Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk (Biarawan)
Pengantar
“Yang paling hebat bagi seorang guru adalah mendidik, dan rekreasi yang paling indah adalah mengajar.” … Maimoen Zubair
“Jangan setengah hati menjadi guru, karena anak didik kita telah membuka sepenuh hatinya.”… Ki Hajar Dewantara
Peradaban suatu bangsa sangat ditentukan oleh pendidikkan. Artinya jika pendidikan suatu bangsa berkualitas, maka peradaban bangsa itu akan menjadi bagus, dan sebaliknya. Apa itu peradaban? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peradaban diartikan sebagai kemajuan kecerdasan atau kebudayaan lahir batin, atau dapat juga diartikan sebagai hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Sedangkan, menurut Arnold Toynbee, arti peradaban adalah kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang lebih tinggi. Arnold juga menyebut peradaban sebagai kumpulan seluruh hasil budi daya manusia yang mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik fisik maupun non-fisik. Dan semua itu tidak terlepas dari peran guru dalam mewujudkan pendidikkan yang berkualitas. Jadi, pendididikkan akan berkualitas, jika gurunya juga berkualitas. Dengan demikian, guru yang berkualitas, menjadi kunci pendidikan yang berkualitas, yang tercermin pada kualitas diri peserta didik, lewat cara hidup, cara bersikap, cara berperilaku, cara bertutur kata, dan cara bertindak beradab.
Pertanyaannya adalah seperti apa ciri guru yang berkualitas itu? Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Bahwa guru yang berkualitas itu adalah guru yang memiliki kualifikasi akademik dan memenuhi atau menguasai 4 kompetensi guru, yakni: (1) Kompetensi Kepribadian: adalah kemampuan personal yang dapat mencerminkan kepribadian seseorang yang dewasa, arif dan berwibawa, mantap, stabil, berakhlak mulia, serta dapat menjadi teladan yang baik bagi peserta didik. (2) Kompetensi Pedagogik adalah: yaitu kemampuan seorang guru dalam memahami peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, pengembangan peserta didik, dan evaluasi hasil belajar peserta didik, untuk mengaktualisasi potensi yang mereka miliki. (3) Kompetensi Sosial yaitu kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru untuk berkomunikasi dan bergaul dengan tenaga kependidikan, peserta didik, orang tua peserta didik, dan masyarakat di sekitar sekolah. (4) Kompetensi Profesional yakni penguasaan terhadap materi pembelajaran dengan lebih luas dan mendalam. Mencakup penguasaan terhadap materi kurikulum mata pelajaran dan substansi ilmu yang menaungi materi pembelajaran dan menguasai struktur serta metodologi keilmuannya.
Jadi, inilah ciri guru yang berkualitas, yakni memiliki kualifikasi akadenik serta memenuhi dan menguasai 4 kompetensi guru, jika ingin pendidikkan berkualitas. Dieja lebih jauh, bahwa arti kualitas pendidikan, sesungguhnya tidak hanya soal kualitas hasil, melainkan soal kualitas proses. Bahkan kualitas proses jauh lebih penting daripada hasil. Mengapa? Sebab, proses yang baik, dan berkualitas, pasti hasilnya juga baik, dan berkualitas. Bahwa, proses yang baik dan berkualitas, tidak akan pernah mengkhianati hasil yang baik dan berkualitas pula. Dan yang perlu dipahami ialah bahwa kualitas hasil pendidikan tidak hanya diukur dalam bentuk angka (kuantitatif) dari kognitif, psikomotorik, atau keterampilan, melainkan juga dalam bentuk kualitatif dari, afektif, atau karakter.atau profil pelajar pancasila. Dan justeru peserta didik yang memiliki karakter yang baik atau memiliki profil pelajar pancasila yang baik, merupakan muara atau goal visi pendidikkan kurikulum merdeka
Menakar Peran Guru
Peran seorang guru, sesungguhnya melekat pada kata guru itu sendiri. Kata Guru dalam bahasa sansekerta secara etimologi berasal dari dua suku kata yaitu Gu artinya darkness (kegelapan) dan Ru artinya light (terang). Secara harafiah guru atau pendidik adalah orang yang menunjukkan “cahaya terang” atau pengetahuan dan memusnahkan kebodohan atau kegelapan. Bahwa manusia secara alamiah pada mulanya adalah “gu” yaitu tidak berpengetahuan atau gelap. Dalam posisi ini sering disebut masih belum memiliki arah atau orientasi. Setelah menjalani pendidikan ia akan menjadi “ru” atau terang, bercahaya, bersinar,
karena disinari oleh pengetahuan yang dimilikinya. Menurut Sudira (2012:2) bahwa proses transformasi dari “gu” ke “ru” atau gelap (awidya = kurang berpengetahuan) menuju terang (widya = berpengetahuan) berjalan secara terus menerus tanpa henti, sebagai proses long life education.
