Oleh : Lukas Lile Masan, Pr (Tinggal di Timika)
KORAN media online Republika.Co.Id, menulis bahwa sejak keran demokrasi terbuka pascareformasi 1998, kebebasan berekpsresi dan mengeluarkan pendapat menjadi hal yang lumrah dan tak lagi dikebiri. Kritikan pedas yang mengarah kepada penghinaan kepala negara pun tak lagi termasuk kategori kriminal. Apalagi menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi mencabut pasal 134, 136 bis, dan 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan terhadap presiden.
Sementara itu, ketua II Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PBPMII), Erfandi, mengatakan, pada era reformasi seperti saat ini adalah sebuah konsekuensi sebagai pemimpin harus tahan atas kritik dan hinaan. “Menjadi pemimpin itu harus siap kritik dan hinaan, yang menjadi tolok ukur bagi kewibawaan lembaga negara adalah sejauh mana melaksanakan amanat konstitusi. Bila seorang kepala negara atau kepala daerah tidak menjalankan konstitusi, seperti menyejahterakan rakyat atau menaati aturan perundang-undangan, maka wajar kalau ia dikritik oleh rakyat. Lebih lanjut
Andriyana, seorang pengamat media sosial mengakui bahwa media sosial kini menjadi sarana ampuh untuk menyampaikan kritik dan sindiran. Sebab, dari sanalah sumber informasi alternatif di luar media arus utama itu hadir memberikan pilihan validasi informasi. Medial sosial menjadi sarana yang ia anggap lebih jujur berbicara dalam banyak hal. Jadi, mengkritisi pemerintah melalui media sosial kini menjadi pilar dalam sebuah pergerakan modern.
Jadi Pemimpin tidak boleh anti kritik. Hal ini diungkapkan oleh FX Yapan bupati Kutai Barat. Bagi seorang pemimpin, kritik itu penting sebab dari kritikan itu menjadi bahan untuk mengambil suatu kebijakan yang lebih populis dan merakyat. Oleh Kritik yang membangun muncul niat untuk duduk bersama, bersatu, tidak saling menyalahkan dan saling bekerjasama dengan baik demi sinergitas pembangunan.
Kritik adalah ungkapan baik atau buruk suatu hal. Kritik mengandung unsur penalaran yakni analisis, interpretasi, dan evaluasi. Didalam sebuah kritik ada dualisme makna bisa berupa kecaman pun pula pujian atau apresiasi.
Mengenal Karya Sastra dalam bentuk Kritik dan Essai oleh Suci Wulandari, dkk., dikatakan bahwa tujuan dari Kritik adalah yang paling utama bisa memperbaiki sebuah karya atau melakukan koreksi terhadap kesalahan yang terdapat di dalamnya. Menurut Suci Wulandari dan kawan-kawan, yakni Kritik Induktif, Kritik Judisial dan Kritik Impresonik. Kritik induktif adalah sejenis kritik yang memperhatikan unsur-unsur yang ada di dalam karya tersebut dengan cara yang obyektif. Kritik Judisial adalah sejenis kritik yang menganalisis serta menerangkan efek karya berdasarkan permasalahan, teknik, organisasi dan juga gaya penulisannya. Kritik jenis ini didasarkan pada standar umum perihal kehebatan dan kebiasaan. Kritik Impresionik adalah sejenis kritik yang beruasa untuk menggambarkan sifat khusus dalam sebuah karya sekaligus mengekspresikan tanggapan Kritikus yang ditimbulkan secara langsung melalui karya tersebut.
Sejarah membuktikan bahwa pemimpin yang antikritik telah membawa dampak yang mengorbankan nilai kemanusiaan. Sebut saja Socrates. Socrates merupakan seorang filsuf generasi pertama dari tiga ahli filsafat yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Ia mati oleh penguasa kota athena pada tanggal 15 Februari 399 SM dengan tuduhan merusak pikiran pemuda kota dan tak memiliki rasa hormat. Nasib yang sama dialami Yohanes Pembaptis. Menurut catatan Kitab Suci, Yohanes dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya oleh Herodes setelah ia mengkritik herodes yang mengambil Herodian istri saudaranya menjadi istrinya. Masa orde baru, banyak mulut yang dibungkam dan para pengkritik tidak mempunyai tempat diruang publik. Si zaman suharto kalau berani mengkritik, dua hari langsung hilang demikian aku bang Indro Warkop.
Beberapa waktu lalu tersiar kabar bahwa seorang Aktivis Muda Lembata, Agus Nuban di laporkan ke Polres Lembata oleh Pejabat bupati Lembata Matheos Tan. Dalam status diakun FB yang dimuat pada Grup Bicara Lembata, Agus nuban sebagai warga lembata terusik dengan kondisi sosial ekonomi di Kabupaten Lembata dan kurangnya atensi Pejabat bupati yang lebih rutin bolak-balik Jakarta Lewoleba. Sebagai seorang Penggiat Soasial dan Warga Masyarakat Lembata, apa yang dikatakan Agus Nuban merupakan sebuah keprihatinan pada kondisi sosial yang sesungguhnya. Memang beberapa hari selanjutnya, Pejabat Bupati selaku pelapor menarik kembali laporan polisi setelah Agus Nuban sebagai pihak terlapor datang meminta maaf.
Mengakhiri tulisan ini, ada beberapa catatan kritis yang perlu diperhatikan oleh para pemimpin publik baik Pemimpin Pemerintahan atau pun Institusi agama.
Pertama, untukmu Pemimpin Birokrasi dalam hal ini Pejabat Bupati. Bahwa diksi yang digunakan saudara Agus Nuban dalam Kritikannya terhadap kinerja bapak tidak mengandung penghinaan yang bersifat pribadi. Ia menggunakan kata dan kalimat yang bersifat umum dan menyasar pada gerak-gerika bapak sebagai seorang pemimpin bagi rakyat Lembata. Kritikan Agus harusnya menjadi cermin bagi bapak dalam melihat seperti apa abdimu untuk rakyat lembata.
Kedua, Pemimpin Institusi Agama. Agama sejatinya menjadi sakramen keselamatan bagi para penganutnya. Maka para pempimpin agama tidak harus melulu berkutat pada hal-hal kultis tetapi berani keluar dari zona nyaman merasakan pedih perih kehidupan umat dalam mempertahankan hidup mereka secara ekonomi. Mungkin para pemimpin agama belajar lebih banyak tentang ekonomi syariah yang menjadi pola pemberdayaan ekonomi tetangga sebelah yang kini semakin populer karena suksesnya. Bila ekonmi umat kuat banyak dos yang berisi bir bintang akan mampir dialtar persembahan atau mungkin jadi upeti yang nongol di pendopo pastori.