Opini  

Perlakuan Diskriminatif Terhadap Gender Perempuan Dalam Budaya Manggarai

Perempuan Manggarai / foto: istimewa

Oleh : Hilarius S. Yance D
(SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo)

Pasal 1 UUD 1945 menegasikan kemerdekaan manusia sebagai makhluk yang berkodrat sama. Tidak diperbolehkan mengintimidasi kelompok lain. Perbedaan yang ada dalam kehidupan manusia tidak menjadi pintu masuk tindakan yang diskriminatif.

Berangkat dari UU tersebut, sebuah realitas yang menurut saya perlu kembali dibenah adalah perlakuan diskriminatif terhadap kelompok perempuan sebagai akibat dari tradisi yang dianut dalam masyarakat Manggarai.

Beberapa contoh perlakuan yang mengindikasikan adanya perlakuan diskriminatif tersebut antara lain, tidak terlibatnya perempuan dalam nempung (musyawarah), kesempatan mendapat pendidikan, serta peran perempuan sebagai subjek kedua dalam lingkaran keluarga dan lain-lain.

Realitas tersebut menegasikan kondisi sosial masyarakat yang perlu dibenah. Diskriminasi gender dengan dalil kebudayaan tidak dapat dibenarkan secara esensi kesemartabatan manusia. Situasi tersebut mengindikasikan adanya ketimpangan sosial yang berkepanjangan jika tetap dipertahankan sebagai sebuah kebenaran secara kultural.

Dalam ilmu Sosiologi perlakuan diskriminasi terhadap gender merupakan sebuah bentuk ketimpangan sosial yang dapat berimplikasi pada masalah sosial lain seperti konflik soial, kecemmburuan sosial, dll. Untuk itu perlu sebuah upaya reduksi terhadap intensitas perlakuan diskriminatif sekaligus upaya resistensi terhadap doktrin budaya yang salah. Doktrin budaya yang diwariskan tak dapat dimeterai sebagai kebenaran absolut.

Ada beberapa landasan untuk meresistensi perlakuan diskriminatif tersebut.

Pertama, berdasarkan pasal 4 UUD 1945 disebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang bermartabat sehingga harus dibebaskan dari segala bentuk perhambaan dengan segala dalil yang mendukung.

Dalam kasus budaya Manggarai pelanggaran terhadap pasal tersebut termanifestasi dalam beberapa peristiwa diskriminatif. Misalnya ketidakterlibatan kaum perempuan dalam mengambil keputusan. Nempung, musyawarah, merupakan peran laki-laki dalam menyelesaikan persoalan dan membuat rancangan dalam masyarakat. Peran sentral laki-laki menjadikan kehadiran perempuan hanya sebagai pelayan saja.

Mereka tidak mendapat kebebasan memberikan pendapat, dan terlibat dalam demokrasi dalam lingkup masyarakat. Realitas ini sangat kontras dengan UU perlindungan terhadap HAM di atas. Perlakuan tersebut mengindikasikan adanya stratifikasi martabat dalam budaya.

Stratifikasi dengan klasifikasi berdasarkan gender tersebut melahirkan ketidaksetaraan martabat yang didasari oleh doktrin budaya yang diwariskan secara turun temurun. Kelemahan utamanya adalah minimnya kritisasi terhadap warisan yang diterima. Warisan tersebut diterima kemudian diwariskan lagi tanpa mempertimbangkan dimensi kemanusiaan yang dilanggar dalam doktrin yang diterima.

Jika terus dibiarkan, dengan sendirinya menjadi perempuan yang lahir dalam budaya manggarai akan mengalami perlakuan yang sama. Pelanggaran kemanusiaan tersebut akan menjadi rantai tak terputuskan selama itu tak dikritisi.

Kedua, Pasal 6 UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang memiliki kesamaan dihadapan hukum sebagai pribadi di manapun ia berada. UU ini menegaskan tentang kesemartabatan manusia yang termanifestasi dalam kesamaan perlakuan di hadapan hukum.

Dalam kasus buadaya Manggarai, sebagaimana budaya lain, yang memiliki hukum budaya untuk menyelesaikan kasus dalam ranah budaya.

Namun ironisnya, lagi-lagi kita mendapati perlakuan yang tidak menghargai martabat perempuan. Contoh kasusnya adalah ela wase lima. Hukum ini menuntut kaum pria yang telah berselingkuh dengan perempuan lain membayar dengan harga lima ekor babi. Sebuah harga yang cukup rendah terhadap harga kemanusiaan. Setelah pemberian hukum ini pun, pihak laki-laki tidak diproses ke ranah hukum.

