuskupan Timika untuk bertobat, menyiapkan diri, membersihkan hati, supaya diselamatkan oleh Tuhan. Kalimat tersebut diadopsi dari kata-kata Yohanes Pembaptis saat Ia tampil dipadang Gurun dan menyerukan pertobatan. Uskup John Philip menyadari bahwa sebagai Uskup Perintis jalan Baru bagi Tuhan di bumi Amungsa, bukanlah pekerjaan yang mudah dan gampang. Untuk itu dalam mewujudkan motto “Parate Viam Domini”, Uskup John menganut gaya – strategi “Pastoral Gembala Baik”. Strategi Pastoral gembala baik bukan dirumuskan dalam teori-teori tetapi dihayati dalam tindak pelayanan konkrit di tengah umat. Gaya pastoral gembala baik bertumbuh dan dibesarkan dalam karya pelayanan di tengah umat.
Beliau ditahbiskan Menjadi Imam Keuskupan Jayapura pada tanggal 23 Oktober 1988 oleh Uskup Herman Ferdinandus Maria Münninghoff, O.F.M. Dari Lembah Baliem – Ketika menjabat sebagai Pastor Paroki Kristus Terang Dunia Yiwika dan Deken Dekenat Jayawijaya, sikap dan gaya hidup Uskup John sungguh menunjukan seorang Gembala yang baik. Beliau menyadari bahwa tugas Pastoral merupakan tugas yang dipercayakan oleh Allah yang telah memanggil dan memilihnya menjadi imam dan gembala umat. Maka tugas itu harus dilaksanakan dengan baik dan bertanggungjawab sesuai dengan ketetapan yang berasal dari Allah. Beliau begitu rutin merawat dan memelihara umat dengan sepenuh hati bahkan rela mengorbankan dirinya demi menjaga “domba-dombanya” agar tidak keluar dari kandang dan diambil pergi oleh “serigala-serigala berbulu domba.”
15 tahun, 107 hari menjadi Waktu Uskup John mempersiapkan Jalan Tuhan. Sungguh sebuah waktu yang teramat singkat. Misi Suci Sang Gembala memang belum sampai dititik finis namun sayang bahwa adanya bersama umat gembalaannya berakhir saat bulan Agustus 2019 baru mulai bersemi. Caranya mempersiapkan jalan bagi Tuhan bukan sebatas pada seruan moral pastoral dari mimbar Gereja, tetapi ia menyatu dalam tindak Pastoral Kontekstual di tengah umat yang tersebar di enam dekenat.
Sebagai uskup, pelayan bagi umat dan saksi Gereja, dipahaminya sebagai “Pengurus Rumah Tangga yang harus setia dan bijkasana. Bahwa ia diangkat oleh tuan-Nya menjadi kepala atas semua hamba-Nya untuk membagikan “makanan” kepada mereka pada waktunya. Untuk menjalankan tugas sebagai “pengatur rumah tangga Allah” tidak hanya dibutuhkan orang “Vir Probatus” yang tak bercacat’ (Tit 1:6).
Sebagai gembala, ia menasihati para pemimpin umatnya, agar mereka tidak hanya memimpin melainkan menggembalakan umat Allah: jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela, sesuai dengan kehendak Allah, tidak untuk mencari keuntungan tetapi dengan pengbadian diri. Janganlah berlaku sebagai “Pemerintah dunia” bagi mereka tetapi hendaklah menjadi teladan dan panutan bagi umat yang dilayani. Menjadi gembala umat bukan hanya mengatur mereka tetapi terutama mencarikan dan memberikan “makan”. Tidak hanya mempersatukan tetapi juga melindungi umat Allah dan melawan segala serangan dan kekerasan yang melanggar Hak Asasi Manusia, keadilan dan kebenaran guna mewujudkan Papua yang damai
Parate Viam Domini di terjemahkan dengan cara mengajak umat bahwa ada hal di dalam hidup yang perlu ditata, diperbaiki, dirapihkan agar senantiasa menampakan hidup yang berkualitas, hidup yang menjadi berkat. Bahwa Uskup John Philip Saklil dalam hidupnya tidak hanya menempatkan dirinya sebagai Uskup – Pemimpin Gereja Katolik Keuskupan Timika tetapi juga sebagai pribadi yang selalu memperjuangkan keadilan masyarakat Papua yang kecil dan diabaikan, (Gereja Kehilangan Pejuang Keadilan untuk papua, Hidup Katolik.com -23 Agustus 2019). Sampai hari ini banyak orang masih memberi kesaksian bahwa Uskup John Philip adalah seorang pejuang suara masyarakat Papua. Dia berjuang agar semua orang di Papua merasa dihargai martabatnya.
Uskup John Philip Menyalurkan imannya tentang Allah yang adalah kasih dengan membangun sebuah gerakan solidaritas kemanusian terutama bagi orang asli papua yang dibungkam suaranya dan dikebiri haknya. Perbuatan amal, yang secara langsung meringankan penderitaan yang paling mendesak. Keterlibatan sosial digagasnya melalui beragam gerakan dibidang Pendidikan, Kesehatan dan ekonomi umat untuk memberantas sebab-sebab sosial dan struktural dari penderitaan. Beliau tidak hanya berkarya semata-mata hanya untuk umatnya atau untuk membela orang-orang lemah tetapi juga menjangkau hati dan kehidupan umat dari agama lain. Ia telah menjadi animator yang berdiri bersama umat. Ia telah menjadi saksi yang menemukan dan mendukung serta menggairahkan kekuatan iman dan harapan umat/masyarakat untuk berjuang keluar dari penderitaan.
Sebagai Gembala umat, ia telah berdiri dipihak umatnya dan ikut mengalami batas kemampuan umatnya serta menghirup gairah kehidupan umatnya yang masih merana ditengah kemiskinan yang mendera. Cara keterlibatannya ini dapat dimaknai sebagai pola untuk membumikan “Parate Viam Domini” agar cahaya yang terpancar diwajah Kristus membawa terang dalam kegembiraan dan harapan, kesusahan dan kecemasan semua umat manusia di Bumi Amungsa pada khususnya dan tanah Papua pada umumnya.
“Maka sebagai mahkluk hidup memiliki ciri rohani yang tinggi, kita harus siapkan jalan bagi Tuhan. Kedua Bersaksi, umat Paroki harus bisa memberi kesaksian, mengikuti jejak-jejak Yohanes Pembaptis memberika kesaksian tentang Kristus. Ketiga mengikuti suri teladan Yohanes Pembaptis, walaupun namanya tidak lagi ditulis dalam Kitab Suci, namun Yohanes Pembabtis sebagai tokoh sentral yang menyiapkan kedatangan Tuhan, tidak menyatakan diri sebagai Tuhan melainkan sebagai orang yang menyipakan jalan bagi Tuhan atau Parate Viam Domini,” terang Uskup Datus Lega.***