Oleh : Hans Ita (*)
JACOBUS Andreas Soekarno Hatta Adam yang akrab dipanggil Jack Adam, si anak polisi yang bertumbuh menjadi dewasa lalu kemudian berkarier sebagai pegawai negeri di Kantor Gubernur NTT era kepemimpinan Gubernur El Tari. Rupanya, pilihan sebagai pegawai negeri hanya seumur jagung. Sebab, Jack kemudian memilih menjadi wartawan.
Jack Adam merintis karirnya di dunia wartawan sebagai Koresponden harian Suara Karya di Kupang. Itu pun tak lama karena Jack pindah ke Sinar Harapan, sebuah koran harian terbesar di Tanah Air yang kemudian dibredel oleh penguasa Orde Baru. Jack kemudian melanjutkan karirnya sebagai wartawan di koran harian Suara Pembaruan (Sinar Harapan wajah baru) hingga dengan pensiun dan menikmati masa tuanya bersama istri tercinta: Mama Anna, putrinya semata wayang: Maria, dan menantunya Phenk Pellokila beserta kedua cucunya yang lagi lucu-lucunya.
Jack saking cintanya pada Sinar Harapan kala itu yang telah membesarkan namanya pernah menolak tawaran menggiurkan dari sebuah Majalah Berita Mingguan ternama di Jakarta. Jack kepada saya bulan April lalu mengisahkan bahwa majalah tersebut minta dirinya keluar dari Sinar Harapan dan pindah ke Jakarta dengan gaji dan fasilitas yang memadai.
“Hans, beta lebih cinta Sinar Harapan meski majalah itu menawarkan gaji cukup besar,” kata Jack dalam obrolan kami melalui telepon siang itu.
Jack yang saya kenal adalah tipe wartawan yang punya warna tersendiri dalam menghasilkan karya tulis di koran tempatnya bekerja. Ia adalah wartawan yang sulit dipengaruhi dengan cara apa pun. Dia adalah tipe wartawan yang tetap konsisten dengan panggilan nuraninya. Itulah sebab, dia dianggap “kurang bersahabat” pada masa itu karena memang sulit diajak kompromi dengan hal-hal yang sifatnya bertentangan dengan nurani.
Itulah Jack Adam yang saya kenal. Sosok wartawan yang tak mudah “dibeli” atau ditukar penanya dengan lembaran rupiah. Dalam obrolan kami yang terakhir pada pertengahan April 2024, dia menyatakan keprihatinannya terhadap wartawan masa kini: nilai-nilai etika dan moral mulai bergeser karena tuntutan zaman yang serba instan.
“Jika ingin kaya jangan jadi wartawan tapi jadilah pengusaha, karena profesi wartawan tidak pernah menjanjikan kekayaan,” kata Jack dalam obrolan kami pada tanggal 15 April 2024.
Saya mengenal baik Jack Adam sejak 42 tahun yang lalu. Bukan hanya sebatas teman, tapi sahabat dan sebagai saudara. Meskipun kami berjauhan tapi komunikasi tetap terjalin dengan baik sampai dengan jelang akhir hayatnya.
Saya ingat ketika masih bertugas di Kupang sebagai Wartawan harian Merdeka, dia bersama Istrinya Mama Anna bertandang ke rumah saya pada suatu siang. Mereka membawakan seekor ikan tuna cakalang besar sebagai oleh-oleh buat istri saya. Dan masih belum pupus dari ingatan saya, pada suatu saat Bung Jack menitipkan sejumlah uang untuk anak saya yang baru berusia lima tahun. Peristiwa ini tetap kukenang sepanjang hayat. Bagi saya, bukan ikan dan uang tapi nilai persahabatan dan persaudaraan antara saya dengan Bung Jack dan Istrinya Mama Anna, itu tidak dapat diukur dengan apapun juga.
Bagi saya, Jack bukan tipe orang yang ingin dipuji tapi itulah sosok Jack Adam dan Mama Anna yang selalu membuka pintu rumahnya bagi siapa saja, khusus bagi para wartawan teman-teman Bung Jack.
Jika hari jelang siang, maka rumah di Merdeka jadi tempat nongkrong sejumlah wartawan media cetak maupun teman-teman dari RRI Kupang. Namun itu dulu, karena sudah lama banyak diantara mereka yang telah tiada. Sebut saja, Piter Amalo, Peter Rumlaklak, Martinus Tse, Marcel Abineno, Mola Ngefak, Peter Rohi, Aco Manafe, Jop Pandie, Jusak Riwu Rohi, Daniel Tifa dan sastrawan Gerson Poyk
Dan hari ini, Sabtu (4/5/2024), rumah di Merdeka diliputi mendung duka dan air mata karena Bung Jack Adam telah tiada. Dia dipanggil pulang menghadap sang Pencipta-Nya ke tempat keabadian.
Ada sepenggal kalimat yang Jack ucapkan terakhir kepada saya pada pertengahan bulan April 2024, “Semua wartawan di era kita telah tiada. Tinggal beta dengan Hans saja, dan beta sudah siap kapan saja Tete Manis panggil.” (*)