Maka perempuan sebagai korban menjadi manusia bisu yang tak perlu memprotes kebijakan budaya tersebut. Sebab dirinya telah dibayar dengan harag yang telah ditentukan oleh elite budaya. Sementara si pelaku tetap menikmati hari-hari indahnya jauh dari hukuman yang setimpal dengan perlakuannya. Bayangkan saja jika seseorang yang memiliki seratus ekor babi. Dia dapat melakukan pelecehan dengan dua puluh orang perempuan asal saja mampu membayar denda.

Tidak hanya kasus itu, hukum budaya dalam menyikapi pelanggaran HAM terhadap kaum perempuan juga tak mendapat respons yang serius. KDRT dan sejenisnya biasanya diselesaikan dengan proses budaya yang kerap kali merugikan kaum perempuan secara fisik maupun secara kesetaraan martabat.

Ketiga, pasal 25 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 menegaskan tentang kesetaraan dalam kesempatan mendapatkan pendidikan. Dalam budaya Manggarai untuk laki-laki disebut sebagai ata one (orang dalam) sedangkan untuk perempuan disebut ata peang (orang luar). Orang dalam dimaksudkan laki-laki akan menjadi pewaris kekayaan dan harta keluarga, serta menjadi penerus keturunan. Ia akan tinggal menetap di tanah kelahirannya dan merawat orang tuanya.

Sedangkan orang luar, perempuan, berarti kaum perempuan akan meninggalkan orang tuanya dan mengikuti suaminya. Otomatis ia tidak mendapat harta orang tuanya. Ia akan menikmati harta suaminya yang berasal dari warisan dari orang tuanya. Persoalan yang muncul sebagai akibat dari status seorang anak perempauan dalam keluaraga (khususnya anggapan bahwa ia adalah orang luar) adalah diskriminasi dalam mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Laki-laki menjadi prioritas untuk disekolahkan.

Perempuan tak terlalu diutamakan sebab ia tidak memberi kontribusi terhadap keberlangsungan keluarga dan budayanya. Dengan tak berpendidikan, maka muncullah masalah baru. Ibu rumah tangga yang sebagian besar adalah perempuan yang tak mendapat pendidikan yang baik. Maka besar kemungkinan, perempuan tetap menjadi pekerja kasar dan mendapat upah yang rendah saat bekerja. Dengan demikian maka cita-cita membangun SDM secara merata akan terhambat oleh tradisi budaya yang sebenarnya tak sejalan dengan konsep kesetaraan martabat manusia di balik seluruh perbedaannya.

Realitas budaya Manggarai di atas mesti dikritisi dengan dalil yang berbeda dari faktor yang membentuknya. Dari dalil budaya yang sempit, kita membuka dalil kemanusiaan untuk menghindari ketimpangan yang mengorbankan kelompok lain bahkan martabat kemanusiaan. Perilaku diskriminatif terhadap perempuan dalam budaya Manggarai hendaaknya dikritisi. Kaum laki-laki tidak boleh tinggal dalam kenyamanan dan privelese yang diberikan oleh budaya.

Sementara di pihak lain, kaum perempuan tarus menanggung beban akibat doktrin budaya. Diskriminasi dengan alasan kebuadayaan yang terjadi dalam budaya Manggarai sangatlah memprihatinkan. Kaum perempuan yang menjadi korban mesti mendapat perlakuan yang sama dalam setiap aspek kehidupan. Tinjauan kulutral mesti menjadi sarana memperjuangkan martabat manusia yang sama. Bukan malah sebaliknya.

Perempuan sebagai makhluk yang bebas mesti berpartisipasi dalam menyelesaikan persoalan dalam lingkup hidupnya. Ia juga mesti diberi kesempatan kesamaan perlakuan di hadapan hukum budaya; serta mendapat kesempatan yang sama menikmati pendidikan sebagai upaya menjunjung martabat manusia yang berbudi pekerti.

Dengan perlakuan yang sama, perempuan terhindar dari perendahan martabat yang menggurita dalam budaya Manggarai. Mereka juga dapat menjadi subjek pembangunan. Lehih dari itu mereka terbebas dari kungkungan budaya yang mengedepankan asumsi kessakralan warisan budaya. Artinya, budaya mesti dikritisi dengan baik agar tak mengorbankan kelompok tertentu dalam kelompok masyarakat.

Di masa reformasi ini, hendaknya semua elemen masyarakat bekerja sama, terlepas dari dimensi diversitasnya. Tujuan utamanya adalah agar tercapai bonnum commune demi dimensi kemanusiaan yang memiliki martabat yang sama dan terciptanya harmonisme hidup bersama.(*)