Opini  

Catatan Penting Dalam Penegakan Hukum di Indonesia: Tuntutan Sikap Profesionalisme Kepada Aparat Penegak Hukum

Advokat Aldo Kotan, S.H. / foto: Istimewa

Oleh: Aldo Kotan (Aldo Kotan and Partners)

EXPONTT.COM – Bagaimana bisa seseorang yang diduga menjadi pelaku kejahatan (tersangka) dapat lepas dari
proses peradilan pidana hanya dikarenakan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) terlambat dikirim atau tidak dikirimkannya SPDP tersebut kepada Kejaksaan, tentunya hal ini akan menjadi polemik atau permasalahan sendiri dalam penegakan hukum di Indonesia.

Pada dasarnya SPDP tidak hanya sekadar sebuah alur administrasi dalam proses peradilan pidana tetapi juga merupakan bagian penting dari proses sistem peradilan pidana itu sendiri, terutama terhadap pemahaman konsep due process model dalam sistem peradilan pidana yang mana SPDP dapat memberikan serta menjamin kepastian hukum bagi Tersangka atau Terlapor dan Korban atau Pelapor serta merupakan bagian dari fungsi pengendalian perkara oleh Jaksa kepada Kepolisian dalam proses penyidikan (dominus litis).

Pasal 109 ayat (1) Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan dasar hukum utama diterbitkannya SPDP akan tetapi terhadap aturan pelaksana lebih lanjut diatur di dalam Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang mana SPDP tersebut wajib dikirimkan kepada pihak Penuntut Umum, Pelapor/Korban, dan Terlapor dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) agar pelapor dapat mempersiapkan diri untuk memberikan keterangan atau alat bukti pada proses penyidikan sedangkan pelapor dapat mempersiapkan bahan pembuktian dan/atau menunjuk penasihat hukumnya, sehingga dengan adanya keterlambatan atau tidak dikirimnya SPDP dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran terhadap konsep due process model dalam sistem peradilan pidana.

Dalam proses penyidikan, tentunya pihak Kepolisian tidak main-main dan harusnya bersikap hati-hati dalam menempatkan seseorang menjadi tersangka dikarenakan penetapan tersangka harus berdasarkan dua alat bukti yang sah berdasarkan KUHAP.

Selain itu, proses penyidikan itu sendiri bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangka (pengertian penyidikan) yang mana dalam sistem peradilan pidana di negara kita segala kepentingan korban diwakili oleh negara (hukum publik) oleh karenanya kepentingan korban diambil alih oleh pihak Kepolisian maupun Kejaksaan sebagai perpanjangan tangan negara bagi korban dalam mencari keadilan dan untuk itu, dalam proses tersebut akan sangat disayangkan apabila pihak penegak hukum melakukan kesalahan atau kelalaian dalam administrasi, sehingga seseorang yang diduga melakukan tindak pidana yang sudah berstatus tersangka dapat lepas dari jeratan proses peradilan pidana hanya karena maladministrasi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian maupun Kejaksaan, sehingga hal tersebut dapat berakibat pada dirugikannya korban yang mana merupakan pihak yang sedang dalam proses mencari keadilannya.

Oleh karenanya, sikap profesionalisme dari Kepolisian maupun Kejaksaan sangat dituntut agar tidak adanya kesalahan-kesalahan administrasi atau tindakan maladministrasi dikarenakan jika dilihat dari prespektif korban yang sedang mencari atau menuntut keadilan, maka hal tersebut akan sangat merugikan korban yang
besar harapannya bagi korban negara dapat hadir untuk menyelesaikan permasalahan atau peristiwa yang dialaminya dan juga negara dapat memberikan sanksi pidana kepada para pelaku kejahatan sebagai bentuk perlindungan dilakukan oleh negara kepada warga negaranya.(*)