Oleh : Lukas Lile Masan(*)
PERISTIWA Persekusi dan kekerasan terhadap mahasiwa papua kembali terjadi di kota kupang. Pelaku persekusi dan Kekerasan inipun dilakukan oleh ormas yang sama yakni Garda Flobamora dan Garuda yang berbasis di kota kupang. Garda Triple X Flobamora sejak berdirinya tahun 2021 memiliki moto: Memanusiakan manusia. Kisah Garda Triple Flobamora menoreh banyak kebaikan dan kasih terhadap masyarakat kota kupang. Hal yang sama pun sudah dilakukan oleh Ormas Garuda. Namun pepatah yang mengatakn nila setitik rusak susu sebelangah kini menimpa kedua ormas ini. Rasa cinta terhadap kemanusiaan yang dikemas dalam visi dan misi memanusiakan manusia menjadi tak bernilai ketika kedua ormas ini hadir sebagai tokoh antagonis dalam peristiwa 1 Desember 2023 ketika Mahasiswa Papua yang sedang Studi di kota Kupang melakukan demo damai di Jalan Piet A Tallo kota kupang. Menurut Yufengki Bria – detikBali bahwa Aksi unjuk rasa mahasiswa Papua di Kupang, dilakukan dalam rangka memperingati hari deklarasi kemerdekaan Papua Barat. Saat tengah melakukan unjuk rasa
Selanjutnya pada pukul 09.15 Wita, sekitar 50 orang dari ormas Garuda mendatangi massa aksi sembari marah-marah, perdebatan dan berujung pemukulan secara membabi buta hingga mengakibatkan baju dari sejumlah massa aksi disobek paksa. Selain itu, ada seorang massa aksi bernama Ririn dipukul hingga pingsan. Massa aksi lainnya, Jek, juga mendapat pukulan di bagian bibirnya hingga pecah. Mereka kemudian diangkut ke Mapolresta Kupang Kota. Saat tengah berunjuk rasa, para mahasiswa didatangi sekelompok massa ormas Garda Flobamora dan Garuda. Mereka disuruh berhenti berorasi. Kericuhan pun terjadi hingga mereka diamankan ke kantor polisi. ” Yeri Wali dari Mahasiswa Papua mengaku bahwa untuk sementara mereka di Polresta. Bahwa mereka dibubarpaksakan dan dipukul oleh ormas Garuda. Yeri menjelaskan penangkapan itu berawal saat dua orang yang dicurigai sebagai intel datang menggunakan mobil warna putih untuk melakukan pemantauan sekitar pukul 09.07 Wita. Berdasarkan narasi peristiwa kekerasan terhadap Mahasiswa Papua di Kota Kupang dapat disimpulkan bahwasannya peristiwa tersebut sudah diseting oleh pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk ormas Garda Flobamora dan Garuda. Bahwasannya mahasiswa Papua dilihat sebagai ancaman bagi banyak kalangan, yang pada waktu dulu hanya oleh pejabat di Jakarta tetapi kini sudah mulai menjalar ke NTT. Garda Flobamora dan Garuda yang sesungguhnya adalah ormas berjiwa kemanusiaan tapi kini berubah rupa menjadi singa yang meraung-raung mencari mangsanya dan “anjing” yang siap melolong dan mengonggong bila diperintahkan. Dalil menghormati hajatan agama yang sedang berlangsung sebagaimana yang diungkapkan oleh Ormas Garda Flobamora dan Garuda merupakan ungkapan seorang tolol dan dungu jika dilihat dari semangat Cinta Kasih sebagai spirit utama ajaran Kristus. Mereka seperti sedang mabuk agama hingga melakukan kekerasan atas nama agama.
Minimnya pengetahuan anggota Ormas Garda Flobamora dan Garuda tentang konflik papua, membuat mereka begitu mudah di pengaruhi dan dikibuli hingga berlaku tak bermoral dan dangkal etika. Kata “merdeka” yang diutarakan mahasiswa Papua dalam aksi unjukrasa di kota Kupang sejatinya memiliki makna yang luas bukan sebatas pada melepaskan diri dari NKRI. Sikap ketakutan Jakarta atas teriakan merdeka mahasiswa papua seolah pada saat yang sama Papua hilang dari peta NKRI. Inilah yang menjadi alasan mendasar dari konflik Papua. Dengan cara apapun, Indonesia akan tetap mempertahakan Papua. Karena jika Papua lepas maka Indonesia akan kehilangan surga kecil yang jatuh ke bumi!.
Mahasiwa Papua angkat bicara dalam unjuk rasa damai merupakan sebuah ekspresi dan ungkapan hati dari mereka yang mengalami penindasan dan intimidasi selama puluhan tahun. Mereka merindukan damai dan Papua adalah tanah damai, namun berubah wajah menjadi neraka ketika eskalasi kekerasan mulai tumbuh diawal rezim orde baru. Pada konteks ini kita mesti mengerti kenapa mahasiwa Papua selalu berteriak menutut haknya. Jika saja orang asli papua sejak dulu diperlakukan secara manusiawi, adil dan beradab di atas tanah mereka sendiri, pastinya hari ini mereka tidak berteriak merdeka. Namun intrik jahat pilitik dan ekonomi kapitalis sejak rezim Suharto mewariskan jejak barisan sakit hati dan hati yang luka orang asli papua dan sejauh ini belum ada upaya untuk disembuhkan oleh Jakarta. Sejauh intrik jahat masih saja dipertahankan, Orang asli Papua terutama kaum cerdik pandai Papua akan terus bersuara menuntut hak atas bumi Papua yang saat ini sudah semakin masif dikuras oleh perusahaan multinasional dan BUMN. (*)