Opini  

Gurita Kapitalis Mengepung Papua

Oleh : Lukas Lile Masan (***)

 

PAPUA dijuluki sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Diksi yang digunakan untuk menyebut Papua dilatari oleh beragam alasan. Ada beberapa alasan mendasar yang dapat kami utarakan disini. Pertama, mayoritas wilayah Papua masih ditutupi hutan. Karena itu tidaklah mengherankan jika Papua diklaim sebagai sebagai paru – paru dunia. Kedua, di Papua ada Puncak Jaya. Puncak Jaya merupakan gunung tertinggi diindonesia dan bisa dibilang sebagai satu-satunya puncak di Indonesia dan bahkan di daerah tropis yang diselimuti salju abadi. Perjalanan udara dari jayapura ke Timika kita akan disuguhi panorama indah Salju abadai di Puncak gunung jayawijaya. Ketiga, Raja Ampat. Banyak orang yang hanya menyadari kalau raja ampat itu terkenal sebagai spot pariwisata, terutama untuk snorkeling dan diving. Lebih dari itu, raja ampat termasuk dari salah satu wilayah terbentuk dalam segitiga atau dikenal dengan coral triangle. Jadi Raja ampat mempunyai sekitar 76% jenis terumbu karang yang terletak dibawah dasar lautnya. Keempat, dari aspek Sumber Daya Alam dan Budaya, Papua sangat kaya. Tambang emas terbesar didunia ada di Papua. sumber minyak dan Gas terbesarpun akan ada di papua, karena saat ini sedang dilakukan studi kelayakan dan eksplorasi oleh Pertamina di wilayah Basin antara Mimika dan Asmat. Ada ladang emas yang baru ditemukan di gunung Intan jaya yang disebut blok wabu. Yang kita ketahui bahwa saat ini area sekitar Intan Jaya menjadi episentrum konflik antara TNPB-OPM dan TNI-POLRI. Dalil utama konflik sesungguhnya adalah Blok Wabu, antara OAP yang mempertahankan Hak Ulayartnya hingga maksud hati menjaga keharmonisan ekologi dengan Negara yang berusaha mengimplentasikan amanat Undang-undang. “Bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Faktanya gunung emas Etsberg habis dilahap PT Freeport tak hasilkan sejahteranya masyarakat Amungme-Komoro. Karena itu orang moni tak mau memiki nasib yang sama dengan orang Amungme-Komoro. Sejati konflik di wilayah pegunungan tengah Papua adalah konflik politik dan kepentingan ekonomi. Ratusan ribu warga mengungsi untuk mencari rasa aman. Dan ini pengalaman pasionis yang pernah dialami warga Agimuga, Banti dan beberapa kampung diarea Freeport pada awal rezim Suharto.
Semua keindahan dan kekayaan bak firdaus itu saat ini semakin sulit untuk dirasakan, dialami dan dinikmati. Gencarnya giat investor dan kaum kapitalis memasuki bumi papua atas restu jakarta, membuat tanah Papua, surga kecil yang jatuh ke bumi itu berubah wajah menjadi “neraka” bagi Orang Asli Papua.
Gurita Kapitalisme mengepung Papua! Itulah fakta dan realitas yang terjadi dan dialami oleh orang Asli Papua yang secara tradisi turun-temurun menjadikan alam sebagai ibu kehidupan dan lumbung pangan. Barnabas Seabeu mengatakan bahwa “Saat ini hutan Papua semakin terancam karena menjadi target besar-besaran kegiatan penebangan hutan dan juga untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit. Sinar Mas telah merencanakan akan membuka tiga juta hektare hutan Papua untuk industri perkebunan sawit. Belum lagi rencana pembangunan infrastruktur jalan yang merupakan implementasi dari Inpres Nomor 5 Tahun 2007 akan semakin membuka akses pada sumber daya hutan dan belum tentu jalan tersebut juga akan dipakai oleh masyarakat lokal, orang asli Papua.” Dari Pantauan Udara dan investigasi ditemukan bahwa saat ini kondisi hutan Papua berbeda jauh 20-30 tahun lalu, hutan papua yang