Opini  

Nataru Sebagai Momentum Transformasi Diri (Sebuah Refleksi)

Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk - Ka SMPK

Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk

 

“Natal adalah saatnya kita saling memaafkan dan memulai hubungan baru.”, sedangkan tahun baru, waktunya merenung dan mensyukuri semua pelajaran yang telah kita dapatkan di tahun sebelumnya.”

“Bukan berapa banyak yang kita berikan tetapi berapa banyak cinta yang kita berikan untuk memberi”…Bunda Teresa

 

Asal Usul Natal Dan Maknanya

Setiap tanggal 25 Desember umat Kristiani sejagat merayakan Hari Raya Natal. Dalam bahasa Inggris, Natal disebut dengan Christmas, yang berasal dari kata Cristes maesse, yang berarti Mass of Christ (Misa Kristus). Hari suci umat Kristiani ini merupakan peringatan atas kelahiran Yesus Kristus. Perayaan Natal dulunya merupakan tradisi Kekaisaran Romawi yang menandai terjadinya pergantian musim baru. Di luar negeri, perayaan Natal pada umumnya terjadi pada musim dingin. Bagi orang Romawi, musim dingin merupakan salah satu hari gelap yang harus mereka lalui. Sebab, tidak jarang mereka harus mengalami musim dingin yang sangat buruk sampai mengganggu segala aktivitas. Oleh sebab itu, ketika musim tersebut sudah berlalu, orang Romawi akan bersukacita dan mengadakan pesta. Di negara lain, yaitu Skandinavia, bangsa Norse merayakan Yule (istilah kuno hari Natal) sejak 21 Desember, yang merupakan titik balik matahari musim dingin hingga bulan Januari. Sebagai bentuk syukur atas kemunculan matahari, para ayah dan anak laki-laki akan membawa pulang kayu gelondongan besar yang akan mereka bakar untuk penghangat. Setelah itu, orang-orang akan lanjut berpesta sampai kayu bakar tersebut habis yang bisa memakan waktu hingga 12 hari. Jadi, tidak ada yang tahu persis tentang tanggal kelahiran Yesus. Namun terlepas dari perdebatan yang pernah terjadi, pada akhirnya kelahiran Yesus ditetapkan menjadi tanggal 25 Desember dan kini diperingati sebagai Hari Natal. Menurut beberapa ahli, ditemukan sebuah tulisan-tulisan tentang awal gereja Kristen Kuno yang berisi informasi mengenai kelahiran Yesus. Dituliskan bahwa pada 25 Maret, gereja Kristen merayakan dikandungnya Yesus oleh Maria yang mendapat kabar tersebut dari malaikat. Para ahli kemudian menyimpulkan bahwa kelahiran Yesus terjadi pada 25 Desember, karena pada tanggal itu Maria genap mengandung selama sembilan bulan. Untuk merayakan kelahiran Yesus, maka tanggal 25 Desember ditetapkan sebagai Hari Natal. Adapun Natal dalam bahasa Portugis berarti kelahiran. Dalam hal ini adalah kelahiran Yesus Sang Mesias, Putera Allah yang menjelma menjadi Manusia (Inkarnasi)

Oleh karena itu, makna perayaan natal, sesungguhnya bukan terletak pada ritusnya, melainkan terletak pada transformasi diri, yakni menjadi manusia baru berkat kelahiran Yesus Sang Putra Natal. Dengan demikian, Natal Yesus harus menjadi Natal kita, ketika kita dilahirkan secara baru menjadi manusia baru, yang berarti manusia lama ditanggalkan dan kita mengenakan manusia baru, yang memiliki hati dan budi yang baru, sebagaimana yang ditunjukkan oleh para gembala. Hidup mereka berubah setelah mendengar kabar sukacita kelahiran Sang Juruselamat dunia, yang diungkapkan lewat tindakan: “marilah sekarang kita pergi ke Betlehem” (Lukas 2:15), yang menjadi tema Natal Nasional tahun 2024. Ungkapan ini, adalah ungkapan hati tulus dari para gembala yang sederhana dan bersahaja, atau rendah hati yang sedang menggembalakan domba di padang Efrata (Yahudi) artinya berbuah atau dihormati. Jadi, kelahiran Yesus di Betlehem (artinya Rumah Roti atau Rumah Daging), telah membawa transformasi diri bagi para gembala, dari penjaga ternak domba menjadi pewarta kabar sukacita kelahiran Sang Juruselamat umat manusia.