Sedangkan kata guru dalam istilah bahasa Jawa. sering diistilahkan dengan “digugu lan ditiru”, yang berarti orang yang patut dipercaya, dan diikuti nasihatnya. Namun kata guru ini menurut kamus besar bahasa indonesia adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar, mendidik. Jadi kemampuan guru adalah suatu perilaku kemampuan seseorang dalam melaksanakan kewajiban dengan penuh tanggungjawab (Soejipo dan Kosasi 2009: 37). Dalam bahasa Inggris, guru atau teacher merupakan kata benda yang berarti pengajar atau seorang ahli spiritual. Oleh karena itu, guru bermakna sebagai pemberi pengetahuan. Guru juga dimaknai sebagai kata sifat yang berarti heavy atau berat. Dalam hal ini menunjukkan bahwa guru memiliki pengetahuan yang berbobot.
Menurut UU RI. Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen pada bab I pasal 1 dinyatakan bahwa “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah” (PP No. 41 tahun 2009 pasal 1).
Hal ini ditegaskan pula pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), bahwa guru (pendidik) merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (Sisdiknas:2003)
Oleh karena itu, peran guru sangat penting dalam dunia pendidikan, mengapa? Sebab, guru merupakan garda terdepan, dalam menghasilkan pendidikkan yang berkualitas. Tidak hanya itu, guru juga merupakan orang kunci dalam transformasi pendidikkan dan peradaban bangsa. Secara umum peran umum mencakup peran sebagai:
[1] Pendidik (educator): sebagai seorang pendidik, guru harus bertanggung jawab dalam mendidik peserta didik. Apa arti dari mendidik? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata mendidik, berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) soal akhlak dan kecerdasan. Sedangkan menurut Ki Hadjar Dewantara, mendidik berarti menuntun segala kodrat yang ada pada murid, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik itu sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Lalu, menurut Sardiman, mendidik dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaan, baik secara jasamani maupun rohani. Oleh karena itu, mendidik dikatakan sebagai upaya pembinaan pribadi, sikap mental, dan akhlak anak didik. Dari arti di atas, maka mendidik berarti membentuk atau mengolah hati, mengolah emosi atau rasa, perasaan. Atau mendidik berarti membentuk karakter. Dan Aristoteles seorang Filsuf Yunani, menegaskan bahwa, “mendidik pikiran tanpa mendidik hati, bukanlah pendidikan sama sekali. Dengan demikian, seorang pendidik (guru) tugas utamanya adalah mendidik, baru mengajar. Artinya didalam kegiatan mendidik, terkandung unsur mengajar. Dengan demikian, mendidik berarti kegiatan integratif olah pikir (literasi dan numerasi), olah hati (etika), olah rasa (estetika) dan olah raga (kinestetik). Ingatlah pula, bahwa sekolah itu lembaga atau institusi pendidikkan, dan bukan lembaga atau institusi pengajaran. Oleh karena itu, perbuatan mendidik itu yang pertama dan yang utama, dan di saat yang sama terjadi perbuatan mengajar. Namun, fakta berbicara para pendidik (guru) fokus pada mengajar, dan terkadang mengabaikan unsur mendidik. Jadilah pribadi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga baik hati, karena itulah yang akan membuat dunia kita lebih baik.” Dan hal itu, dimulai dari diri guru melalui keteladanan dan pembiasaan yang baik. Ingat ungkapan latin ini: “verba moven, exempla trahunt”, yang artinya kata-kata menggerakan, namun teladan hidup lebih menarik. Atau “verba docent, exempla trahunt”, yang artinya: kata-kata mengajarkan, namun teladan hidup lebih memikat. Dan banyak kali, guru mengabaikan peran utama ini. Padahal tugas utamanya adalah mendidik, bsru mengajar. Namun, dalam praktiknya dibalik, mengajar yang diutamakan, atau menjadi fokus utama, dan mengesampingkan mendidik. Akibatnya, hasil pendidikkan kita, melahirkan peserta didik yang pintar, pandai, namun karakternya kurang baik.