konon menjadi paru-paru dunia kini dibabat habis oleh oleh perusahaan Hak Pengelola Hutan atau HPH, dan juga untuk kepentingan pembangunan seperti transmigrasi dan infrastruktur jalan. Dalam sebuah Perjalanan Investigasi, Kompas Tv menemukan bahwa pembangunan Infrastruktur jalan Trans Papua yang membelah taman Lorents memberi dampak buruk bagi keberadaan flora dan fauna purba yang ada di wilayah ini. Pembangunan jalan Trans Jayapura Wamena tidak membawa keuntungan signifikan bagi Orang Asli Papua tetapi justru mempermuda gerak liar pembalakan kayu oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dalam mencari keuntungan sesaat dan membunuh masa depan Generasi Orang Asli Papua.
Bagi Jakarta, melalui pembangunan dan Pemekaran Daerah Otonomi baru di Papua memastikan bahwa negara semakin dekat hadir dihati Orang Asli Papua. Untuk sebuah kehadiran yang membawa keharmonisan, sukacita dan kegembiraan harusnya diawali dengan sebuah komunikasi yang intens. Kehadiran tanpa sebuah dialog dan komunikasi awal sebagai pengantar mengindikasikan adanya sikap otoritarian yang tak peduli pada ratapan dan jerit tangis masyarakat lokal. Justru yang terjadi adalah tindakan represif untuk membungkam mulut yang niat bicara keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Penguasaan Sumber daya alam Papua oleh negara justru mengenyangkan para kapitalis atau pemilik modal yang secara semena-mena melakukan eksplotasi dan menghancurkan hutan. Hutan yang sesungguhnya menjadi tempat sumber pangan OAP, menyimpan air dan penghasil oksigen bagi makhluk hidup dan tempat hidup flora dan fauna hancur dicengkram tangan tamak dan rakus para kapitalsi dan penguasa. Dalil amanat Undang-Undang dasar 1945 menjadi argumen untuk hancurkan bumi Papua.
Atas kegelisahaan dan kecemasan akan hancurnya alam papua oleh giat rakus para predator berdasi, Gubernur Suebu dalam kolaborasi dengan DPRD Papua menumuskan beberapa prinsip-prinsip kebijakan baru untuk hutan Papua. Pertama, pelarangan total ekspor kayu log dari Papua, baik keluar negeri maupun antarpulau. Karena aktivitas pembalakan dan pengiriman katu keluar appua adalah proses pembodohan dan pemiskinan bagi rakyat Papua. Kedua, perlu dilakukan percepatan pengembangan industri kayu rumah tangga dan pembalakan hutan oleh masyarakat (community logging). “Setiap perusahaan yang masuk ke Papua harus membangun industrinya di Papua, sehingga kayu yang dikirim keluar Papua adalah kayu yang sudah diolah, bukan log. Ketiga, penanganan konflik melalui pengaturan akses masyarakat kepada hutan melalui Peraturan Daerah Khusus. Untuk hal ini hak kepemilikan hutan dikembalikan kepada rakyat. “Hutan Papua bukan milik negara tetapi milik rakyat. Keempat, izin-izin HPH aktif maupun nonaktif akan dicabut kecuali perusahaan tersebut membangun industrinya di Papua. Kelima, penegakan hukum melalui aparat yang jumlah dan kualitasnya memadai, baik polisi juga polisi kehutanan, peningkatan kesadaran masyarakat. Keenam, seluruh hutan di Papua didedikasikan untuk menyelamatkan planet bumi dan masa depan kemanusiaan, termasuk melalui pengembangan industri bahan bakar bio (green energy) secara hati-hati. Inilah pikiran dari seorang pemimpin yang cerdas dan tak gila uang dan jabatan. Orang Asli Papua membutuhkan pemimpin yang populis, pemimpin yang berjuang bersama rakyat untuk mempertahankan tanah adat dan bumi papua dari gempuran investasi tambang, kayu dan sawit yang mengancam keutuhan Papua, sebagai Surga kecil yang jatuh ke bumi. ***Alumnus STFK Ledalero-Rohaniwan=