RD. Lukas Lile Masan, Pr
TULISAN ini coba mengangkat beberapa realitas masalah berkaitan dengan kegelisahan dan Kecemasan masyarakat lokal oleh membanjirnya tenaga kerja dan mobilitas masyarakat dari luar Papua yang mulai menguasai berbagai sektor usaha termasuk sektor pertambangan dan anak perusahan lainnya yang ada diwilayah administrasi kabupaten Mimika.
Manusia adalah makhluk Pekerja atau Homo Faber. Identitas manusia sebagai makhluk pekerja sejatinya melekat erat dalam diri manusia dengan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Manusia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yang dimaksudkan dengan kerja ialah kegiatan manusia mana pun juga, baik itu kerja tangan atau kegiatan akal budi, entah manakah sifat atau situasinya. Itu berarti setiap kegiatan manusiawi yang dapat dan harus diakui sebagai kerja, di antara semua kegiatan yang sekian banyaknya, yang dapat dijalankan oleh manusia. Untuk itulah ia disiapkan oleh kodratnya sendiri, berdasarkan kemanusiaannya sendiri.
Di tengah alam semesta yang kelihatan manusia diciptakan sebagai citra yang menyerupai Allah sendiri. Di situlah ia ditempatkan untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidupnya. “…dengan bersusah payag engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu,….dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah,” (kej 3;17-19).
Manusia dipanggil untuk bekerja. Bekerja merupakan salah satu ciri yang membedakan manusia dari makhluk-ciptaan lainnya. Melalui kerja manusia menjadi co-creator bersama Allah sekaligus untuk melestarikan hidupnya. Bekerja merupakan sebuah tugas suci yang berasal dari Allah dan harus diimplementasikan manusia secara bertanggungjawab.
Bekerja atau tidaknya seorang manusia di latarbelakangi oleh beragam faktor. Manusia sebagai Homo Faber atau makhluk pekerja dapat bekerja jika ada peluang kerja atau lapangan pekerjaan, punya kompetensi atau kemampuan untuk bekerja, serta punya niat dan kemauan. Dalam dunia kerja yang penuh persaingan dan masih kuat dipengaruhi oleh budaya KKN, para pencari kerja kadang mengalami perundungan seperti ditolak atau tidak diterima karena “tidak ada orang dalam. Aroma nepostime seperti ini pun menjamur dalam dunia kerja ditanah papua terutama di Kabupaten Mimika. Diakui Kepala Disnakertrans Mimika bahwa baru diketahui data sebanyak ribuan pekerja di PT Freeport Indonesia maupun kontraktornya tidak memiliki KTP Mimika. Data tersebut terungkap dari data pemilih tetap yang sedang dikerjakan Komisi Pemilihan Umum. “Ternyata orang-orang yang kerja ini kan KTP-el nya bukan Mimika, ketahuan nya dari data pemilih. Ternyata di atas itu ada ribuan lebih orang beridentitas luar (Mimika). Jadi mereka datang langsung kerja di atas, kalau cuti langsung berangkat, jadi mereka tidak pernah di Mimika”. Polemik sekitar ribuan tenaga Kerja PT. Freeport Indonesia dan anak perusahaan yang ber-KTP bukan mimika menyajikan sebuah panorama Konspirasi dan Nepotisme yang berusaha untuk mendepak bahkan membatasi partisipasi tenaga Kerja OAP dan LABETI untuk bekerja di Perusahaan Emas terbesar di dunia tersebut. Lalu pertanyaannya berapa Orang Asli Mimika – Amungme Komoro yang bekerja di sana.
Dinegeri sendiri sekalipun mereka (OAP-LABETI) masih dianaktirikan, demikian fakta yang terjadi. Menurut Mozes, seorang pengusaha bahwa dalam proses pelelangan proyek masih terkesan kuat adanya konspirasi dan nepotisme antara pihak penyelenggara pelelangan dengan kontraktor “anak kesayangan”. Bahwa kondisi inipun berdampak pada kehidupan dan kerja orang Asli Papua dan yang Lahir Besar di Timika. Ada indikasi kuat, kontraktor yang non Papua dan yang bukan LABETI cendrung melakukan penawaran yang rendah kepada para pekerja dilapangan, padahal nilai kontrak proyeknya mencapai puluhan miliar. Sebagai kompensasi mereka merekrut tenaga kerja dari luar Papua seperti dari jawa untuk bekerja pada sektor proyek dilapangan dengan upah jasa yang sangat murah. Kondisi seperti ini menunjukan bahwa telah terjadi eksploitasi tenaga kerja oleh kaum kapitalis terhadap masyarakat kecil.
Eksploitasi dipahami sebagai sebuah konsep yang didefenisikan sebagai suatu praktek yang mengambil keuntungan secara tidak adil dalam penggunaan tenaga kerja. Karl Max mengkritik cara eksploitasi tenaga kerja sebagai pencurian kekuatan ekonomi yang dilakukan oleh kaum kapitalis dan sebagai sebuah cara manipulasi untuk membeli tenaga dengan harga yang murah.
Menanggapi kondisi ini, Pemerintah Daerah dalam kolaborasi dan kerjasama dengan pihak legislatif akan membuat Peraturan Daerah untuk menjamin hak-hak tenaga Kerja OAP dan LABETI. Sekiranya mimpi ini segera direalisasikan dan menjadi kenyataan mengingat Mimika menjadi salah satu tujuan para pencari tenaga kerja. Setiap kali liburan/mudik ke kampung halaman diluar papua banyak yang kembali ke timika dengan memboyong keluarga dan sahabat kenalannya ke timika untuk mencari kerja. Kurangnya kontrol dan pengawasan di pelabuhan Laut dan Bandara Udara serta tidak adnya regulasi yang membatasi gerak masif imigran dan Perantau masuk ke Timika, membuat timika menjadi kota yang semakin padat. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut dikwatirkan akan membawa dampak yang tidak baik bagi kehidupan sosial di bumi Amungsa pada masa yang akan datang. ♦