Ada beberapa makna atau pesan dari spirit para gembala: “marilah sekarang kita pergi ke Betlehem” (Lukas 2:15) bagi kita, yakni (1) Memiliki sikap hati yang responsif. Setelah mendengar warta sukacita dari para malaikat, para gembala sangat responsif dengan bergegas tergerak, bergerak dan saling menggerakan untuk pergi ke Betlehem (Rumah Roti) tempat Sang Roti hidup yang telah turun dari surga lahir. Oleh karena itu, sikap responsif para gembala ini harus menjadi sikap kita untuk juga berani melangkah dalam iman dan percaya pada janji Allah dalam kehidupan sehari-hari (2) hati kita adalah Betlehem. Untuk menjumpai Yesus Sang Juruselamat dunia, tidak perlulah kita ke Betlehem, kota suci di tepi barat Palestina, melainkan pergilah dan kunjungilah ke Betlehem hati kita masing-masing, untuk menjumpai Yesus Sang Putra Natal. Agar Yesus Sang Putra Natal dapat lahir di palung hati kita, maka rendah hati, terbuka hati, dan kesucian hati menjadi kuncinya. (3) transformasi diri. Para gembala menerima kabar sukacita kelahiran Yesus Sang Juruselamat menjadikan mereka lahir secara baru, dengan memperbarui harapan dan keyakinan mereka kepada Yesus, Sang Juruselamat. Seperti para gembala, kita pun diharapkan melalui peristiwa Natal, harus terjadi transformasi diri sebagai manusia baru, yang harus kita kenakan saat memasuki tahun baru. Jika peristiwa Natal tidak menjadikan kita sebagai manusia baru, maka tahun baru tidak memiliki makna. Mengapa? Karena tahun baru hanya akan bermakna, kalau kita lahir kembali menjadi manusia baru melalui peristiwa Natal. Jangan sampai kita merayakan Natal dan tahun baru hanya ritus semata, namun tidak bermakna bagi kita, dalam arti tidak terjadinya transformasi diri kita.

Asal Usul Tahun Baru

Asal usul perayaan tahun baru yang ditetapkan pada 1 Januari tiap tahun tak lepas dari pengembangan penanggalan bangsa Romawi kuno, dalam hal ini tak luput dari peran sosok Julius Caesar. Kala itu, pendiri Roma bernama Romulus masih menerapkan penanggalan Masehi terdiri dari 10 bulan dan 304 hari. Lalu pada abad ke-8 SM, Numa Pompilius menambahkan dua bulan dalam penanggalan kalender Romawi, yakni Januarius dan Februarius. Selanjutnya Julius Caesar berkonsultasi dengan ahli astronomi dan matematika untuk menyempurnakan penanggalan Masehi tersebut. Ia menamai bulan pertama kalender Romawi dengan nama Janus, yang berasal dari nama dewa Romawi yang memiliki dua muka untuk memandang ke depan dan ke belakang.

Jadi, penetapan 1 Januari sebagai hari pertama tahun baru itu dilakukan sebagai penghormatan kepada dewa Janus, dewa permulaan Romawi. Kala itu, bangsa Romawi memperingati tahun baru dengan berbagai pengorbanan kepada Janus, bertukar hadiah, mendekorasi rumah, dan mengunjungi beberapa pesta. Lebih lanjut, penetapan 1 Januari sebagai tahun baru pertama kali dilakukan oleh Paus Gregorius XIII pada tahun 1582. Hingga kini pada tanggal 1 Januari dirayakan sebagai awal tahun baru oleh sebagian besar masyarakat dunia.

