Oleh: Gedofridus Dalu
Siswa SMAK Seminari St Yohanes Paulus II Labuan Bajo, Kelas XII
Negara Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang menganut sistem demokrasi. Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos dan krotos atau kratein. Kata demos dapat diartikan sebagai “rakyat” dan kratos atau kratein yang berarti “pemerintah”. Dengan demikian secara leksikal demokrasi dapat diartikan sebagai “pemerintahan dari rakyat”.
Kata pemerintah oleh rakyat memiliki konotasi (1) suatu pemerintah yang dipilih oleh rakyat dan (2) suatu pemerintah “oleh rakyat biasa” (bukan oleh kaum bangsawan), bahkan (3) suatu pemerintah oleh rakyat kecil dan miskin. Tujuan utama dari demokrasi sebenarnya untuk melawan konsep pemerintahan yang monarki atau yang dipimpin oleh satu orang (tunggal).
Demokrasi sebenarnya pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, namun konsep tersebut sudah mengalami keropos dikarenakan ada banyak aksi-aksi politik yang tidak benar dan menjadikan politik sebagai panggung untuk bersaing yang tidak sehat.
Dewasa sekarang politik dijadikan sebagai kontestasi kejahatan yang sangat terbuka. Berbagai bentuk praktik politik yang salah dipertontonkan kepada masyarakat secara gamblang.
Hal ini tentu memberikan pemahaman yang buruk terhadap masyarakat terkait dengan demokrasi yang ada di Indonesia.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh sebagian elit politik yang kini duduk di lembaga tinggi Negara yang membuat situasi kehidupan semakin memanas melalui pernyataan-pernyataan yang justru membuat masyarakat semakin marah, seakan-akan tidak lagi tersisa sikap dan prilaku mereka yang mengarah untuk penyelesaian masalah, selain sikap mengumpulkan kekuatan untuk saling rebut pengaruh. Selama egoisme, ambisi, kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, dan semua interes di luar kepentingan rakyat dan bangsa, maka segala upaya dari pihak manapun termasuk pemerintah tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan dengan tuntas, bahkan bangsa terus terpuruk dalam krisis yang lebih parah.
Ada begitu banyak bentuk praktik politik yang salah oleh kaum elit politik selama ini yang tentunya akan menggeser esensial dari demokrasi itu sendiri. Dua di antaranya adalah pertama money politic (poltik uang).
Sejauh ini ada begitu banyak realitas yang sering terjadi selama pilkada berlangsung yang di mana ada begitu banyak para elit politik yang berusaha memenangkan diri dengan mengedarkan uang kepada masyarakat, yang artinya mereka berusaha membeli suara rakyat.
Contoh kasus poltik uang yang menjadi bahan pembicaraan pada tahun 2019 kemarin, Kepala Biro penerangan masyarakat Divis Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan ada 35 kasus politik uang yang ditangani Tim Satgas anti politik uang.
Sebelumnya kasus money politic sampai hari ini (kemarin) yang ditangani aparat kepolisian ada 35 kasus, kata Brigjen Dedi di Mabes Polri.
Masih terkait politik uang bahwa anggota Banwaslu Mochammad Afifudin mengatakan pihaknya menangkap tangan peserta pemilu dan tim pemenangan yang diduga memberi uang kepada mayarakat.
Total terdapat 25 kasus, 25 kabupaten/kota yang tertangkap tangan hingga kemarin. Afifudin menuturkan kasus tersebut tersebar di 13 Profinsi di Indonesia.
“Profinsi dengan tangkapan terbanyak ialah di Jawa Barat dan Sumatra Utara,” jelasnya di gedung Banwaslu RI, Thamrin, Jakarta, kemarin.
Cara seperti ini merupakan cara yang tidak mencerminkan hakikat demokrasi itu sendiri, para elit politik berusaha untuk memenagkan diri dengan menggeserkan esensi demokrasi. Praktik poltik seperti ini tidak memberikan kontribusi yang baik dan berarti bagi tatanan demokrasi yang lebih baik dan berkualitas.
