Legalkah Para Pemegang Saham Bank NTT melakukan naik banding

Oleh : Eddy Ngganggus

PUTUSAN perkara PMH nomor 309/Pdt.G/2022/PN.KPG antara Izhak Eduard melawan Gubernur NTT dan kawan-kawan di Pengadilan Negeri Kupang yang memenangkan Izhak Eduard (mantan DIRUT) BANK NTT akan memasuki tahap berikut, apakah para phak melakukan banding atau menerima keputusan hakim. Sebagai tergugat Gubernur NTT dan kawan-kawan memiliki hak keperdataan untuk melakukan banding. Alasan banding tentunya harus lebih kuat dari dalil pembelaan yang dibuat pada tahap sebelumnya. Selain itu tujuan bandingpun mesti dikalkulasi baik, agar tidak terjebak dalam kondisi “kalah jadih arang, menang jadi abu”.

Opsi banding maupun menerima putusan memiliki keuntungan dan kerugian. Bagaimana hal itu bisa di mengerti ? ikuti pemikiran saya berikut .

Pertama, alasan yang menjadi argument dasar Pemegang Saham Mayoritas memberhentikan Izhak Eduard dari jabatan Dirut bank NTT saat itu adalah karena sang Dirut Izhak tidak bisa mencapai laba Rp 500 Miliar. Alasan ini final. Di tahun-tahun berikutnya setelah Izhak di berhentikan dan hingga sang pemegang saham mayoritas dan beberapa pemegang saham lainnya pensiun, realitanya laba Rp 500 miliar yang ditargetkan tidak pernah tercapai. Di sini muncul tabulasi logika, yakni soal relefansi ukuran yang dipakaikan pada Izhak Eduard patut dipakaikan juga kepada pengganti Izhak Eduard. Karena hanya dengan ukuran yang sama itu cacat logika dan cacat argument pemberhentian Izhak bisa di selamatkan.

Fakta hari ini, pasca pemberhentian Izhak Eduard target perolehan laba Rp 500 miliar adalah ibarat pungguk merindungkan bulan. Alih-alih sama dengan Rp 500 miliar, mendekati angka Rp 500 miliar pun tidak.

Akankah cacat argument ini diulangi lagi oleh para Pemegang Saham dengan nekad mengajukan banding atas putusan hakim yang telah memenangkan Dirut Izhak ? karena dengan tidak adanya rujukan yudicial target Rp 500 Miliar yang legitimate yang harus di capai oleh Dirut Izhak sebagai dasar / alasan pemecatan yang mana hal itu merupakan dalil pokok yang menjadi keberatan Dirut Izhak selaku penggugat dalam perkara pemberhentian ini .

Akan terjadi logika fallacy atau sesat berpikir circular reasoning jika naik banding itu dipaksakan oleh para pemegang saham. Apa itu? sebuah upaya naik banding dengan basis argument yang tidak didukung dengan data perolehan laba yang sesuai dengan apa yang menjadi alasan pemberhentian Dirut Izhak oleh Pemegang Saham. Karena terkonfirmasi hari ini, Alex Dirut Bank NTT Pengganti Izhak, tidak pernah mencapai laba Rp 500 miliar. Fairnes tidak menghendaki seseorang dikenakan sanksi dengan menggunakan standard yang berbeda.

Berikut, berdasarkan UU PT nomor 40 tahun 2007 wewenang melakukan mengangkat maupun memberhentikan (memecat) DIREKSI ada pada RUPS bukan Pemegang Saham (Lihat pasal 94). Karena kedudukan Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris itu adalah sama-sama sebagai organ Perseroan (lihat pasal 1 ayat 2 UU PT nomor 40 tahun 2007). Karena itu kedudukan Pemegang Saham dapat diartikan sebagai organ RUPS . Karena itu upaya banding atas pemecatan Dirut juga harus melalui RUPS, alias tidak bisa langsung dilakukan oleh para Pemegang Saham tanpa mandat RUPS . Jika masing-masing Pemegang Saham melakukan banding, maka itu berarti mereka mewakili diri sendiri bukan mewakili RUPS.

Ini jelas sudah bertentangan dengan perintah UU nomor 40 tahun 2007, pasal 3 ayat 1 bahwa Pemegang Saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi pada perikatan atas nama perseoran . Dengan demikian yang bertanggung jawab atas setiap perikatan atas nama perseroan adalah RUPS. Karena itu jika banding atas perkara di atas ingin dilakukan maka para pemegang saham mesti terlebih dahulu melakukan RUPS sebagai legal standing banding.

Kesimpulan

Yang bisa melakukan banding atas perkara Izhak Eduard melawan Gubernur NTT dan kawan-kawan adalah RUPS. Bukan Pemegang Saham (PS) . Karena yang memberhentikan Izhak Eduard dari jabatan DIRUT bank NTT saat itu adalah RUPS, bukan PS. Jika ada PS yang mau melakukan banding atas putusan perkara ini, itu artinya ia mewakili dirinya sendiri, bukan atas nama RUPS. Tentunya ini tidak legal. Dia hanya bisa bertindak atas nama RUPS jika ada putusan RUPS yang memandatkan itu dan hal tersebut mesti tertuang dalam akta RUPS.

Itu dari sisi legal Formil.

Dari sisi legal materil, Pertama, RUPS mesti bisa membuktikan ada bukti autentik bahwa target laba RP 500 m yang harus dicapai Izhak Eduard di tahun 2019 itu memang ada, kedua bukti autentik bahwa dalam undangan RUPS LB itu ada tercantum agenda rencana Pemberhentian DIRUT, ketiga ada bukti autentik bahwa kepada Izhak Eduard telah di berikan kesempatan untuk membela diri setelah di Putuskan berhenti oleh RUPS. Dua syarat yang formil dan materil ini mesti menjadi pertimbangan dari RUPS sebelum putusan melakukan banding. (*)