(2) Pengajar (teacher): sebagai seorang pengajar, guru berperan dalam mengajar peserta didik. Apa arti dari mengajar? Mengajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang untuk menanamkan pengetahuan kepada siswa dengan cara menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif untuk melakukan proses belajar. Atau mengajar bermakna proses mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan semata. Namun, yang harus disadari adalah untuk bisa melakukan transfer ilmu, maka seotang guru harus memiliki saldo prngetahuan. Seperti dalam ungkapan Latin: Nemo Dat Quod Non Habet, yang artinya tak seorang pun mampu menberikan hal yang tak dia miliki. Untuk itu, maka seorang guru harus selalu memiliki saldo yang banyak dengan cara belajar terus dan terus belajar. Joseph Joubert mengatakan bahwa mengajar adalah belajar dua kali. Artinya, seorang guru sebelum mengajar, dia harus belajar terlebih dahulu. Jadi, yang dilakukan oleh seorang guru, saat bersama peserta didik adalah belajar bersama peserta didik, dan saat belajar itulah guru mengajar. Dengan demikian benarlah ungkapan kegiatan belajar mengajar (KBM) dan bukan kegiatan mengajar belajar (KMB). Oleh karena itu, Phil Collins, mengatakan bahwa: “dalam belajar guru akan mengajar, dan dalam mengajar guru akan belajar.” Namun, pertanyaannya adalah apa yang harus dilakukan oleh seorang pengajar (guru), agar peserta didik dapat menguasai ilmu pengetahuan yang ditransferkan itu? Yang harus dilakukan adslah pembelajaran harus semenarik mungkin, bahasa mudah dipahami oleh peserta didik (tidak berbeli-belit atau mbulet), sehingga membingungkan, suara harus jelas dan lantang, kelompokan peserta didik, sesuai gaya, tipe atau karakteristik belajar peserta didik (visual, auditori, kinestetik), penjelasan materi harus sistematis, metode harus bervariasi, sehingga tidak jenuh, dan tidak monoton, gunakan media pembelajaran, harus ada interaksi antar peserta didik dan guru, serta umpan balik (feedback). Oleh karena itu, Albert Einstein mengatakan bahwa seni tertinggi guru adalah membangkitkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan.
(3) Pembimbing (mentor): sebagai seorang pembimbing, guru berperan dalam membimbing dan membantu peserta didik dalam menggali, menemukan dan mengembangkan potensi mereka. Mereka diberikan bimbingan akademik, serta membantu peserta didik dalam mengatasi kesulitan belajar, dan merencanakan karir, serta mengatasi tantangan pribadinya.
