Oleh: Andreas Eka Putra Dung / Siswa SMAK Seminari St Paulus II Labuan Bajo
Kehidupan manusia tidak terlepas dari sebuah kebiasaan (folkways). Keberadaan budaya merupakan salah satu bentuk nyata dari masyarakat yang memiliki kebiasaan serta diterima secara umum dan dianggap pantas, luhur, dan suci.
Sebuah kebiasaan yang telah mendapatkan pengakuan dari masyarakat kemudian mengalami proses internalisasi nilai serta mendapatkan sebuah konseptualisasi yang utuh, juga yang selalu diwariskan dari generasi ke generasi.
Setiap lapisan masyarakat memiliki sebuah pemahaman bahwa budaya berangkat dari sebuah kebiasaan yang dianggap luhur, pantas, dan baik, serta bersifat ekuilibrum yakni yang tidak menimpang pihak lain.
Kebiasaan-kebiasaan seperti silahturahmi, berbelasungkawa dan berinteraksi merupakan suatu hal yang lumrah terjadi di masyarakat. Hal ini dianggap sebuah kebiasaan dan menjadi landasan dasar suatu komunitas masyarakat melahirkan budaya yang outentik berdasarkan kebiasaan silahturahmi, berbelasungkawa, serta melakukan dialog. Berangakat dari hal ini maka dibentuk sebuah budaya yang utuh serta selalu diedukasi ke generasi selanjutnya. Sehingga tidak mengherankan jika Indonesia mejadi negara dengan peringkat 39 sebagai negara kebudayaan terbanyak, peringkat ke 2 bahasa terbanyak peringkat 2 suku terbanyak di dunia.
Hal ini adalah hasil pencapaian dari Masyarakat Indonesia yang terus mempertahankan keutuhan budaya outentiknya setiap kebudayaan yang ada.
Masyarakat manggarai juga memliki budaya yang diangkat dari sebuah kebiasaan. Budaya manggarai sebagai salah satu dari jutaan budaya di Indonesia memliki budaya yang sangat outentik. Kebiasaan seperti silahturahmi, berbelasungkawa, dan berinteraksi mengalami proses inkulturasi dalam budaya Manggarai.
Kebiasaan silahturami dapat dilihat dalam budaya wagal yakni keluarga mempelai laki-laki membawa uang bellis (mas kawin) kepada keluarga mempelai wanita dalam hal berkaitan dengan perkawinan.
Mempelai pria meminang mempelai wanita dengan mas kawin atas dasar kesepakatan dari keluarga wanita dan keluarga pria dan diwakili dengan kata bellis, Kebiasaan Masyarakat pada umumnya yakni berbelasungkawa dalam budaya manggarai dapat dilihat dalam budaya lorang.
Budaya lorang merupakan kebiasaan adat masyarakat manggarai untuk berbelasungkawa kepada keluarga yang mengalami duka.
Biasanya ibu-ibu memberikan sejumlah beras, seng wae lu’u (uang duka) sebagai tanda turut mengucapkan duka.
Kebiasaan lain juga yakni memberikan kabar dapat dilihat dalam budaya manggarai yakni budaya wero. Budaya wero merupakan sebuah budaya dalam masyarakat manggarai yang mana seorang membawa kabar duka kepada orang-orang sekitar terutama kepada kepada yang jauh.
Sekilas beberapa kebisaan diatas mengindikasi bahwa adanya sebuah budaya berangkat dan lahir dari kebiasaan itu sendiri. Salah satu budaya yang ada dalam masyarakat manggarai sekaligus menjadi fokus perhatian penulis adalah budaya wuat wa’i.
Budaya wuat wa’i lahir dari sebuah kebiasaan dalam masyarakat dalam bentuk kerja sama, gotong royong atau saling membantu. Budaya wuat wa’I menjadi salah satu bentuk kerja sama dari masyarakat manggarai terutama kerja sama dalam bentuk finansial.
Adapun beberapa tata cara atau susunan dari upacara wuat wa’i yakni meliputi : Tuak reis (penerimaan tamu undangan yang disambut oleh tuan rumah yang mengadakan acara ini. Penerimaan ini dalam bentuk sapaan, salam kepada tamu yang hadir). Cau lime (artinya menjabatangan terutama kepada sang anak yang akan melanjutkan pendidikan dan biasanya juga diberikan uang). Tuak kapu (prosesi ini sebagai bentuk penghormatan kepada semua tamu yang hadir).
Bazar (tuan rumah menjual kepada tamu undangan sejumlah makanan asli manggarai seperti sate dengan harga biasanya lebih mahal, tetapi bukan harganya yang dilihat melainkan bentuk Kerjasama dalam pengumpulan dana). Dan yang terakhir adalah reqies (acaran hiburan seperti menyanyi, berjoget).
Budaya wuat wa’i menjadi bentuk kerja sama dari masyarakat manggarai dalam mengumpulkan dana untuk membantu suatu kelurga yang anggota keluaganya ingin melanjutka Pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Umumnya makin tinggi Pendidikan yang ditempuh maka makin mahal biaya pendidikan yang dikeluarkan.
Budaya demikian lazim dilakukan oleh setiap masyarakat yang berencana untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Sehingga dari hal ini anggota keluarga menanggung beban yang cukup ringan dari segi finansial dalam hal berkaitan dengan biaya pendidikan. Budaya wuat wa’i juga merupakan suatu bentuk nasehat deretan doa dan dukungan dari keluarga besar kepada seorang anak yang akan melanjutkan pendidikan.
Budaya wuat wa’i menjadi salah satu jalan yang keluar yang sangat membantu keluarga yang kurang mampu. Dalam data penduduk miskin menurut BPS NTT pada tahun 2020 tingkat kemiskinan dari wilayah manggarai mencapai 50 persen dengan rincian data manggarai timur 76,96 persen, kabupaten manggarai Tengah 69,52 persen, kabupaten manggarai barat 49,40 persen.
Kondisi seperti ini cukup miris dan dapat menghambat segala aspek pemenuhan kebutuhan salah satunya biaya pendidikan.
Beberapa pengakuan dari masyarakat manggarai juga mereka merasa sangat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan fianansial berkaitan dengan pendidikan sehingga tidak jarang anak-anak manggrai yang putus sekolah akibat dari kurangnya dana untuk melanjutkan pendidkan.
Budaya wuat wa’I menjadi salah satunya jalan dan juga sebagai bentuk kerja sama antara Masyarakat manggarai.
Budaya seperti ini mestinya terus dipertahankan karena sangat membantu dan sedikit menjawabi tuntutan zaman yang terus bergerak secara dinamis.(*)