Opini  

Tidak semua dendam itu buruk

Oleh : Edy Ngganggus

 

ADANYA penjara adalah memaksudkan pelembagaan “dendam” yang dikontrol. Ini tidak berpretensi orang bebas merestui dendam tanpa kendali.
Adanya pengubahan sebutan Narapidana menjadi warga binaan misalnya adalah inplisit bahwa dendam itu sesungguhnya direstui. Motif dendam disini untuk membuat perubahan yang lebih baik. Muskhil tanpa dendam ada semangat menjerakan penjahat menjadi orang baik.

Dendam yang dikendalikan

Apapun kejahatan akan meninggalkan luka setidaknya kesan bagi korban kejahatan. Mustahil luka itu bisa hilang segera meskipun dengan dogma rohani yang sangat dihormati sekalipun. Mata ganti mata, gigi ganti gigi adalah salah satu prinsip balas dendam ala purba yang tentunya punya alas legitimasi sebagai alat pemburu keadilan. Juga sebagail alat penjera agar yang lain tidak melakukan kejahatan. Mengenakan prinsip ini di era penghargaan pada HAM adalah sebuah kontras. Dendam dalam kemuliaan HAM akan menampakan sisi maskulin dari hukum. Sisi jantan dari hukum.
Hukum akan menjadi feminim bahkan banci di depan para penjahat bila lantaran atas nama HAM meniadakan “dendam” kepada para pelaku kejahatan.
Motif dendam yang maskulin adalah karena KASIH. Motif dendam yang feminim adalah karena BENCI. Disinilah perbedaan keduanya hukum yang maskulin dan hukum yang feminim. Pada mulanya dendam karena benci lalu perlahan dendam itu di rubah menjadi dendam karena kasih. Ini tampak contradiction in terminis, namun itulah paradigma dendam yang terkendali. Dendam yang dikendalikan oleh nalar yang baik dan benar dengan harapan setelah para pelaku kejahatan dihukum mereka bisa berubah menjadi orang yang baik jika masih ada niat untuk berubah menjadi orang baik, atau disingkirkan oleh orang lain dari komunitas pergaulan sosial.

“Dendam yang baik itu adalah dendam yang dikendalikan oleh kebenaran dan kebaikan”

Bila pada PEMILU kemarin ditemui ada pelaku kejahatan, maka mereka layak di dendam untuk memenuhi rasa adil bagi korban kejahatan juga sekaligus untuk menyingkirkan peran mereka dari pilihan kelak pada hajatan yang serupa. Boleh jadi mereka tidak terjerat hukuman karena banyak pembenaran oleh mereka yang melakukan pelanggaran sehingga sulit dibuktikan dengan hukum positip. Untuk jenis penjahat seperti ini mereka layak di dendam. Di dendam secara maskulin yakni dendam karena cinta pada Indonesia, dendam karena cinta kepada orang banyak. Bila ada benci pada para pelaku kecurangan itu layak, tetapi pastikan benci itu bukan untuk dibalas dengan kejahatan, tetapi benci karena cinta pada kebaikan. Seperti yang diplesetkan orang bahwa BENCI itu adalah akronim dari benar-benar cinta.

Semoga pas….

Refleksi sore ini di bawah guyuran hujan di Liliba ,21 Maret 2024