Nataru Sebagai Momentum Transformasi Diri

Perayaan Natal dan Tahun Baru merupakan suatu perayaan yang tidak bisa dilepas pisahkan. Artinya keduanya memiliki relevansi. Perayaan Natal tidak hanya memperingati hari kelahiran Yesus Sang Juruselamat dunia, melainkan juga sebagai momen kelahiran kita sebagai manusia baru, setelah selama empat pekan menanti kedatangan-Nya melalui masa adven. Masa adven adalah masa persiapan menanti kedatangan Tuhan Yesus (inkarnasi) di hari Natal, sekaligus masa persiapan kedatangan-Nya yang kedua di akhir zaman atau parousia, seperti yang diserukan oleh Yohanes Pembaptis: Parate Viam Domini!” atau “persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya. Setiap lembah akan ditimbun, setiap gunung dan bukit akan menjadi rata. Yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan. Dan semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan” (Luk 3:4-6, bdk Yes.40:3-5). Jalan yang dimaksudkan oleh Yohanes Pembaptis adalah jalan pertobatan atau jalan rohani agar kita bisa memperoleh pengampunan dari Tuhan. Jika ini yang terjadi, maka kita layak merayakan sukacita Natal, karena kita telah lahir kembali menjadi manusia baru yakni manusia Natal atau manusia transformatif yang telah mengalami transformasi diri atau manusia metamorfosis. Dengan demikian, perayaan Natal merupan jalan atau pintu masuk ke perayaan Tahun Baru. Oleh karena itu, tidak akan ada perayaan Tahun Baru 1 Januari, tanpa perayaan Natal 25 Desember. Mungkin itu sebuah kebetulan saja karena kedua hari besar itu berdekatan, hanya berjarak seminggu. Namun statement seperti itu bisa dijawab dengan sebuah logika sederhana: periksa kalender, Idul Fitri tahun 2000 jatuh satu hari sebelum Tahun Baru 2001. Tapi tak pernah saya dengar orang mengucapkan “Selamat Idul Fitri dan Tahun Baru” Kenapa, karena agama dan ajarannya memang beda. Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau saya mengatakan bahwa Natal dan Tahun baru seperti dua sisi mata uang yang saling berpautan dan tak terpisahkan. Sehingga banyak orang yang memberikan ucapan selamat Natal sekaligus Tahun Baru. Namun, ucapan selamat Natal dan Tahun Baru, hanya akan bermakna ketika kita telah lahir secara baru sebagai manusia baru atau manusia yang telah mengalami transformasi diri. Dengan demikian, ucapan Natal dan Tahun Baru, tidak hanya sekedar ucapan melainkan bermakna layaknya sesorang yang sukses atau berhasil. Maka, makna ucapan Natal mengandung “selamat kita telah menjadi manusia baru”, dan Tahun Baru “selamat kita hidup sebagai manusia baru”. Dan itulah sesungguhnya mengapa sebelum tahun baru pasti ada perayaan Natal, yang adalah perayaan kelahiran Yesus. Tetapi, yang perlu digarisbawahi sekali lagi bahwa perayaan Natal hanya akan bermakna ketika kita lahir secara baru, sebagai manusia yang telah mengalami transformasi diri, sehingga Natal Yesus menjadi Natal kita. Dengan demikian, Tahun Baru hanya akan bermakna, jika kita mengenakan manusia Natal kita. Namun, jika kita sudah memasuki Tahun Baru, tetapi cara atau gaya hidup, cara bersikap, cara berperilaku, cara bertutur kata dan cara bertindak kita tidak pernah berubah, yang berarti tidak ada transformasi diri , maka kita sesungguhnya tidak pantas hidup di Tahun Baru dan ucapan selamat Tahun Baru kita pun menjadi hambar dan tidak bermakna. Oleh karena itu, Tahun Baru harus dijalani oleh mereka yang lahir secara baru, sebagai manusia baru atau manusia Natal atau manusia transformatif atau manusia metamorfosis berkat peristiwa Natal Yesus menjadi Natal kita. Dengan demikian perayaan NATARU sungguh bermakna sebagai momentum transformasi diri kita.

Akhirnya, dalam permenungan saya bahwa Natal dan Tahun Baru merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, karena Yesus Sang Putera Natal merupakan Alfa dan Omega: Awal dan Akhir kehidupan. Dia adalah Sang Waktu. Dia adalah Pemilik Kehidupan. Oleh karena itu, ketika kita lahir di dunia ini, sesungguhnya kita telah dikuduskan oleh Allah. …”Sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau”…(Yeremia 1: 5). Maka, sesungguhnya peristiwa Natal dan Tahun Baru merupakan peristiwa pembaharuan diri, agar kita menjadi kudus kembali bersama Sang Alfa dan Omega kehidupan. Dan bersama Sang waktu pula yakni Sang ALFA, kita berziarah menuju Akhir kehidupan atau Omega di sepanjang tahun dengan titik berangkat diawal tahun yang baru. Harapanya kita berubah bersama Sang waktu. Dalam ungkapan latin: “tempora mutantur et nos mutamur in illis”, artinya waktu berubah kitapun turut berubah di dalamnya. Maka, mari, berjalan bersama Sang Putera NATAL, yang adalah Sang ALFA dan OMEGA kehidupan disepanjang Tahun yang Baru. Dengan demikian, Natal adalah musim tidak hanya untuk bersukacita tetapi juga refleksi”Winston Churchill. Sedangkan, “Tahun Baru adalah kesempatan untuk memulai hal-hal baru dengan semangat yang baru pula.”. SEMOGA!!!