Oleh : Eddy Ngganggus
BERIKUT laporan perekembangan perolehan Laba Bank NTT sejak Desember tahun 2020 hingga Desember tahun 2023.
Sumber data annual report bank NTT
Jangan tutup mata dengan realita menurunya laba sebesar 49% atau sebesar Rp 115 milar 113 juta rupiah dari tahun 2020. Bagaimana bisa laba 4 tahun lalu lebih besar dari tahun 2023. Menurunnya laba ini menjadi pertanda buruk bagi Pemerintah daerah Kabupaten dan Propinsi NTT yang empunya bank. Mengapa ? karena laba harus bertumbuh. Pertumbuhan laba menjadi salah satu indikasi bank NTT itu sehat. Karena dari laba yang bertumbuh itu Pemerintah daerah akan mendapatkan pengembalian dalam bentuk deviden atas penyertaan modalnya.
Selain pertanda buruk bagi Pemerintah daerah selaku pemilik saham, juga pertanda buruk bagi OJK selaku pengawas bank, karena manfaat pengawasan mestinya berdampak pada bertumbuhnya laba bukannya menurun seperti yang terjadi saat ini. Kinerja dua unsur ini yakni Pemerintah daerah selaku Pesaham dan OJK selaku regulator berujung pada perlindungan kepentingan rakyat dan negara. Tidak ada yang bisa menjamin pasti tahun depan dan tahun-tahun berikutnya laba bank NTT bisa bertumbuh positip. History growth laba empat tahun ke belakang yakni 2020 hingga sekarang mengancam sustainability bisnis bank NTT.
Laba yang bertumbuh negatif selama 4 tahun ini mengancam keberlanjutan bisnis bank. Di saat dunia bisnis yang lain sudah berpikir tentang sustainibility growth pada sektor non finansial karena fondasi finansial perusahaan sudah kuat, bank NTT masih berkubang masuk ke dalam ancaman finasial terkhusus laba yang bertumbuh negatif. Jelas keberlanjutan bisnis seperti ini akan terancam. Keberlanjutan bisnis seperti apa yang terancam ? pertama social environmental, atau lingkungan sosial pada komunitas sesama perbankan di Indonesia. Pasar bank NTT akan tergerus oleh pesaing yang memiliki kemampuan menggerakan resources mereka untuk menginfiltrasi core bussines bank NTT yakni sektor konsumsi dari segmen ASN.
Pasar kredit konsumsi saat ini tidak hanya dikapling oleh sesama Lembaga Keuangan Bank (LKB), tetapi juga oleh Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) seperti koperasi dan lembaga leasing. Akibatnya bank NTT bermigrasi pada sektor produktif untuk memenuhi portofolio kreditnya. Padahal pembiayaan sektor produktif ini merupakan sumber penyumbang NPL (Non Performing Loan) terbesar. Kredit konsumsi kepada ASN banyak yang terlepas. Ibarat pepatah yang mengatakan mengharapkan burung terbang tinggi, punai di tangan di lepas, artinya mengharapkan keuntungan yang belum pasti, yang sudah dimiliki dibuang atau disia-siakan akibatnya kinerja laba menurun. Ancaman yang kedua adalah keberlanjutan pada sisi trust atau kepercayaan investor yang diharapkan dapat menambah modal untuk memenuhi target modal Rp 3 Triliun.
Ini akan menjadi ancaman lain, karena profitability growth atau pertumbuhan laba bank menjadi pertimbangan investor untuk menyertakan modalnya pada bank NTT. Desember 2024 bank NTT mesti memenuhi syarat modal Rp 3 T agar tidak turun status menjadi BPR. Pemerintah Propinsi NTT melalui suratnya Pj Gubernur NTT pak Yodia Kalake secara eksplisit sudah menyatakan tidak memberikan tambahan modal pada bank NTT di tahun 2024. Itu berarti bank NTT mesti mencari alternatif modal lain dari investor di luar pemegang saham exixting (yang ada saat ini).
Tahun 2023, perolehan Laba Bank NTT terkecil dibanding tahun sebelumnya. Di tunggu kiat Pengurus bank NTT, Para Pemegang Saham dan regulator bank di NTT untuk mengungkit kembali kinerja bank NTT bisa jaya seperti masa-masa sebelumnya. (*)