(4) Pengarah (director): sebagai seorang pengarah, guru berperan dalam mengarah, menuntun, menunjukan arah dan jalan yang baik dan benar kepada peserta didik. Dengan demikian, peserta didik tidak salah arah alias tersesat, didalam peziarahan guna mencari dan menemukan kebijaksanaan. Hal ini, dipertegas oleh Ki Hajar Dewantara, yakni: “anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu”. Atau fengan kata lain, bahwa guru itu hanyalah sebagai fasilitator dalam pembelajaran. Sebagai fasilitator pembelajaran, maka guru harus menciptakan lingkungan atau ruang kreatifitas, sehingga peserta didik dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran
(5) Pelatih (coach): sebagai seorang pelatih, guru berperan dalam melatih peserta didik, agar menjadi cakap, mahir, dan terampil. Bila ditinjau dari segi isi, maka melatih peserta didik, agar mereka memiliki keterampilan atau kecakapan hidup (life skills). Bila ditinjau dari prosesnya, maka melatih peserta didik, dapat dilakukan dengan menjadi contoh (role model) dan teladan dalam hal moral dan kepribadian. Sedangkan bila ditinjau dari strategi dan metode yang dapat digunakan, maka dapat dilakukan melalui praktik kerja, simulasi, dan magang.
(6) Penilai dan pengevaluasi (assesor and evaluator): sebagai seorang assesor dan evaluator, guru berperan dalam melakukan penilaian dan evaluasi, terhadap kemajuan peserta didik dalam memahami materi pembelajaran. Dengan melakukan pemilaian dan evaluasi, maka guru dapat melihat kualitas dirinya. Selain dari itu, hasil dari penilaian dan evaluasi juga dapat dijadikan bahan untuk memperbaiki pembelajaran, khususnya pada kegiatan proses. Jadi, esensi dari penilaian dan evaluasi, adalah sebagai alat untuk menakar kualitas guru dan juga peserta didik, baik kualitas proses maupun kualitas hasil.
Penutup
“Siswa tidak membutuhkan guru yang sempurna. Siswa membutuhkan seorang guru yang bahagia. Seseorang yang akan membuat mereka bersemangat untuk datang ke sekolah dan menumbuhkan kecintaan untuk belajar.”
“Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja tetapi harus juga mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum.”… Ki Hadjar Dewantara
Untuk menakar peran guru, rujukanya adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada Undang-undang tersebut, dijelaskan tentang peran guru profesional, yang terdiri atas 6 butir. Bahwa guru profesional merupakan garda terdepan dan juga orang kunci dalam transformasi pendidikkan dan peradaban bangsa. Sebagai seorang profesional, guru harus memiliki 6 butir peran sentral dan esensial, sebagaimana yang diamanat dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya pada bab I pasal 1.
Oleh karena itu, untuk menakar peran guru, dapat dilihat sejauh mana 6 butir amanat UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya pada bab I pasal 1 itu, sudah terpatri dan terinternalisasi dalam dirinya dengan baik dan sudah mengimplementasikannya dalam membelajarkan peserta didik? Untuk itu, para guru dipersilahkan untuk mengintrospeksi diri, apakah sudah mengimplementasikan 6 butir amanat UU No. 14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen dengan baik? Sebagai seorang tenaga profeaional, harusnya ke-6 butir itu, sudah diimplementasikan dengan baik. Dan jika salah satu dari ke-6 butir itu diabaikan, maka tidak layak disebut sebagai Guru dan Dosen profesional.
Jadi, untuk menakar peran guru, dapat dilihat dari seorang guru mengeksekusi ke-6 butir amanat UU No. 14 tahun 2005, khususnya pada bab I pasal 1, dalam membelajarkan peserta didik. Namun tidak berhenti di sini, melainkan harus terjadinya tranformasi dan peradaban dalam diri peserta didik sebagai generasi emas bangsa. Sebagaimana yang disampaikan oleh Robert John Mehan bahwa: “guru yang berbakat tidak hanya dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan anak masa kini, tetapi juga siap untuk meramalkan harapan dan impian setiap anak di masa depan.”