Kedua poltik identitas adalah politik yang akhir-akhir ini menjadi istilah yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia dan hal ini sangat identik dengan eksistensi politik yang ada di Indonesia. Setiap kali mengadakan pemilu hal yang tidak bisa dilepas dan tidak bisa dikupaskan adalah adanya praktik politik identitas.
Konsep politik yang merupakan hak peibadi dari setiap individu sudah mulai pudar yang di mana setiap individu di tekan oleh kelompok tertentu, sehingga bukan lagi pilihan menurut hati nurani, melainkan memilih berdasarkan identitas pribadi yang mengacu pada kelompok. Dengan demkian hakikat politik yang merupakan seni untuk menata keseimbangan hidup bersama, kini justru menjadi sumber perpecahan terhadap persatuan Bangsa. Dengan didukung oleh identitas negara Indonesia yang plural, tentu dapat mengakibatkan terbentuknya kelompok dengan identitas masing-masing kelompok.
Keberadaan dari kelompok-kelompok itupun dimanfaatkan dengan baik oleh para elit politik untuk mencapai tujuan yakni memenangkan pemilu dan pilkada. Sehingga dapat dikatakan bahwa politik hanya menjadi panggung untuk perang antar kelompok, yang tentunya berujung pada disitegrasi negara.
Salah satu contoh politik identitas yang tersingkap yaitu pilpres pada tahun 2019.
Ketika setiap calon pilpres ditinjau dari pemilihannya yakni ormas-ormas Islam survei Populi Center mengungkapkan bahwa tingginya dukungan masyarakat Muhamatdiyah terhadap Jokowi dan Ma’ruf Amin sebesar 72,1 persen, sedangkan Prabowo-Sandi 20,9 persen.
Adapun dukungan warga Nu terhadap Jokowi-Ma’ruf Amin sebesar 56,1 persen, sisanya 27,8 persen itu memilih Prabowo-Sandi. Adapula mayoritas persatuan Islam (persis) menambatkan pilihanya ke palson 02 sebesar 64,3 persen, sedangkan paslon 01 hanya 35,7 persen. Selain itu menarik yaitu Prabowo mendapat 100 persen dukungan dari FPI.
Kenyataan politik seperti di atas menunjukan keterlibatan agama dalam ruang politik di Indonesia.
Hal ini sungguh menyedihkan karena kelompok agama terjebak dalam jurang praktik politik yang secara umum itu merupakan hal yang sangat fatal dan salah. Agama adalah kelompok-kelompok yang cukup besar yang sudah diperalat oleh kaum elit politik hanya untuk memenangkan hasrat dan kemauan dari kaum elit politik.
Tentunya hal ini merupakan hal yang sangat salah karena menjadikan agama sebagai topeng untuk memenangkan niat atau hasrat dari kelompok-kelompok tertentu, dan secara perlahan-lahan hal ini sudah memecahkan persatuan bangsa, karena bukan tidak mungkin politik seperti ini bisa membawa kepada disintegrasi negara.
Dengan demikian subtansi agama sebagai media untuk mempersatukan pribadi-pribadi yang mempunyai keyakinan yang sama dan keyakinan yang berbeda yang mempunyai tujuan yang sama dalam ruang politik, itu sudah mengalami pergeseran, dan hal ini bisa dilihat secara bersama bagaimana keterlibatan agama seperti yang di paparkan pada kalimat di atas dalam ruang politik.
Namun apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur, dan yang kita bisa hanya mengeluh dan menggerutu melihat para pejabat dalam ruang politik yang berjuang untuk kelompok tertentu. Tentunya satu-satunya harapan besar masyarakat biasa adalah bagaimana para elit politik bisa menerima aspirasi rakyat untuk menyesejahtrakan masyarakat.(*)